the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

Mall: Kemegahan Citra Konsumerisme (Menilik Fenomena Konsumerisme di Indonesia)

Mall: Kemegahan Citra Konsumerisme

(Menilik Fenomena Konsumerisme di Indonesia)

Oleh: Ditia Prabowo (07.09042.000022)

“I am, what I have and what I consume” (Erich Fromn)

Pendahuluan

Pada akhir milenium ke dua beberapa tahun yang lalu, bangsa Indonesia mengalami sebuah krisis ekonomi yang hebat. Sudah lebih dari satu dekade pasca munculnya krisis ekonomi ini, pengaruhnya masih bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi sebagaian masyarakat, khususnya kaum marginal, imbas ini semakin membebani hidup mereka. Kelangkaan serta mahalnya bahan baku untuk makan, pakaian, dan tempat tinggal menjadi hidangan setiap hari. Namun bagi sebagian masyarakat lainnya, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar, imbas ini tak lagi dirasakan. Salah satu indikasinya adalah tetap menjamurnya shopping center, seperti mall, di kota-kota besar di Indonesia, dengan pengunjung yang tetap dalam jumlah besar.

Di awal milenium ke tiga ini mata masyarakat Indonesia seperti tertutup tembok raksasa. Di balik tembok itu dalamnya ditawarkan segala kebutuhan hidup manusia. Munculnya mal-mal besar yang ada di kota-kota di Indonesia membuat masyarakat melupakan “sementara” apa yang tengah terjadi. Mereka telah menjadi bagian dari budaya yang dikondisikan dengan para Kapitalis. Keadaan semacam ini oleh Piliang (2004) disebut sebagai ekstasi ekonomi.[1] Masyarakat dirangsang untuk berbelanja demi memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun dalam problem moneter yang pelik.

Belanja itu sendiri berkaitan erat dengan konsumsi. Belanja merupakan tindakan sebelum mengkonsumsi. Kegiatan belanja, bila tidak dilihat secara cermat, dapat membawa seseorang kepada sebuah tindakan konsumsi itu sendiri. Artinya, manusia tidak akan pernah bisa berhenti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan belanja di sini menjadi kebutuhan bagi manusia yang tak cukup diri. Sehubungan dengan itu, kita bisa melihat sebuah bentuk fenomena budaya baru, yaitu konsumerisme. Letak konsumerisme di sini dalam arti mengubah konsumsi yang seperlunya menjadi konsumsi yang mengada-ada.[2] Konsumsi tak lagi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, melainkan lebih terkait dengan usaha manusia menemukan identitas dirinya. Bila dicermati, konsumerisme ini telah menjadi sebuah way of life manusia jaman ini, termasuk manusia Indonesia.

Melihat fenomena tersebut, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pergerakan konsumerisme yang terjadi di Indonesia. Pada awal pembahasan ini akan ditampilkan gagasan mengenai konsumerisme itu sendiri. Berikutnya akan dipaparkan fenomena konsumerisme, yang secara lebih spesifik akan dilihat dalam fenomena menjamurnya Mall sebagai shopping center di Indonesia. Sebagai akhir tulisan ini, akan ditampilkan sebuah relevansi praktis bagi kita dalam menyikapi fenomena ini.

Gagasan Konsumerisme

Kata konsumerisme dapat ditarik pada dua hal yang berkaitan, yaitu konsumtif dan konsumen. Konsumtif mengindikasikan sebuah tindakan, sedangkan konsumen lebih cenderung mengarah kepada pelaku dari sebuah tindakan konsumsi. Berkaitan dengan itu, pemahaman kata konsumerisme pada masa sekarang cenderung bergeser kepada sebuah bentuk atau gaya hidup.

Gagasan tentang konsumerisme ini terkait dengan teori-teori konsumsi yang pernah ada. Salah satu pencetus teori konsumsi ini adalah Karl Marx. Ia merupakan peletak dasar teori konsumsi klasik. Ia menganalisa tentang apa yang membentuk serta menyusun kebutuhan manusia. Lebih lanjut, ia juga melihat bagaimana kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat bertemu di dalam aplikasi proses produksi.[3]

Haryanto Soedjatmiko (2008), mengetengahakan gagasan dasar dari konsumsi, yakni mengumpulkan dari alam. Pada tahap ini, alam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, dan sebaliknya manusia memungut apa yang dibutuhkannya. Gagasan ini menyadarkan kita bahwa sebagai manusia pasti membutuhkan sesuatu demi kelangsungan hidupnya. Hal ini mengingatkan pula bagi kita akan hakekat kebudayaan, yakni alam kodrat sendiri sebagai milik manusia, sebagai ruang lingkup untuk ralisasi diri (J.W.M. Bakker, 1984). Segala kebutuhan yang diperlukan manusia guna melangsungkan hidupnya diperoleh dari relasinya dengan alam.

Seorang tokoh posmodern, Jean Baudrillard (1998), memberi kontribusi berupa gagasannya tentang masyarakat konsumsi. Menurutnya, masyarakat kontemporer saat ini dibentuk oleh kenyataan bahwa manusia jaman ini dikepung oleh faktor konsumsi yang begitu nampak dan konkret, yaitu dengan adanya multiplikasi objek, jasa, serta barang-barang material. Dalam salah satu bukunya, Selected Writings, (Consumer Society; hlm.29), konsep manusia yang berkecukupan tidak lagi dikelilingi oleh manusia-manusia lain seperti konsep tradisional. Lebih lanjut ia menunjukkan gagasan manusia dalam memenuhi kebutuhannya: “the immediately self-evident, such as an analysis in term of needs, will never produce anything more than a consumed reflection on consumption.”[4] Pemikiran Baudrillard ini menginterpretasikan bahwa sesungguhnya manusia tak pernah terpuaskan secara actual, sehingga segala kebutuhannya pun tak akan pernah terpuaskan.

Terkait dengan hal tersebut, konsumerisme dapat kita lihat sebagai paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konsumerisme dijelaskan dengan arti : paham atau gaya hidup yg menganggap barang-barang (mewah) sbg ukuran kebahagiaan, kesenangan, dsb; gaya hidup yg tidak hemat Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan.

Mall: Kilauan “Lampu Pijar Sepuluh Ribu Watt

Berbicara soal konsumerisme tak akan pernah lepas dalam kaitannya dengan kegiatan belanja. Pada jaman ini, terlebih di Indonesia, terdapat berbagai jenis tempat-tempat belanja. Dalam konsep tradisional tempat berbelanja adalah pasar. Pasar konvensional ini secara sederhana digambarkan sebagai arena jual beli atau transaksi barang dan jasa. Namun pada abad ke 21 ini, pasar konvensional ini telah bergeser makna sekaligus berubah rupa menjadi sebuah pasar modern;super pasar, atau sering disebut sebagai Mall.

Menurut sejarahnya, Mall merupakan perkembangan arsitektural modern yang diperkenalkan pertama kali oleh Victor Gruen (1903-1980), seorang imigran Austria keturunan Yahudi. Menurut Jeffrey Hardwick, penulis biografi bapak mall modern tersebut, dalam salah satu bukunya ditegaskan bahwa Victor Gruen berhasil mengkombinasikan seni dan perdagangan dalam memotret bagian terdalam dari kepribadian orang-orang Amerika (Mall Maker; Victor Gruen, Architect of American Dream, 2004).

Di Indonesia sendiri, Mall nampaknya sudah menjadi sebuah keharusan bagi kota-kota di berbagai propinsi, terutama di Pulau Jawa. Mall telah menjadi sebuah identitas dari sebuah kota. Sebagaian kota besar di Indonesia “menghiasi” dirinya dengan bangunan-bangunan super megah yang menawarkan berbagai kebutuhan manusia. Di tengah tekanan ekonomi yang masih membelit sebagian masyarakat, Mall hadir sebagai ekstasi bagi masyarakat untuk “megurangi” kepenatan hidup yang mengepung mereka. Di dalam Mall seseorang bisa bebas memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Maslow, manusia memiliki kebutuhan mulai dari kebutuhan fisik hingga kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Berkaitan dengan itu, Mall-lah yang dapat memenuhi semuanya itu.

Secara ringkas, Mall dapat disebut sebagai Surga bagi konsumerisme. Mall tampak sebagai pemuas bagi dunia konsumerisme. Ia telah merubah gaya hidup masyarakat. Bila kita lihat di kota Malang saja terdapat dua Mall besar, Malang Town Square dan Malang Olympic Garden. Belum lagi ditambah pusat-pusat belanja serupa lainnya. Hampir setiap hari di setiap mall dan shopping center tersebut dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda, menyantap makanan, maupun berbelanja. Tak peduli dengan krisis ekonomi yang “katanya“ melanda Negara ini. Di masa krisis ekonomi ini, mal-mal tetap ramai dengan berbagai aktivitas. Para Ibu rumah tangga maupun pekerja kantoran menjadikannya sebagai tempat belanja dan sarana meeting. Selain itu anak-anak juga menjadikannya tempat bermain dan mengahabiskan waktu di Game Zone. Tak hanya berkaitan dengan hal materi saja, kesegaran rohani pun dapat ditemukan di sana. Tidak sedikit Mall, terutama di Ibu Kota dan kota-kota besar lainnya, yang menyediakan tempat ibadah bagi para pengunjungnya. Para pengusaha yang sekaligus menjadi pengelola menjadikan mal sebagai surga. Bisa dikatakan, Mall ini telah memiliki fungsi yang melebihi fungsi tempat ibadah.

Inilah kenyataannya. Mall telah menjadi “surga“. Namun, bila kita berpikir secara kritis, yang sebenarnya kita lihat dari fenomena tersebut adalah hanya sebuah kilauan cahaya yang sangat terang. Hal ini dapat dibandingkan dengan sebuah kilauan yang berasal dari lampu pijar dengan daya sepuluh ribu watt. Siapa saja yang melihatnya akan silau dan pandangan menjadi kabur. Mall bukan sebuah wacana yang mengutamakan kedalaman atau keluhuran makna. Di dalamnya tak ada nilai-nilai luhur yang dapat diwariskan. Piliang menyebutnya dengan permainan bebas tanda-tanda. Bukan tempatnya sebuah Mall menjadi wacana penyampaian makna luhur dari sisi kehidupan ini. Sebaliknya ia membawa bujuk rayu melalui kepalsuan tanda dan kesemuan makna. Kesemuan yang terdapat di dalamnya disajikan seolah-olah sebagai kebenaran, dan ilusi disajikan seakan-akan seperti realitas.[5]

Mall: Sebuah Kloning Budaya[6]

Mall telah mencerminkan sebuah citra konsumerisme yang megah di Indonesia saat ini. Seperti ungkapan Erich Fromn di awal tulisan ini, ”I am, what I have and what I consume”, manusia dibentuk menjadi manusia konsumtif. Manusia merasa dirinya sebagai manusia ketika ia bisa memenuhi segala kebutuhannya. Ungkapan lain yang senada dengan hal ini adalah “Saya berbelanja, maka saya ada”. Eksistensi manusia hanya diukur saat dia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Setiap Mall menawarkan berbagai macam kebutuhan manusia dengan segala penampilan fisiknya yang mewah. Situasi semacam ini merupakan gambaran dari pragmatisme budaya Barat, khususnya Amerika. Victor Gruen[7],dalam sebuah buku yang ditulis oleh M. Jeffrey Hardwick yang berjudul “Mall Maker”, mengatakan: “It is our belief that there is much need for actual shopping centers-market places that are also centers of community and cultural activity. We are convinced that the real shopping center will be the most profitable type of chain store location yet developed, for the simple reason that it will include features to induce people to drive considerable distances to enjoy its advantages”. [8]

Grunen mendesain sebuah pasar yang memberikan kenyamanan bagi pengunjungnya, sekaligus mendatangkan keuntungan bagi pemilikya. Namun sayangnya hal ini tidak dilihat secara kritis oleh para pengelola Mall di Indonesia. Satu hal yang ditimbulkan dari munculnya Mall ini adalah sebuah kloning budaya, yang melahirkan konsumerisme itu sendiri.

Dalam prinsip biologis, kloning merupakan suatu pengkopian atau memperbanyak suatu gen menjadi gen baru yang sama persis. Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang konsumerisme, Mall bisa dikatakan sebagai alat kloning kebudayaan. Sebagaimana konsep kloning biologis, kloning kebudayaan juga mempunyai prinsip yang sama. Di dalam Mall tersedia berbagai jenis makanan, pakaian, hiburan, serta segala jenis gaya hidup glamour lainnya. Tanpa kita sadari semua itu adalah hasil dari kloning kebudayaan. Sebuah bentuk kebudayaan telah direproduksi secara global dari gen yang sama, yaitu kebudayaan pragmatisme Amerika[9]

Masyarakat telah terbentuk menjadi masyarakat konsumtif sebagai imbas dari kloning budaya ini. Melalui Mall, masyarakat membentuk sebuah Citra, yaitu kesenangan dan kebahagiaan melalui tindakan konsumsi. Piliang (2004) mengatakan bahwa Mall tidak lagi sekedar tempat pertukaran barang dan jasa. Dalam abad modern ini, Mall memiliki peran sentral sebagai citra cermin (mirror image) sebuah masyarakat. Mall menjadi tempat setiap orang mengaktualisasikan dirinya (self image), tempat setiap orang mencari identitas. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa tubuh menjadi tempat utama bagi konsumerisme. Tubuh menjadi sasaran utama konsumsi, yakni menimbulkan berbagai kebutuhan dan usaha memenuhinya yang berkaitan dengan tubuh itu sendiri.

Dari kenyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat telah membentuk sebuah Consumer Society. Jean Baudrillard dalam bukunya yang berjudul Consumer Society: Myths and Structures membahas budaya konsumen masyarakat masa kini dengan lebih sistematis. Menurut Baudrillard, kita hidup dalam era di mana masyarakat tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna , melainkan komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikasinya sewenang-wenang dan terkantung kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya kode (the code)[10]. Lebih lanjut, dalam Consumer Society: Myths and Structures ini, Baudrillard menganalogikan konsumsi pada masyarakat masa kini dengan bahasa dan sistem tanda dalam masyarakat primitif. Jean Baudrillard menggagas homo oeconomicus sebagai hasil perkawinan antara manusia yang hidup dalam kekurangan dan manusia kaya. Hasilnya adalah manusia dengan rasio-rasio formal yang mengarahkannya pada pencarian kebahagiaan tanpa sedikit pun keraguan, dan pilihan akan objek-objek yang akan memberinya kepuasan terbesar.[11]

Hal lain yang menjadi imbas dari kloning budaya ini adalah ruang publik masyarakat beralih ke dalam Mall. Semua orang dapat bertemu dengan nyaman di Mall untuk berbagai aktivitas, baik yang sederhana maupun yang serius. Mal telah menggantikan sarana bermain anak-anak seperti lapangan dan taman. Nilai-nilai sakral budaya telah dikalahkan oleh konsumerisme dan materialisme. Banyak Mall berupaya menjadikan dirinya sebagai arena kesenangan dan kegembiraan. Mal telah menjadi pusat kegiatan manusia modern. Namun sayang, Mall-Mall di negeri ini dibangun tanpa ada sebuah rekayasa sosial. Mall malahan menjadi ancaman bagi pasar-pasar tradisional. Masyarakat cenderung ingin berbelanja di tempat yang nyaman, meskipun dengan harga yang agak miring. Pembangunan Mall itu sendiri seringkali dilaksanakan secara tak aturan, tanpa memperhatikan aspek etika, estetika, dan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat.

Rehumanisasi Budaya

Sejak awal masuknya di Indonesia, Mall sebenarnya telah membawa pragmatisme budaya barat. Artinya, sebagian dari unsur budaya barat telah merasuk dalam nadi budaya kita. Budaya yang mungkin bagi masyarakat barat sendiri sudah biasa, disebarluaskan secara global termasuk di Indonesia, yang notabene penduduknya sedang menduduki kelompok menengah dalam hal ekonomi. Ketika menjamah Indonesia, hal itu menjadi sebuah realitas baru dan mengundang decak kagum. Dengan laju perekonomian yang sedang merambat naik, masyarakat disodori dengan realitas budaya glamour, yang merangsang untuk terus diikuti, dikejar.

Tujuan Mall dibangun adalah sebagai salah satu bentuk arena transaksi barang dan jasa dengan segala kenyamanannya bagi pengunjung. Manusia dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya di dalam sebuah Mall. Inilah salah satu segi positif yang dapat dilihat dari adanya Mall. Namun yang sering terjadi, manusia lebih cenderung silau dengan kemewahan yang ditawarkannya. Hal ini mengakibatkan manusia kehilangan arah dan jati dirinya. Ia hanya disetir oleh materi-materi semu yang menyeretnya pada arus budaya konsumtif. Manusia dibujuk untuk terus memenuhi kebutuhan hidupnya.

Memang sebagai makhluk berbudaya, manusia selalu mempertahankan diri dengan berusaha memenuhi kebutuhan hidup demi kelangsungan hidupnya. Salah satu usaha untuk tetap survive adalah dengan mengkonsumsi. Pada jaman dahulu manusia mempertahankan diri dengan cara memanfaatkan alam sebagai penyedia kebutuhan. Namun kiranya alam menurut pemahaman masa kini mendapat pergeseran makna dari pandangan sebelumnya. Alam yang dihayati oleh manusia jaman sekarang adalah alam materialistik modern. Dalam hal ini Mall juga menjadi alam baru bagi manusia modern, di mana di dalamnya ia bisa mendapatkan segala yang dibutuhkan.

Perlu diingat pula bahwa kebudayaan menemukan artinya sebagai kebudayaan sejauh ia dapat menggali serta mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Bila kita menilik budaya konsumtif yang terjadi dalam masyarakat saat ini, perlu dipertanyakan apakah budaya ini membantu manusia untuk memunculkan kembali nilai-nilai manusiawinya. Satu pertanyaan kritis yang mengakhiri tulisan ini, sekaligus dapat menjadi permenungan kita bersama menanggapi fenomena konsumerisme ini adalah ”Apakah kita, sebagai konsumen, yang membentuk gaya hidup, ataukah justru gaya hidup yang membentuk kita?” Atau dengan kata lain, ” berperan sebagai subjek atau objekkah aku terhadap situasi seperti ini?” Jawabannya dikembalikan kepada kita, terlebih sebagai manusia, insan berbudaya.

Daftar Pustaka

· Bakker, J.W.M., 1984, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar,Yogyakarta: Kanisius.

· Baudrillard, Jean, 1998, The Consumer Society, London: SAGE Publications.

· Baudrillard, Jean, 1970, Writing Selected, Paris: Galimard.

· Hardwick, M. Jeffrey, 2004, Mall Maker, Philadelphia: University of Pennsylnavia Press.

· Piliang, Yasraf A., 2004, Postrealitas:Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra.

· Piliang, Yasraf A., 2004, Dunia yang Dilipat, Yogyakarta: Jalasutra.

· Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada, Yogyakarta: Jalasutra.



[1] ketika sebuah sistem ekonomi berfungsi sebagai suatu sistem pemenuhan tuntutan hawa nafsu tak terbatas, atau tatkala pelepasan hawa nafsu menjadi inti dari beroperasinya sistem ekonomi, tatkala hawa nafsu menjadi semacam gravitasi dari lalu lintas ekonomi, yang setiap orang patuh mengelilingi orbitnya, taat terhadap hukumnya, dan terbuai dalam rayuannya, maka yang tercipta sesungguhnya adalah sebuah dunia ekstasi ekonomi.

[2] Haryanto Soedjatmiko, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada, Yogyakarta: Jalasutra, 2008, hlm.6.

[3]Ibid.hlm.20

[4] Jean Baudrillard, Writing Selected, Paris: Galimard, 1970, hlm. 48

[5] Yasraf Amir Piliang, Postrealitas:Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika, Yogyakarta: Jalasutra, 2004, hlm. 118.

[6] Meminjam istilah dari tulisan Yasraf Amir Piliang tentang posekonomi, dalam bukunya: Postrealitas

[7] Victor Grunen adalah seorang tokoh pencetus pasar modern atau yang saat ini disebut dengan Mall.

[8] M. Jeffrey Hardwick, Mall Maker, Philadelphia: University of Pennsylnavia Press, 2004, hlm.1

[9] Op.Cit. hlm. 125

[10] Selected Writings, hlm. 8

[11] Jean Baudrillard, The Consumer Society : Myth and Structures. London: Sage Publisher,1998. Hal.69.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

sebuah kajian menarik! silahkan melihat lebih lanjut pada blog saya di http://haryantosujatmiko.multiply.com

salam hangat,
"saya berbelanja, maka saya ada"

ditia mengatakan...

terima kasih mas haryanto...buku anda telah menginspirasi saya untuk melihat lebih luas fenomena jaman ini...

Unknown mengatakan...

silahkan dicek pada blog saya....

http://haryantosujatmiko.multiply.com/journal/item/57/Kemegahan_Citra_Konsumerisme_thanks_to_Mr._Ditia_Prabowo