the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

DEWA RUCI

WEJANGAN DEWA RUCI SEBAGAI SALAH SATU DASAR

RUMUSAN MANUNGGALING KAWULA GUSTI

Pendahuluan

Sebagaimana ditegaskan oleh Aristoteles, pada dasarnya manusia memiliki keingintahuan[1]. Keingintahuan akan dunia, keingintahuan akan apa saja sejauh pengalamannya, keingintahuan akan sesuatu yang tersembunyi di balik setiap peristiwa, dan yang paling fundamental adalah: keingintahuan akan dirinya dan Tuhannya. Sadar atau tidak sadar keingintahuan ini mewarnai dan mengarahkan semua tindakan manusia. Manusia tidak tinggal diam, manusia mencari, dan pencarian itu diaktualisasikan dalam berbagai macam bentuk. Salah satu bentuk pencarian tersebut, di dalam konteks budaya Jawa, adalah wayang.

Di dalam setiap kisah-kisah pewayangan dapat diketahui bahwa wayang sarat akan makna dalam bentuk rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai luhur pencarian manusia. Dari sekian banyak rumusan yang ada, manunggaling kawula Gusti merupakan rumusan yang cukup menonjol. Rumusan manunggaling kawula Gusti berarti bersatunya hamba dengan Tuhannya. Kesatuan antara keakuan dan Yang Ilahi.[2] Mistik Jawa beranggapan bahwa rumusan ini merupakan puncak kemajuan rohani manusia. Yang menarik adalah: manunggaling kawula Gusti tidak serta merta tersurat secara langsung dalam kisah-kisah pewayangan. Manunggaling kawula Gusti muncul malalui proses pengendapan dan penyimpulan dari permenungan yang mendalam dan menyeluruh. Selanjutnya, di dalam tulisan ini rumusan manunggaling kawula Gusti akan digagas dalam kerangka wejangan-wejangan Dewa Ruci dalam kisah Dewa Ruci.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, rumusan manunggaling kawula Gusti juga tidak ditemukan secara langsung dalam kisah Dewa Ruci. Sehingga munculah sebuah permasalahan pokok dalam tulisan ini, yaitu: bagaimana wejangan-wejangan itu dapat sampai pada kesimpulan rumusan manunggaling kawula Gusti. Mengingat panjangnya wejangan tersebut, maka di sini dibatasi pada tiga wejangan yang dirasakan sebagai wejangan pokok dan dapat mewakili meskipun tidak keseluruhan wejangan itu.

Demi pemecahan permasalahan tersebut dibutuhkan instrumen yang mendukung. Instumen itu adalah ilmu logika. Jadi, di sini logika beserta perangkatnya dipakai untuk menghindari kesesatan dalam menggagas wejangan Dewa Ruci tersebut.

Ketiga Wejangan Dewa Ruci

“Iku tan keno yen ora lan antaka”[3] (itu tidak boleh bila belum mati)

Kata itu dalam kalimat di atas menggantikan konsep kenikmatan yang dialami oleh Bima saat berada di dalam diri Dewa Ruci dimana ia melihat semuanya serba nikmat, damai,dan aman. Konsep kenikmatan ini dibedakan dari konsep pemahaman duniawi dan konsep pemahaman dunia batin Jawa. Konsep kenikmatan duniawi menunjuk pada keadaan fisiologis yang serba enak. Sedangkan konsep kebatinan Jawa, kenikmatan menunjuk lebih dalam pada situasi batin yang damai dan bahagia, atau kehidupan sejati. Berikutnya adalah kata mati. Kata mati dapat diterapkan pada tubuh dan nafsu. Diterapkan dalam tubuh, mati menunjuk pada status fisiologisnya. Sementara bila diterapkan dalam nafsu, mati merupakan analogi dari usaha untuk menahan atau mematikan nafsu.

Bila dilihat dari proposisinya, wejangan di atas termasuk dalam proposisi kondisional hipotesis yang memiliki antesedens dan konsekuens yang saling tergantung. Bagian antesedens adalah “bila belum mati” , dan bagian konsekuens adalah “itu tidak boleh”. Ketergantungan ini dapat dikatakan logis karena kita berpikir dan bertolak dari antesedens menuju ke konsekuens. “Bila belum mati” menunjuk pada situasi di mana belum mematikan nafsu, dan “itu tidak boleh” menujuk pada keadaan damai, aman, indah atau konsep kehidupan sejati itu sendiri. Proposisi ini menggunakan copula negasi.

Proposisi ini dapat disimpulkan secara kondisional yang memiliki hubungan logis di antara antesdens serta konsekuens. Kesimpulan ini berarti bila belum mematikan nafsu badaniah yang penuh kenikmatan, maka kedamaian atau keutamaan-keutamaan hidup yang sejati tidak dapat diraih. Dengan kata lain bila sudah dapat mematikan nafsu tersebut, maka keutamaan hidup sejati itu dapat diraih, yaitu Allah sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa yang dapat mengalahkan nafsu duniawi itu akan mengalami Allah sendiri. Semuanya itu konsep manunggaling kawula Gusti dapat dipahami melalui proses pemikiran wejangan ini.

Ingkang ngilo Hyang Sukma, wayangane iku, kang ana sajroning kaca, iya sira jenenge manusa jati”[4] (Dia yang bercermin adalah Allah, bayangan yang ada di dalam cermin adalah manusia sejati)

“Dia yang bercermin” dan “Allah” dilihat dari sudut pemaknaan jelas merupakan konsep univok, karena “Dia” secara tegas dinyatakan sebagai Allah yang sama bukan yang lain. Konsep “Allah” mengungkapkan secara determinatif dan penuh esensi dari “Dia yang bercermin.” Konsep “bayangan” adalah bayangan pada umumnya, yaitu rupa sajroning kaca[5] atau bayangan objek di dalam cermin.[6] Sedangkan “manusia sejati” adalah gambaran sempurna dari manusia yang telah mencapai kesejatian hidup.

Bila dilihat dari kopulanya, maka kualitas dari kedua proposisi kategoris sederhana itu bersifat afirmatif, atau meneguhkan. Kata “adalah” berfungsi untuk menghubungkan atau mempersatukan subjek dan predikat. Kata “Allah” mengafirmasi frase “Dia yang bercermin” dan “manusia sejati” mengafirmasi “bayangan yang ada di dalam cermin.”

Semakin jelas kedua proposisi itu, semakin jelas pula kesimpulan yang akan diperoleh. Mengingat yang bercermin adalah Allah, maka bayangan itu adalah bayangan Allah sendiri. Jadi, dengan mengunakan silogisme sederhana, manusia sejati adalah manusia bayangan Allah di dalam cermin. Dengan kata lain, manusia sejati itu secitra dengan Allah. Ada persatuan yang erat antara Allah dan manusia sejati, yaitu hubungan antara objek di depan cermin dan bayangannya. Jika sebuah objek ada di depan cermin, dengan sendirinya bayangan atas objek itu muncul di dalam cermin.

Mati sajronging Ngaurip dan Urip sajroning Ngapejah”4 (mati dalam hidup dan hidup dalam mati)

Konsep “mati” dan “hidup” dilihat dari sudut pemaknaannya merupakan konsep analogi, karena meskipun realitanya dapat berbeda namun memiliki hubungan yang erat. “Mati” dan “hidup” manusia di dalam konsep Jawa dibedakan dengan mati dan hidupnya binatang. “Kang mati iku nepsu, badan lair ingkang nglakoni,… pangene ngrasa matiya.” Yang mati adalah nafsu, badan yang lahiriah, yang nyata, yang merasakan kenikmatan-kenikmatan, dan sebagainya. Singkatnya, matinya hal-hal yang mendorong pada nafsu-nafsu manusiawi yang tidak baik. Hal ini berlaku sama dengan konsep hidup. Hidup di sini berarti hidupnya hal-hal yang mendorong pada keutamaan-keutamaan yang baik.

Proposisi “mati dalam hidup” dan “hidup dalam mati” termasuk proposisi yang tidak memaparkan secara langsung strultur logisnya. Oleh karena itu, dalam kerangka proposisi kategoris, keduanya perlu disusun kembali, meskipun tidak dimaksudkan untuk menganti dengan proposisi yang baru, hanya sebatas memunculkan kopula yang tersembunyi. Dengan demikian hasilnya sebagai berikut: “matinya nafsu-nafsu adalah hidupnya keutamaan-keutamaan” dan “hidupnya keutamaan-keutamaan adalah matinya nafsu-nafsu.” Keduanya memiliki kopula yang bersifat afirmatif sehingga kualitas proposisinya juga afirmatif.

Pada dasarnya, kedua proposisi itu sudah merupakan penyimpulan secara konversi atau pembalikan tanpa mengubah kualitas dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Manusia yang mencapai kesejatian hidup (Bima), di dalam pandangan Jawa, adalah manusia yang mematikan nafsu-nafsunya dan hidup dalam keutamaan-keutamaan (kecenderungan untuk hal-hal yang baik). Mengingat konsep mengenai Yang Baik itu adalah Allah sendiri, maka ditemukanlah titik terangnya di sini. Jadi, manusia yang mati sajroning ngaurip dan urip sajroning ngapejah adalah manusia yang hidup di dalam Allah yang adalah Sang Kebaikan sejati. Sang Kebaikan sejati yang mendorong pada keutamaan-keutamaan. Sehingga, menjadi jelaslah cara berpikirnya untuk sampai pada pemahaman wejangan ini sebagai dasar rumusan manunggaling kawula Gusti.

Penutup

Di dalam masyarakat Jawa, wayang merupakan sebuah bentuk ungkapan pengalaman dan relasi manusia dengan yang Ilahi, dengan sesama, dan lingkungannya. Hal ini merupkan sebuah proses pencarian terus menerus akan yang Ilahi. Usaha pencarian itu juga terlukis dalam kisah Dewa Ruci. Pencarian Bima akan kehidupan yang sejati nampak dalam wejangan-wejangan Dewa Ruci. Di dalam wejangan-wejangan tersebut tersirat sebuah konsep dasar yang menjadi inti dari kehidupan manusia, yaitu bersatunya hamba Tuhan (manunggaling kawula Gusti).

Ketiga wejangan yang dibahas dalam tulisan ini dinilai dapat dipakai sebagai landasan untuk mengerti proses menuju pada pemahaman konsep tersebut. Dalam wejangan pertama dijelaskan bahwa manusia tidak dapat bersatu dengan Allah bila belum mematikan nafsu-nafsu lahiriah, sebab dengan mematikan nafsu-nafsu lahiriah tersebut akan didapat sebuah kedamaian atau keutamaan-keutamaan hidup, yang merupakan Allah sendiri. Wejangan kedua menunjukkan kebersatuan antara obyek di depan cermin(Allah) dan bayangan cermin (manusia). Dalam wejangan yang ketiga dipaparkan bahwa usaha manusia untuk mencapai kebersatuan dengan Allahnya, manusia perlu mati dalam hidup dan hidup dalam mati. Artinya, dalam hidupnya manusia harus bisa mematikan nafsu-nafsu yang menyesatkan agar bisa hidup dalam keutamaan-keutamaan itu, yaitu Allah sendiri. Dari titik tolak inilah rumusan manunggaling kawula Gusti diperoleh.

Daftar pustaka:

  • Haryanto, S, Bayang-bayang Adiluhung. Semarang: Dahara Prize,1995.
  • Sumaryono, E, Dasar-dasar Logika. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
  • Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia, 1984.
  • Tanaya, R, Bima Suci. Jakarta: Balai Pustaka, 1979.
  • Valentinus, Logika. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2002.
  • Zoetmulder, P.J, Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: PT Gramedia, 1990.



[1] Aristoteles, Metaphysics, 980a, 25

[2] Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984, hal 120

[3] R. Tanaya, , Bima Suci. Jakarta: Balai Pustaka, 1979, hal. 42

[4] ibid, hal. 43

[5] ibid, hal 43

[6] Kaca dalam bahasa Jawa diterjemahkan sebagai cermin, bukan kaca karena tidak setiap kaca adalah cermin.

4 ibid, hal. 44

Tidak ada komentar: