the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

Rene Descartes

Konsep Kebenaran Menurut Rene Descartes



1. Pengantar
Rene Descartes lahir pada tanggal 31 Maret 1596 di kota La Haye di wilayah Touraine, Perancis . Perlu diketahui bahwa pada jaman itu merupakan jaman dimana para kaum borjuis sedang berkembang pesat. Pada masa mudanya ia bersekolah di La Fleche, sebuah kolose milik Yesuit. Descartes hidup dalam masa yang bercirikan aristrokat, yaitu di mana masyarakat memberi tempat utama kepada kaum bangsawan. Minat kaum borjuis ini adalah mengenai masalah metafisika Skolastik. Dalam waktu yang bersamaan muncul pula peminat terhadap matematika, geometri dan fisika. Oleh karena Descartes tidak suka akan gaya kaum borjuis tersebut, setelah selesai di La Fleche, ia melancong dan menjadi tentara di Jerman.
Pada waktu dia tinggal di sana, ia mendapat sebuah “wahyu ilahi”, yaitu suatu penglihatan yang diberikan oleh Allah yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu induk, dirangkum oleh satu orang, dan harus menggunakan sebuah metode yang jelas . Dari pengalaman inilah dia merasa tergerak untuk mewujudkan wahyu tersebut.
Dalam kurun waktu tahun 1629 hingga 1649 ia tinggal di negeri Belanda untuk meneruskan proses petualangan intelektualnya. Pada waktu inilah Descartes banyak menuliskan pemikiran-pemikirannya akan suatu ilmu yang ia cita-citakan, yang juga akan banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran di era berikutnya. Tulisan-tulisan terpenting yang pernah ia buat dan dipublikasikan ialah Discourse de la methode (Uraian tentang metode, tahun 1637), Meditationes de Prima Philosophia (Renungan-renungan metafisika, tahun 1641) , dan Principia philosophiae (Prinsip-prinsip filsafat, tahun 1644) . Pada waktu itu pula ia banyak menjalin relasi dengan beberapa pemikir lainnya, antara lain dengan Thomas More dan Hobbes. Rene Descartes termasuk pula ke dalam jajaran para matematikawan pada waktu itu. Salah satu karya terbesarnya dalam bidang ini, yang hingga sekarang tetap digunakan adalah “Koordinat Cartesius”. Dengan berlatar belakang ilmu pasti inilah, kebenaran yang ditemukan Descartes harus selalu bersifat pasti.
Tulisan ini hendak mengemukakan gagasan Rene Descartes dalam usaha mencari kebenaran itu. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita alami betapa rumitnya kita berbicara soal kebenaran. Apakah yang kita lihat , kita rasakan secara indrawi itu sungguh-sungguh benar? Bagaimana kita bisa memperoleh sesuatu yang benar? Apakah kebenaran itu hanyalah soal bertindak, berpikir, dan berkata secara tepat dan baik akan sesuatu? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang sering membingungkan kita. Dalam tulisan ini, penulis membatasi gagasan akan kebenaran tersebut ke dalam tiga bagian, yaitu mengenai kesangsian metodis, cetusan cogito ergo sum , dan ide-ide yang jelas dan terbagi (terkait dengan ide bawaan).

2. Usaha Mencari Kebenaran
Kita mengetahui bahwa Rene Descartes sering disebut sebagai pendiri filsafat modern, atau “Bapak filsafat modern”. Julukan ini diberikan kepadanya karena melalui pemikiranya, filsafat mulai menempatkan kesadaran dalam proses pencarian kebenaran. Sebagai perintis filsafat modern, ia berusaha untuk menemukan sebuah metode dari berfilsafatnya. Ia memulai pemikirannya dengan mencoba mempertanyakan kebenaran dari pengetahuan-pengetahuan yang ada. Menurutnya, pengetahuan-pengetahuan itu sebenarnya belum memberikan kebenaran itu sendiri. Satu pengetahuan mengartikan sebuah kebanaran, sedangkan pengetahuan lain pun juga menyatakan sebuah kebenaran. Lalu di mana kebenaran yang sesungguhnya? Bagaimana kita mencarinya? Berawal dari pertanyaan semacam inilah Rene Descartes kemudian memunculkan metode untuk mencari kebenaran itu, yaitu dengan cara menyangsikan segala pengetahuan yang kita terima. Bila dilihat sikap semacam ini merupakan sebuah skeptisisme. Namun sebenarnya keraguan ini bukanlah sebuah skeptis melainkan sebuah keraguan metodis, yang digunakan untuk mencapai sebuah kebenaran sejati.

2.1 Kesangsian Metodis
Dalam usaha mencari kepastian tersebut, Descartes mengawali dengan menyangsikan segala sesuatu yang ada dan yang terjadi. Menurutnya apa yang kita duga, yang dilihat dengan mata kita itu, hanya dapat diketahui dengan penilaian yang terdapat dalam rasio. Menurutnya bila seseorang menyangsikan segala sesuatu, tinggal satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu kesangsian itu sendiri. Dalam hal ini Descartes menunjukkan bahwa subyek yang sedang berpikir menjadi titik permulaan atau dasar bagi filsafatnya. Bagi dia menyangsikan adalah proses berpikir itu sendiri, maka dasar kepastian dari kesangsian tersebut diperoleh dari berpikir. Dengan kata lain, bila kita mempunyai keraguan, kita juga masih mempunyai kepastian yaitu tentang kesangsiannya itu.
Metode ini sebenarnya muncul akibat ketidakpuasannya terhadap filsafat pada jamannya. Menurutnya filsafat pada waktu itu kurang nampak sistematisasinya, khususnya kekurangan dalam suatu metode ilmiah. Bermula dari ini, Descartes berusaha untuk memberi pendasaran yang baru dari ilmu filsafat. Metode yang baru ini menurut Descartes dapat dipakai untuk menemukan sebuah kepastian dasar yang kokoh akan sebuah ilmu. Metode kesangsian ini hendak menunjukkan bahwa segala sesuatu itu harus dicari kebenaran dan kepastiannya. Kesangsian yang dimaksudkan adalah sangsi akan segala hal, agar dapat diperoleh hal yang benar-benar pasti, sehingga pada ahkirnya dapat terbentuk suatu filsafat seperti sebuah sistem ilmu pasti. Bagi dia, ilmu, termasuk filsafat harus mengikuti langkah ilmu pasti. Ilmu pasti dianggap sebagai penerapan yang jelas dari sebuah metode ilmiah. Dalam pengertian ini, filsafat menurut Descartes adalah melontarkan persoalan-persoalan metafisis untuk menemukan sebuah dasar yang benar-benar pasti dan tidak akan goyah.
Dalam bukunya yang berjudul “Discourse on Method”, ia memberikan empat kaidah dalam menjelaskan metode kesangsin ini. Descartes mengatakan:
The first rule was to accept as true nothing that I did not know to be evidently so: that is to say, to avoid carefully precipitancy and prejudice, and to apply my judgements to nothing but that which showed itself so clearly and distincly to my mind that I should never have occasion to doubt it.

Dalam bagian pertama ini, Descartes menerima bahwa tidak ada segala sesuatu yang benar. Ia merasa bahwa dirinya tidak dengan jelas mengenali kebenaran tersebut. Ia secara hati-hati menghindari timbulnya kekeliruan dalam berpikir yang akan merugikan pertibangan-pertimbangannya. Yang jelas bahwa ia secara pasti tidak dapat meragukan dirinya yang sedang ragu itu. Selanjutnya ia mengemukakan: “The second was to divide each difficulty I should examine into as many parts as possible, and as would be require the better to solve it”. Menurutnya, kesulitan-kesulitan dalam menentukan yang benar itu harus dipilah-pilah serta diuji sebanyak mungkin, sehingga dapat terlihat jelas inti kebenarannya itu. Untuk langkah yang ketiga, ia mengatakan:
The third was to conduct my thougts in an orderly fashion,starting with what was simplest and easiest to know, and rising little by little to the knowledge of the most complex, eveb supposing an order where there is no natural presedence among the objects of knowledge.

Dia mengarahkan pikirannya dalam sebuah susunan yang rapi. Hal ini harus dimulai dari sebuah obyek yang sangat sederhana dan mudah untuk dimengerti. Dari sini, perlahan-lahan pengetahuan itu akan tercapai dalam kerumitannya. Untuk kaidah terahkir, ia menyebutkan: “The last rule was to make so complete an enumeration of the links in an argument, and to pass them all so thorouhgly under review, that I could be sure I had missed nothing. Dalam hal ini, semua kasus yang dialaminya harus merupakan sebuah rantai argumentasi yang saling melengkapi. Agar dapat melalui itu semua, kita harus dengan cermat melihat kembali bahwa saya pasti telah kehilangan sesuatu. Dengan demikian kita akan berusaha untuk melengkapinya agar tetap dalam sebuah alur pikir yang benar.

2.2 Cogito Ergo Sum
Descartes ingin meletakkan dasar filsafatnya bertolak dari diri subyek. Dari sinilah Descartes melontarkan sebuah ucapan yang cukup terkenal, yaitu cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Menyangsikan segala sesuatu adalah bagian dari proses berpikir. Dalam hal ini, meskipun pemikiran yang kita pikir itu salah, sebenarnya kita sedang memikirkan pikiran yang salah tersebut. Dan bahwa kita sedang berpikir inilah yang tidak dapat disangsikan, tidak dapat diragukan dan dibantah. Cogito ergo sum merupakan sebuah penemuan besar dari Descartes yang meletakkan subyek sebagai titik tolak berpikir.
Dengan kata lain proses berpikir itu ditemukan dalam diri sendiri, sesuatu yang dikenal dari dirinya sendiri, bukan dari sumber-sumber lain. Pemikiran Descartes ini ini adalah sebuah pemikiran baru, karena sebelumnya pemikiran selalu berasal dari luar diri seperti dasar Gereja, Kitab Suci, atau tradisi. Pada jaman Descartes semua yang ada di luar diri menjadi sebuah kesangsian, yang digunakan untuk menemukan kebenaran dan kepastian. Ia menunjukkan bahwa dalam pemikirannya, manusia yang berpikir, yang bermula dari kesangsian tersebut, merupakan pusat filsafatnya. Menurutnya ide cogito ergo sum ini adalah sesuatu yang jelas dan tegas, dan sesuatau yang jelas dan tegas ini adalah sesuatu yang pasti dan tak dapat digoyahkan. Ia menambahkan pula bahwa akal kita dapat mencapai kepastian tanpa bantuan apa pun.

2.3 Ide-ide yang jelas dan terbagi
Berkaitan dengan hal kesangsian metodis, dimana tidak percaya apa pun yang ada di luar diri, seseorang harus menemukan apa yang benar itu dalam dirinya. Sebagai matematikus, Descartes menjalankan proses pencarian kebenarannya berdasarkan pada sebuah kepastian yang benar-benar jelas dan dapat dipertangungjawabkan. Namun, yang menjadi pertanyaan di sini adalah mengapa kebenaran yang ditemukan Descartes harus selalu bersifat pasti? Dalam salah satu bukunya yang berjudul Meditasi jilid IV, ia mengatakan bahwa karena aku mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte).
Bila dilihat, nampak bahwa ide yang ada di dalam pemikiran Descartes ini merupakan pikiran logis. Hal ini dimaksudkan bahwa kita dapat menemukan sebuah kepastian bila terdapat ide-ide yang terpilah-pilah dengan jelas. Dengan kata lain, Descartes hendak mengatakan bahwa aturan yang logis itu adalah tidak menerima sesuatu yang tidak berupa bukti atau fakta-fakta. Setiap persoalan harus terlebih dahulu dipilah-pilah menjadi unsur-unsur persoalan. Berangkat dari ide yang terpilah-pilah ini, barulah pikiran disusun dari yang paling sederhana hingga mengarah ke yang lebih sukar atau sulit. Di sinilah pikiran mulai bekerja. Menurutnya, yang mengetahui itu adalah pikiran, bukan indra. Jadi yang kita amati itu bukanlah benda, melainkan penampakannya (fenomena-nya) saja.
Sehubungan dengan ide yang jelas dan terpilah-pilah ini, Descartes menyatakan bahwa ide ini telah ada sejak manusia ada di dunia (ide bawaan). Menurutnya, ide bawaan tersebut ada tiga hal: ide pemikiran (cogitatio), ide Allah (deus), dan ide keluasan (extentio). Ide pemikiran ada karena hakihat manusia itu sendiri yang berkesadaran. Hal ini menekankan bahwa kesadaran subyek menjadi pusat. Dalam cetusan cogito ergo sum, kesadaran juga dikaitkan dengan berpikir. Artinya, manusia mengerti dirinya sebagai makhluk yang berpikir dan itu harus diterima bahwa itu adalah hakikat kemanusiaannya. Ide berikutnya, ide Allah, berawal dari keinginan kita untuk menuju yang sempurna. Kesempurnaan itu tentunya tidak dapat dicari dan diraih dalam diri sendiri. Pasti ada penyebab kesempurnaan itu sekaligus sebagai yang sempurna. Wujud yang sempurna itu adalah Allah sendiri. Dari-Nyalah kesempurnaan berasal. Dengan pikiran serta kesadaran kita, kesempurnaan itu akan kita raih. Ide yang ketiga, ide keluasan, menunjukkan bahwa segala yang ada di sekitar kita dapat dimengerti dalam bentuk ukuran. Hal ini berarti semua substansi terangkum dalam satuan geometris, baik panjang, lebar, tinggi, luas dan lebarnya. Ide-ide semacam inilah yang di jelaskan Descartes, sehubungan dengan proses pencarian kebenarannya.

3. Refleksi dan relevansi pemikiran
3.1 Subyek sebagai awal proses pengetahuan, Allah sebagai asal segalanya
Usaha Rene Descartes dalam mencari sebuah kebenaran adalah sebuah langkah awal bagi pemikiran-pemikiran berikutnya. Dari buah-buah pemikirannya lahir sebuah filsafat yang menggunakan metode sebagai dasarnya untuk menemukan kebenaran. Melalui pemikirannya, ia menyadarkan bahwa sesuatu yang benar itu ada di dalam diri seseorang. Agar dapat dimengerti, Ide akan sesuatu yang benar itu harus terpilah-pilah dan jelas. Ia pun meragukan segala apa yang dilihatnya dari luar dirinya. Sesuatu yang dilihat itu hanyalah sebagai sebuah fenomen belaka. Indra kita bisa menipu tentang apa yang kita terima dari luar diri kita. Metode semacam ini bukanlah sebuah keraguan yang mutlak. Keraguan ini adalah keraguan metodis, dimana dalam meragukan sesuatu kita juga harus yakin akan sesuatu yang pasti dan benar. Inilah yang harus terus dicari dalam diri seseorang. Untuk mendapatkan kepastian itu, seseorang harus meyadari bahwa dirinya itu berpikir dan sadar.
Bila dilihat kembali, sepertinya pemikiran Descartes akan kebenaran ini hanya bersumber pada diri sendiri. Namun perlu diingat pula bahwa ia menemukan adanya ide-ide lain untuk menjelaskan kebenaran tersebut, yaitu ide-ide bawaan. Salah satu idenya adalah mengenai Allah. Dengan kesadarannya, Descartes rupanya sadar bahwa ada realitas-realitas lain di luar kesadarannya. Dalam hal ini ia menyatakan bahwa ada sesuatu yang menjadi sumber utama kesempurnaan, yaitu Allah yang sekaligus kesempurnaan itu sendiri. Dari sini dapat disimpulkan bahwa proses pengetahuan itu adalah awalnya harus dilakukan oleh manusia sendiri, kemudian melalui Allah sebagai sumber kesempurnaan, dan pengetahuan yang itu akan lahir dalam dunia. Jadi subyek bukanlah sumber dari pengetahuan. Subyek hanyalah langkah awal dalam proses pengetahuan itu, yaitu melalui kesadaran yang dimilikinya.
Pemikiran semacam ini sangat membantu kita dalam megusahakan sebuah pengetahuan demi kesejahteraan dan kemajuan seluruh manusia. Dalam hidup sehari-hari kita juga menjumpai berbagai macam fenomen, seperti pohon, batu, kursi, air, api, dll. Untuk mengetahui dan mengenali fenomen-fenomen tersebut, kita harus sadar akan kebaradaannya serta dari mana semua itu berasal. Dari sini diharapkan bahwa manusia dapat memanfaatkan serta menggunakan unsur-unsur yang ada dalam setiap fenomen itu bagi kehidupannya secara tepat. Kesadaran itu harus berawal dari diri manusia sendiri dan melaui bimbingan Allah sebagai asal dari segala sesuatu.





Daftar Pustaka

 Bheda, Kris. Cogito Ergo Sum, (Http:// www.redmolotov.com, diakses Minggu, 27 April 2008, 10:40:32).

 Descartes. Discourse on Method, Victoria: Penguin Books Ltd, 1960.

 Gendhotwukir. Rene Descartes: Je pense, donc je suis, (Http://rumahkiri.net., diakses 26 Maret 2008, 05:05).

 Hardiman, B. Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Penerbit PT Gramrdia Pustaka Utama, 2004.

 Hamersma, H. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: PT Gramedia, 2004.

 Tjahjadi, Simon Petrus, L. Petualangan Intelektual, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Tidak ada komentar: