the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

Joan of Arc

The Messenger: The Story of Joan of Arc

Ditia Prabowo (07.09042.000022)

Dalam kisah hidupnya, manusia selalu meninggalkan sebuah jejak. Jejak-jejak tersebut menandai adanya sebuah peristiwa yang dilaluinya. Jejak-jejak itu pula yang membuat sebuah sejarah tercipta. Dalam film “The Messenger: The Story of Joan of Arc”, Luc Besson mencoba menghadirkan serta memperbaharui kembali jejak seorang tokoh yang dimiliki Gereja pada abad pertengahan, yaitu Joan of Arc. Kisah “Joan of Arc” ini merupakan sebuah gambaran seorang pahlawan feminis yang kontroversial sekaligus mewakili gambaran situasi antara Gereja dan pemerintah pada abad pertengahan.

Kisah Kepahlawanan

Joan adalah seorang gadis sebuah desa di Perancis yang buta huruf, namun saleh dan memiliki iman yang mendalam. Pada masa hidupnya, Perancis tengah mengalami perang dengan Inggris yang tak kunjung usai. Beberapa penyerangan terjadi ketika masa kecilnya, dan pada salah satu penyerangan ia meilhat sendiri desanya dibakar musuh. Pada masa kecilnya, ia mengaku mendapat sebuah penglihatan. Dalam penglihatan itu, menurut Bapa Pengakuan dan keyakinannya, ia mendapat tugas untuk mengusir Inggris dan membawa putra mahkota Perancis ke Reims untuk dinobatkan menjadi raja.

Sesuai dengan apa yang telah ia lihat, Joan membawa pesan itu kepada pemerintah Perancis, khususnya putera mahkota, agar ia diperbolehkan memimpin penyerangan terhadap musuh. Ia mengatasnamakan Tuhan sebagai pembawa pesan yang telah ia lihat. Tentu sebagai perempuan di abad pertengahan, ia dipandang sebelah mata oleh kaum laki-laki, terlebih para ksatria yang telah biasa berperang. Luc Besson menggambarkan hal ini dengan jelas, bagaimana Joan mendapat kecaman dari pihak kerajaan sendiri. Namun karena ia mendesak dengan mengatasnamakan semua penglihatannya dalam Tuhan, akhirnya ia diijinkan untuk memimpin sebuah penyerangan.

Bila menilik model kepemimpinan Joan dalam pasukannya, dapat dilihat bahwa ia cenderung menerapkan penyerangan frontal. Hal ini bertentangan dengan kebiasaan dan ciri khas model kepemimpinan pasukan Perancis yang cenderung merencanakan strategi dengan hati-hati. Luc Besson melukiskan betapa frontalnya serangan yang dilakukan pasukannya, dan hanya mengandalkan penglihatan Joan. Keberhasilannya nampak ketika ia berhasil merebut Olreans dari Inggris, dan hal ini menghantarkan Charles VII dinobatkan sebagai Raja di Reims. Keberhasilan itu membuat Joan yakin bahwa Tuhan memang menggunakannya untuk membebaskan Perancis dari peperangan. Namun ketika ia mengadakan serangan lanjutan, ia mengalami kekalahan demi kekalahan. Akibat intrik di istana, sejak penobatan Charles VII, ia hanya mendapat pasukan kecil. Nampaknya di sini terdapat sebuah penghkianatan oleh Raja Perancis sendiri, dimana setelah mendapat kekuasaan ia tidak lagi mendukung Joan. Akhirnya ia ditangkap dan oleh pengadilan yang berbau politis ia dihukum dengan dibakar hidup-hidup di Roen karena dianggap sebagai bidaah. Ia menjadi pahlawan dan wafat bagi bangsanya pada usia yang masih sangat muda. Baru sekitar 500 tahun setelah kematiannya ia diakui sebagai orang kudus.

Joan of Arc dan Abad Pertengahan

Dalam melihat sebuah sejarah, kita hendaknya tidak melupakan pesan apa yang masih relevan untuk masa sekarang. Kisah “The Messenger: The Story of Joan of Arc”, mengetengahkan situasi abad pertengahan (antara tahun 1400-1435). Dalam kisahnya dapat kita lihat bagaimana posisi perempuan waktu itu, bagaimana relasi Gereja dengan pemerintah setempat, serta bagaimana ia menghayati semangat nasionalisme bangsanya dalam bayang-bayang penglihatan dan imannya. Hal yang terakhir juga berkaitan dengan bagaimana sikapnya terhadap revelasi yang diberikan kepadanya. Hal ini menarik untuk diperbincangkan dan pada akhirnya kisah klasik ini dapat di-update kembali bagi kehidupan kita sekarang.

Bila melihat tokoh Joan besutan Luc Besson, sisi feminisnya nampak dibatasi. Seakan-akan ia tidak ingin menunjukkan bahwa Joan ini hanya sekedar pejuang feminisme. Memang bukan ini yang hendak ditonjolkan oleh Besson. Namun di sisi lain, bila dilihat kehadiran tokoh Joan of Arc ini membongkar dominasi kaum laki-laki pada abad pertengahan. Pada abad pertengahan dominasi kaum laki-laki memang sangat menonjol. Dapat dilihat dalam film, bagaimana reaksi para ksatria Perancis ketika hendak dipimpin oleh seorang wanita. Banyak dari antara mereka yang mengecam dan tidak setuju. Namun tokoh Joan ini menjungkirbalikkan pandangan mereka bahwa bukan hanya kaum laki-laki saja yang bisa berperang. Sebenarnya ketika berperang, dalam film itu, ditunjukkan ia hanya menjadi motivator dan motor. Sedikit ditampilkan ia berperang mengangkat senjata dan lebih banyak ia memegang bendera panji.

Berbicara mengenai wanita dalam abad pertengahan, terdapat sebuah keyainan bahwa mereka tidak dapat kemasukan roh jahat ketika masih perawan. Hal ini ditunjukkan Besson saat Joan dituduh kerasukan roh atas penglihatannya. Oleh sebab itu ia harus menjalani pemeriksaan keperawanannay. Dan akhirnya memang ia tidak terbukti kerasukan roh, karena ia masih perawan. Pengalaman akan penglihatan yang dialami Joan bagi orang yang tidak percaya adalah sebuah kebohongan. Terlebih pada jaman sekarang, orang tidak mudah percaya akan tanda-tanda seperti itu. Namun hal ini perlu diperhatikan Gereja dalam memperhatikan pengalaman wanita. Wanita dewasa ini cenderung menekankan bahwa kebenaran datang dari pengalaman dan tidak harus dari otoritas.

Dilihat dari segi eklesiologinya, kita dapat melihat bagaimana relasi Gereja abad pertengahan dengan Pemerintah pada waktu itu. Gereja dan negara adalah satu hal yang tak terpisahkan. Kesatuan Gereja dan negara tetap tidak dapat dipecahkan meskipun di bawah dua kekuasaan, Paus dan Raja. Gambaran Gereja seperti ini nampak dalam kisah “The Messenger: The Story of Joan of Arc” ini.

Besson menunjukkan bagaimana peran Uskup setempat juga mempunyai peranan penting dalam pengadilan Joan. Pengadilan Joan ini juga menunjukkan kepada kita bagaimana Gereja dan pemerintah pada abad pertengahan. Uskup Pierre Cauchon adalah seorang uskup Inggris dan anggota dewan yang bertugas mengawasi pendudukan Inggris di utara Perancis. Hal ini memperlihatkan adanya kesatuan antara Gereja dan negara. Pengadilan Joan ini berdasar atas tuduhan bidaah, dan lebih tepatnya berbau politis. Berkaitan dengan otoritas Gereja dan negara, Uskup Cauchon tidak memiliki yurisdiksi untuk bertindak sebagai hakim atas peradilan tersebut. Hal ini dapat menjadi masukan bagi Gereja, bagaiana ia harus bersikap atas keputusan pemerintah. Memang sekarang tak lagi menggunakan model eklesia et patria, tetapi kehadiran Gereja juga tidak lepas dari keberadaan negara sendiri.

Relevansi

Joan of Arc adalah seorang tokoh nasionalis sekaligus tokoh iman. Ia menggabungkan penglihatannya dengan semangat nasionalis dalam memperjuangakan kemerdekaan. Penglihatannya adalah sebuah revelasi yang diterima dari Tuhan sendiri. Sadangkan semangat nasionalismenya muncul karena ia seorang warga negara yang menginginkan negaranya bebas. Dalam perjuangannya memadukan keduanya, akhirya ia sadar bahwa ia lebih condong bukan mengatasnamakan Tuhan, melainkan dirinya sendiri.

Pesan dari Joan of Arc ini kiranya bukan hanya bagi manusia abad pertengahan. Pesan ini masih beragaung dalam masa sekarang. Pesan yang sebenarnya adalah bukan lagi untuk mengusir penjajah dan untuk menobatkan presiden baru, melainkan bagaimana Kerajaan Allah itu diwartakan di tengah-tengah dunia. Satu hal yang perlu diingat, seperti dalam kisah Joan of Arc, yaitu bahwa pewartaan itu haruslah atas nama Tuhan, bukan atas nama pribadi. Banyak kaum fundamentalisme keliru menafsirkan “penglihatan” mereka, seperti kita lihat di tanah air kita. Akhirnya, kisah ini tetaplah up to date, bagi kita, dan pesan ini akan terus kita teruskan dalam hidup kita,dari generasi ke generasi.

Tidak ada komentar: