the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

Jurgen Habermas

Rehumanisasi Teknologi
(Sebuah tinjauan filosofis terhadap tulisan Jurgen Habermas: Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi)



1. Latar Belakang
Dewasa ini, teknologi telah menjadi kebutuhan pokok dari hidup manusia. Teknologi saat ini sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia sebagai penunjang kehidupan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya teknologi, kehidupan manusia menjadi semakin mudah dan cepat. Teknologi membuat jarak antara manusia satu dengan manusia yang lain semakin tak mengenal ruang dan waktu. Hal ini terlihat jelas dalam perkembangan teknologi informasi jaman ini. Jaringan-jaringan komunikasi modern seperti handphone, internet, telah menjamah segala lapisan manusia di dunia ini. Tidak hanya itu, hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pijakan hidup sehari-hari telah mengalami perubahan. Manusia mengolah hasil bumi dengan bantuan teknologi guna menunjang kelangsungan hidupnya. Dengan kata lain, teknologi telah mengubah bentuk relasi manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Hal semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada jaman yang serba modern ini saja. Bila kita menilik kembali ke belakang, perkembangan teknologi ini telah terjadi sejak manusia pra sejarah. Dalam penemuan-penemuan arkeologi, banyak ditemukan alat-alat manusia purba seperti kapak perimbas, kapak lonjong, periuk perak, yang digunakan sebagai alat keperluan sehari-hari. Menginjak ke peradaban dan abad berikutnya, manusia dijejali oleh kebutuhan yang semakin kompleks. Dengan rasio yang dimilikinya manusia membuat sains mewujud secara teknologis. Dari sini terciptalah alat-alat yang lebih canggih untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mesin uap, lampu pijar, telegram, dan pesawat terbang. Tak hanya berhenti di situ saja. Setelah merasakan keuntungan dari alat-alat tersebut, manusia semakin “ketagihan” untuk membuat hidupnya menjadi lebih mudah dan cepat. Tak dapat dielakkan lagi bahwa perkembangan teknologi pun semakin cepat dan pesat hingga saat ini.
Bila melihat segi positif perkembangan teknologi ini, kita dapat mengatakan bahwa itu semua membuat manusia lebih mudah dan cepat dalam melangsungkan eksistensinya di dunia ini. Tapi di lain pihak, teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya.Teknologi yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan dalam diri manusia. Ketika membedah organ-organ yang ada di dalam proses teknologis tersebut, kita akan menemukan berbagai ambiguitas sistem yang membonceng atas nama teknologi. Hal yang paling menonjol adalah kedok ideologi teknokratik. Kekuasaan atas ada-nya manusia didasarkan atas teknologi, manusia menjadi budak teknologi. Tanpa disadari, melalui teknologi manusia direduksi menjadi obyek bukan subyek, ia teralienasi dari diri dan hasil karyanya sendiri. Mentalitas konsumtif pun merajalela dan telah meninabobokkan manusia dalam kenyamanan, yang sebenarnya hanya semu. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia. Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.
Fenomena teknologi yang terjadi tersebut meminta perhatian lebih dari beberapa bidang ilmu. Perhatian ini muncul karena adanya kesadaran baru dalam melihat komplektisitas hubungan teknologi dengan kehidupan manusia. Salah satu bidang ilmu yang mempelajari fenomena ini adalah sosiologi. Para sosoilog klasik antara abad 19-20 mempelajari transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun analisis terhadap transisi tersebut sepertinya mengesampingkan perubahan yang cepat dan dramatis dalam “peradaban materiil” (M.Sastrapratedja: Filsafat Teknologi, dalam “Kata Pengantar”). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa para sosiolog pada waktu itu lebih cenderung memfokuskan analisisnya terhadap faktor-faktor perubahan hubungan sosial, perkembangan rasionalitas, lenyapnya batas-batas sosial, serta perubahan bidang ekomomi. Para sosiolog ini kurang memperhatikan perubahan-perubahan cara hidup masyarakat yang terjadi akibat perkembangan teknologi ini. Salah satu tokoh peletak dasar perubahan sosial ini adalah Max Weber. Ia menggagas soal pergeseran masyarakat tradisional menuju masyarakat modern dengan mengkaitkannya terhadap diskursus rasionalitas. Rasionalitas, menurutnya turut berperan dalam ranah modernitas.
Di lain pihak, ilmu lain yang menelaah fenomena ini adalah filsafat. Pandangan filosofis menilai hal ini dengan mendekatkan diri pada interaksi materiil manusia dengan teknologi, dan manusia dengan dunianya melalui perantaraan teknologi dalam hidupnya sehari-hari. Pembahasan filsafat di sini lebih mengarah pada hakikat dan makna teknologi serta dalam hubungannya dengan hakikat manusia. Salah seorang filsuf, Mumford, menyatakan bahwa kecenderungan manusia; terlebih di Barat; untuk melihat kemajuan teknologi dan ilmu sebagai tujuan sendiri berasal dari asumsi bahwa manusia pada hakikatnya adalah homo faber. Tetapi tidak cukup berhenti di situ saja, melalui alat tersebut manusia memodifikasinya dalam simbol-simbol linguistik, organisasi sosial dan desain.
Pada jaman industrial abad kedua puluh, kehidupan manusia menjadi lebih terganggu dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Pada abad-abad sebelumnya, mesin mempunyai akibat yang tidak dikehendaki atau direncanakan. Mesin digunakan hanya untuk mempermudah kerja manusia. Dengan kata lain mesin terintegrasi dengan berbagai sistem institusional, seperti sistem finansial dan admisnistratif. Hal ini mengakibatkan munculnya sebuah kompleks teknologis. Keadaan seperti ini menimbulkan mentalitas baru pada masa berikutnya, yaitu mentalitas konsumtif, manusia teralienasi dari alat. Keadaan ini membuat para filsuf Jerman, yang tergabung dalam sekolah Frankfurt, tergelitik untuk melontarkan kritikannya terhadap kecenderungan ini. Para filsuf tersebut diantaranya adalah Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas. Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman ini telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia.
Marcuse melihat dalam teknologi terdapat sebuah keunggulan pemikiran analitis dan teknis. Hal ini membuat manusia tereduksi menjadi manusia satu dimensi, yaitu dimensi kapitalisme. Hal ini dilatarbelakangi oleh paham Marxisme yang sedang berkembang, dan juga bertitik tolak dari konsep rasionalitas Weber, yang mengarah pada kapitalisme. Sedangkan Jurgen Habermas menafsirkan teknologi ini lebih positif. Ia menegaskan bahwa dalam sistem teknologi harus terdapat rasionalitas komunikatif, sehingga pada ahkirnya dapat memunculkan nilai-nilai humanis dan menjadikannya lebih manusiawi.
Tulisan ini hendak memaparkan sebuah tinjaun atas karangan Jurgen Habermas yang berjudul “Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi”. Dalam karangannya tersebut, Habermas mengawali pemikirannya dengan bertolak dari kritik Marcuse terhadap Weber tentang rasionalitas. Secara khusus tulisan ini terkonsentrasi pada sisi teknologisnya. Tulisan ini tidak hendak menggagas ulang karya Habermas tersebut, melainkan akan menampilkan intisari pemikiran, refleksi kritis serta relevansi praktisnya bagi hidup kita sehari-hari.

2. Intisari Pemikiran
a) Gagasan Rasionalitas
Tema utama dari tulisan Habermas, yang juga menjadi judul dari bukunya ini, adalah kritik terhadap Marx. Dengan semangat kapitalismenya, Marx kurang menunjukkan sisi komunikasi dalam prosesnya. Hal ini mengakibatkan tertutupnya sisi humanis dari kedok ideologi kapitalis. Memang, kerangka serta konteks pemikiran Habermas ini dilatarbelakangi oleh bentuk kegiatan ekonomi kapitalis yang sedang mewabah pada waktu itu. Tak dapat disangkal bahwa pemikiran Marx sangat berpengaruh dalam segala bentuk kegiatan, khususnya kegiatan ekonomi jaman itu.
Di awal tulisannya, Habermas menggagas kembali konsep rasionalitas Max Weber serta kritik Herbert Marcuse atasnya. Weber, pemikir sosial Jerman ini, merupakan salah seorang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Karl Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Dalam hal ini Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Berawal dari inilah Weber memulai gagasan rasionalitasnya.
Rasionalisasi di sini pertama-tama berarti perluasan bidang-bidang sosial yang ditempatkan di bawah norma-norma pengambilan keputusan yang rasional. Secara sederhana arti rasionalisasi ini adalah membuat sesuatu dengan akal budi atau menjadi masuk akal. Marcuse melihat gagasan rasionalitas Weber ini terarah pada bentuk kegiatan ekonomi kapitalis. Gagasannya adalah bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan. Karena menurutnya agama berperan dalam proses penyuburan kapitalisme.
Salah satu contoh bahwa agama berperan untuk mengembangkan kapitalisme dapat dilihat dalam dunia kerja, khusunya industri. Di dalam pabrik-pabrik disediakan tempat berdoa seperti mushola atau pun kapel. Pada jam-jam tertentu para pekerja diberi waktu untuk berdoa. Di satu sisi hal ini baik, karena pekerja diberi hak untuk menjalankan kewajiban agamanya serta untuk beristirahat sejenak. Namun di sisi lain, tanpa disadari hal ini tersusupi roh kapitalisme yang mengambil rupa dalam bentuk rohani spiritual. Bagaimana tidak, saat tuntutan kerja berat, di tengah-tengah kesibukan itu para pekerja mendapat kesegaran rohani dan menjadi lebih tenang. Dari sini diharapkan pekerja semakin semangat, efektif, dan barang-barang yang diproduksi semakin banyak. Di sinilah rasionalitas bekerja dan menutupi kesadaran manusia.
Hal semacam ini dilatarbelakangi oleh kaum Calvinis, yang mengejar kesuksesan guna mencapai surga (predestinasi). Orang yang hidupnya di dunia baik, sejahtera, bahagia dipastikan akan masuk ke dalam kebahagiaan kekal di surga. Sedangkan mereka yang hidupnya di dunia penuh dengan sengsara, miskin, tak akan mendapat kebahagiaan kekal. Pandangan seperti ini membuat manusia yang hidup di dunia ini terus menerus berusaha mencapai kebahagiaan kekal tersebut bagi seluruh kehidupannya. Apa yang nampak di dunia akan menjadi acuan bagi kehidupan ahkir nanti. Usaha manusia untuk meraih kesuksesan di dunia ini ahkirnya jatuh pada rasionalisasi belaka. Orang sibuk dengan diri sendiri atau kelompok dalam mengusahakan kesuksesan tersebut, sehinga yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin. Rasionalisasi ini mendapat peneguhannya dalam hal spiritual, ia masuk lewat segi rohani agar mudah diterima oleh manusia. Dengan kata lain berarti terdapat suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional dalam memperoleh kekayaan. Segala sesuatu dihubungkan dengan dimensi rohani, guna meningkatkan kinerja dan hasil. Rasionalisasi mendapat tempat utama dalam bentuknya yang tak nampak Lama-kelamaan, pada suatu titik tertentu, rasionalitas ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, “roh kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah semangat rasionalisme. Semangat seperti ini telah terintegrasi dalam kodrat manusia sebagai mahkluk barakal budi.
Sebenarnya konsep rasionalitas Max Weber mengarah pada modernisasi. Semangat kapitalisme tidak mungkin tidak bergerak cepat dalam jaman modern. Gerak langkah rasionalisasi masyarakat berkaitan dengan perkembangan kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi, dan hal ini terjadi dalam masyarakat modern. Bertitik tolak dari gagasan Weber tersebut, Herbert Marcuse mencoba mengasah pisau analisanya untuk membedah bahwa pengertian formal dari rasionalitas dari Max Weber ini mempunyai implikasi-implikasi tertentu. Marcuse yakin bahwa apa yang disebut rasionalisasi oleh Weber, tidak terkandung prinsip rasionalitas itu sendiri. Marcuse lebih melihat bahwa dalam proses rasionalisasi tersebut berlaku sebuah bentuk tertentu kekuasaan politik yang terselubung dengan kedok rasionalitas.
Rasionalitas yang ditumpangi oleh kekuasaan politik ini, menurut Marcuse, hanya menyangkut hubungan-hubungan penguasaan teknis yang memungkinkan bagi manusia. Penguasaan teknis ini menuntut sebuah tundakan yang mengandung implikasi kekuasaan, baik penguasaan atas alam atau atas masyarakat. Alur pikir rasionalitas yang dianalisa oleh Marcuse tersebut dapat dimengerti sebagai bentuk legitimasi kekuasaan yang baru. Alat-alat digunakan dengan kontrol rasional, guna menjaga sistem sosial masyarakat, yang tanpa disadari telah mengandung isi politik di dalamnya. Hal semacam inilah yang membuat Marcuse memunculkan sebuah hipotesa bahwa pengertian rasio teknis itu adalah ideologi dan teknik itu sendiri adalah kekuasaan.
Douglas Kellner, dalam bukunya yang berjudul “Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism”, memberikan gambaran tentang rasionalitas kaum kapitalis. Dia menulis:
The capitalist rationality, Marcuse points out, is conditioned and controlled by two material conditions, two unique historical facts: (1) the provision of human needs and calculable efficiency takes place within the private enterprise system and geared towards the profit of the individual enterpreneur or enterprise; (2) the means of production are private property, and the labourers must sell their wage labour to the owner of the means of production to provide for their own needs.

Dijelaskan di atas bahwa dalam masyarakat kapitalis, rasionalitas yang dipakai dipengaruhi dan dikontrol oleh dua kondisi materiil, dan dua fakta sejarah yang unik. Pertama adalah penyediaan kebutuhan manusia dan efisiensi di perusahaan swasta yang diarahkan pada sistem yang keuntungan dari individu usahawan. Kedua alat produksi adalah milik swasta, dan buruh harus menjual tenaga kerja untuk upah bagi pemilik alat produksi guna menyediakan kebutuhan mereka sendiri. Kedua hal ini berarti mengindikasikan bahwa rasionalisasi telah melegitimasikan diri dalam sebuah tataran sistem politis.
Di bagian lain dalam tulisan Habermas ini, menampilkan bahwa Marcuse melihat ada sebuah fenomena yang tak umum. Konteks negara kapitalis saat itu menampilkan sebuah pengerukan modal besar-besaran dalam meraih keuntungan. Biasanya di dalam masyarakat kapitalis dengan industri yang sudah maju seperti ini, kecenderungannya memiliki model atau sistem kekuasaan yang menindas dan memeras. Namun kenyataannya dalam kontek waktu itu, Marcuse melihat hal yang aneh. Watak pemeras dan penindas bergeser menjadi rasional, tetapi tetap tidak menghilangkan muatan poitiknya. Rasionalitas kekuasaan menyesuaiakan diri kepada upaya mempertahankan suatu sistem, yang mampu menjadikan peningkatan kekuatan-kekuatan produksi yang berkaitan dengan kemajuan teknis ilmiah sebagai landasan legitimasinya, walaupun di lain pihak, tingkat kekuatan-kekuatan produksi juga justru menunjukkan potensial, yang apabila dijadikan ukuran membuat pengurbanan dan beban yang dikenakan pada individu-individu nampak semakin tidak perlu, semakin tidak rasional.
Satu hal yang patut dicatat pula bahwa ideologi diartikan sebagai kesadaran teknokratik Dapat dikatakan di sini bahwa jika ilmu dan teknologi telah menjadi sikap hidupnya, maka kerangka berfikirnya menjadi didominasi ilmu dan teknologi. Dengan demikian manusia itu telah diarahkan dan diatur oleh ilmu dan teknologi yang mereka ciptakan sendiri. Dengan kata lain, melalui kritiknya terhadap Max Weber, gagasan rasionalitas menurut Marcuse lebih mengarah kepada sebuah instrumentalisasi manusia atau masyarakat.

b) Peleburan Teknik dan kekuasaan
Dalam sistem politik, Marcuse menyatakan bahwa prinsip umum dari ilmu adalah apriori yang distrukturkan sehingga membentuk kerangka operasionalisme instrumen. Dikatakan bahwa apriori teknologi adalah apriori politik. Prinsip-prinsip teknologi digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Menurut Habermas sistem politik seperti ini terjadi di negara kapitalis. Ini terlihat dalam teknologi baru dan strategi untuk mencapainya. Dari sini muncul inovasi-inovasi yang dilembagakan, seperti badan-badan dunia yang berdalih memberikan bantuan, namun dibalik itu terjadi penetrasi politik yang tidak disadari. Selanjutnya inovasi-inovasi ini menjadi kekuatan produksi, karena “bantuan“ yang diberikan mengharuskan untuk mengambil komoditi dari negara asal pemberi bantuan. Kekuatan ini memberikan legitimasi sistem politik. Sistem kapitalis memberikan legitimasi dominasi ilmu dan teknologi demi tujuan dan kepentingan kelas-kelas tertentu.
Habermas mengemukakan analisis Marcuse, tentang fenomena “pelebuaran yang aneh antara teknik dan ideologi“, bahwa ilmu pengetahuan yang berdasar metode-metode dan pengertiannya sendiri telah merencanakan dan mendorong terciptanya suatu dunia, di mana penguasaan atas alam tetap terikat kepada penguasaan atas manusia. Dikatakan lebih lanjut bahwa terjadi penyatuan antara hierarki rasional dan sosial. Selain itu menurut Marcuse ada dua bentuk kekuasaan, yaitu kekuasaan yang menindas dan kekuasaan yang membebaskan. Di sinilah nanti disodorkan sebuah proyek alternatif, yang pada ahkirnya harus dikembalikan pada sebuah proyek manusia secara keseluruhan. Salah satu implikasinya adalah bahwa manusia tidak lagi mengenali alam sebagai akunya yang lain, melainkan dirinya adalah Aku yang lain dari subyek. Nilai manusiawi lebih dijunjung tinggi.
Pada bagian ini, juga terjadi sebuah pemaduan masyarakat, yaitu masyarakat tanpa oposisi. Padahal, bila dilihat dalam sistem pemerintahan, tidak adannya oposisi dalam sebuah politik akan menyebabkan pemerintah berjalan tanpa kontrol. Hal lain yang terungkap di sini adalah bahwa teknik itu sendiri merupakan sebuah proyek. Ini mengindikasikan sebuah transformasi mentalitas teknologis dalam masyarakat-masyarakat kapitalis. Dari sini dapat dilihat sasaran dari teknik itu sendiri, yaitu penindasan dan eksploitasi manusia melalui alam dengan carannya yang lembut, damai dan menyenangkan.
Marcuse, sebagaimana dijelaskan dalam tulisan Habermas, merasa ragu apakah ada maknanya untuk merelatifkan rasionalitas ilmu dan teknik menjadi suatu rencana (alternatif). Dijelaskan, bahwa dalam bukunya (Manusia Satu Dimensi), sebagai suatu dunia, sarana-sarana teknik dapat memperbesar kelemahan maupun kekuatan manusia. Pada tahapnya yang sekarang, ia mungkin lebih tak berdaya dari sebelumnya terhadap alatnya sendiri.

c) Distingsi Kerja dan Interaksi
Menurut Karl Marx, kerja merupakan tindakan manusia yang paling dasar, dalam pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi nyata. Pekerjaan jugalah yang membuat manusia berbeda dari mahkluk lain. Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara langsung dari alam. Oleh karena itu manusia perlu sebuah usaha untuk mengolah alam. Usaha inilah yang dinamakan dengan kerja. Lebih lanjut Marx menekankan bahwa kerja yang dilakukanoleh manusia bersifat bebas dan universal. Bebas karena, meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung manusia tetap dapat bekerja. Universal berarti di satu pihak manusia dapat memakai berbagai cara untuk tujuan yang sama, dan di pihak lain manusia dapat mengolah sesuatu dari alam tidak hanya demi satu kebutuhan.
Pengertian kerja semacam ini merupakan salah satu bentuk pergerakan menuju masyarakan modern. Roh dari modernitas adalah rasionalitas. Segala bentuk rasionalitas telah membawa masyarakat pada budaya baru dimana di dalamnya terdapat sebuah kemajuan teknik-ilmiah terhadap kerangka institusional masyarakat. Dalam masyarakat modern terdapat sebuah relasi yang ,secara signifikan, mempengaruhi proses dinamikanya. Relasi itu adalah anaara kerja dan interaksi. Adanya modernisasi tak dapat dipisahkan dari adanya kerja dan interaksi yang saling berkolaborasi.
Habermas secara khusus memberikan rumusan baru kepada gagasan rasionalisasi yang diungkapkan oleh Max Weber ini. Jika kita melihat titik tolak dari Max Weber adalah subyektifitas, sedangkan dalam rumusan baru ini Habermas seperti mau melangkahi titik tolak tersebut. Langkah yang ditempuh Habermas kali ini adalah pertama-tama bertitik tolak dari distingsi yang jelas dan mendasar antara kerja dan interaksi.
Kerja, menurut Habermas ini, dapat dilihat dari dua sisi, kerja instrumentalis dan kerja rasional. Perlu diberi tekanan di sini bahwa, Habermas kerap kali menggunakan istilah kerja sebagai tindakan bertujuan rasional. Tindakan instrumental di sini menyesuaikan diri kepada aturan-aturan teknis yang didasarkan pada pengetahuan empiris (a posteori). Di lain pihak, perilaku pilihan rasional menyesuaikan diri kepada sistem-sistem nilai yang didasarkan pada pengetahuan analitis.
Selain kerja, Habermas membuat batasan definisi dari interaksi dalam tataran perantaraan simbol. Tindakan ini dinamakan tindakan komunikatif. Dengan kata lain bahwa interaksi di sini mengacu pada sebuah tindakan komunikasi Tindakan semacam ini menyesuaikan diri kepada norma-norma yang berlaku wajib, dan ini diakui oleh dua pihak subyek yang bertindak. Norma-norma sosial ini diperteguh dengan adanya sanksi-sanksi. Validitas dari unsur ini harus terjadi dalam relasi intersubyektivitas dan mengeluarkan kata sepakat mengenai maksud-maksud yang diharapkan. Bila kedua hal ini tidak terlaksana atau terjadi pelanggaran, maka akan mengakibatkan sebuah penyimpangan dalam relasi intersubyektivitas itu dan ahkirnya memfungsikan sanksi-sanksi yang telah tercetus melalui konvensi sebelumnya. Jadi dengan demikan komunikasi itu terjadi dalam relasi intersubyektifitas yang bebas (tu-tu).
Dari kedua jenis tindakan tersebut, Habermas melihat bahwa dapat dibedakan mana yang lebih predominan, tindakan bertujuan rasional (kerja) atau interaksi. Kerangka intitusional suatu masyarakat terdiri dari norma-norma yang membimbing interaksi-interaksi yang menggunakan bahasa. Distingsi yang jelas antara keduanya (kerja dan interaksi) dijelaskannya sebagai berikut:
Sejauh tindakan-tindakan itu ditentukan oleh kerangka intitusional, tindakan- tindakan itu juga diarahkan dan dipaksakan oleh harapan-harapan perilaku yang dikukuhkan dan berlaku secara timbal balik. Sejauh tindakan-tindakan itu ditentukan oleh subsistem-subsistem tindakan bertujuan rasional, maka tindakan-tindakan itu mengikuti pola-pola tindakan instrumental atau strategis.

Habermas di sini mengajukan epistemologi rasionalitas sebagai pembedaan kepentingan teknis (medium kerja), praktis (komunikasi), dan emansipatoris (kekuasaan). Kepentingan teknis mengarahkan ilmu-ilmu empiris-analitis sebagai kekuatan produksi, kepentingan praktis mengarahkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis sebagai kekuatan komunikasi, dan kepentingan emansipatoris mengarahkan ilmu-ilmu kritis sebagai kekuatan refleksi. Kepentingan kognitif tersebut meniscayakan perimbangan praksis sebagai rasio-komunikatif.

d) Dari Masyarakat Tradisional menuju Masyarakat Modern
Berbicara mengenai perkembangan teknologi dan segala dinamikanya, maka kita juga akan mengarah pada sebuah pergeseran mentalitas. Hal itu dapat dilihat dari sebuah masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Di antara keduanya ini terjadi perkembangan dari yang pertama disebutkan menuju yang terahkir.
Sebelum masuk lebih jauh tentang hal ini, pada bagian ini akan sedikit dipaparkan bagaimana Weber menuturkan pandangannya tentang modernitas. Hal ini juga terkait megenai bagaimana perubahannya dari masyarakat tradisional. Weber memiliki pandangan yang agak berbeda bila dibandingkan dengan sosiolog lainnya seperti Comte dan Durkheim. Dalam hal ini Weber lebih menekankan soal apa yang menjadi “roh” dari modernitas. Seperti pemikir lain, Weber melihat bahwa rasionalisme sebagai bunda yang melahirkan modernisasi. Lebih lanjut, sebagai seorang tokoh sosial, ia melihat bahwa rasionalisme ini tidak hanya mempengaruhi manusia saat berhubungan dengan alam, tetapi juga atas sesamanya manusia. Inilah yang nantinya disebut sebagai rasionalisasi masyarakat.
Rasionalisasi masyarakat ini terlihat dari pergeseran orientasi masyarakat kepada kepemimpinan. Weber melihat pergeseran ini dalam otoritas karismatis dan tradisional ke arah otoritas rasional legal. Otoritas tradisional merupakan orientasi masyarakat yang menganggap benar sikap dan cara bertingkah laku yang telah diikuti oleh kebiasaan keluarga, komunitas dan masyarakat mereka. Dalam bentuk otoritas seperti ini, kebanyakan pemimpin mereka adalah yang paling tua dan lebih banyak menguasai tradisi mereka. Selanjutnya otoritas karismatis adalah orientasi masyarakat yang menganggap benar segala sesuatu yang dikatakan seorang tokoh karismatis. Tokoh ini dipandang memiliki kekuatan atau pengetahuan yang luas, memiliki kekuatan supranatural. Hal ini membuat apa yang dikatakannya diakui benar dan ditaati.
Penelitian Weber ini dapat disimpulkan bahwa pada masa lampau, banyak daerah atau tempat yang masyarakatnya berorientasi pada otoritas tradisional. Dalam hal i ni ketika masyarakat ini mengalami sebuah masalah, maka akan diperlukan dan muncul seorang tokoh karismatis, yang kemudian mengubah dan meperbaharui tradisi. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa masyarakat semakin menggunakan rasionya untuk bertindak. Mereka mempertanyakan segalanya dan menginginkan jawaban yang serba rasional. Berawal dari sini, orientasi masyarakat berubah menjadi otoritas rasional legal. Orientasi pada otoritas ini mengindikasikan bahwa orientasinya masyarakat mengarah pada cara berpikir rasional tujuan atau sarana-tujuan. Hal ini berarti bahwa masyarakat mau bertindak dengan cara yang paling dapat diperhitungkan dan rasional untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Orientasi ini (otoritas rasional-legal), pada akhkirnya melahirkan masyarakat modern. Salah satu ciri pokok masyarakat ini adalah adanya birokrasi, suatu struktur kehidupan yang diatur oleh beberapa hal. Aturan-aturan tersebut antara lain ada pembagian kerja yang berdasarkan keahlian, ada hierarki otoritas yang mengatur jalannya informasi dari bawah ke atas. Selain itu ada sebuah pemisahan antara urusan organisasi dengan urusan pribadi, dan ada aturan tertulis. Hal-hal itulah yang membedakan masyarakat modern terhadap masyarakat tradisional.
Setelah melihat pandangan Weber mengenai perubahan masyarakat di atas, kita akan melihat bagaimana Habermas menelaah hal ini. Dalam melihat sebuah masyarakat tradisional Habermas menyebutnya sebagai sebuah masyarakat yang pada umumnya telah memenuhi kriteria kebudayaan tinggi (peradaban). Mereka ini telah mencerminkan satu fase tertentu dalam sejarah perkembangan bangsa manusia. Ia membedakan dengan masyarakat primitif, dengan alasan bahwa pertama, dalam masyarakat tradisional telah memiliki suatu kekuasaan pemerintahan yang dipusatkan (bukan lagi atas dasar suku). Kedua, karena masyarakatnya telah terbagi dalam kelas-kelas sosio-ekonomi. Dan ketiga, karena telah memiliki pandangan dunia yang sentral (mitos, agama yang sudah maju), dan hal ini berfungsi untuk memberikan legitimasi yang efektif pada kekuasaan.
Ungkapan masyarakat tradisional mengacu pada keadaan dimana kerangka institusional bertumpu pada dasar legitimasi yang tak dipersoalkan lagi dari interpretasi mitis, keagamaan atau metafisis mengenai keseluruhan realitas. Pergeseran atau gerbang antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern, tidak bercirikan pertama-tama oleh adanya tekanan-tekanan kekuatan produksi. Yang baru adalah sebuah perkembangan dari kekuatan-kekuatan produksi, yang membuat perluasan subsistem-subsistem tindakan bertujuan rasional (kerja) menjadi permanen. Dengan demikian pandangan-pandangan dunia yang mitis, religius dan metafisisi itu tunduk pada logika konteks-konteks interaksi. Logikanya dapat menyesuaikan diri kepada tata bahasa suatu komunikasi yang rusak dan kepada kausalitas yang tak terhindarkan dari simbol-simbol yang terpecah dan motif-motif yang ditekan. Sehingga, lebih lanjut dikatakan oleh Habermas, bahwa rasionalitas permainan bahasa yang dikaitkan dengan tindakan komunikasi sekarang, dalam pintu gerbang modernitas, dihadapkan pada suatu rasionalitas hubungan tujuan-sarana yang dikaitkan pada tindakan instrumental strategis.
Dari pemahaman di atas, dapat dipahami bahwa dalam masyarakat tradisional juga disebut sebagai budaya tinggi (hochkultur), yang telah memiliki ideologis mitis dan dogmatis. Masyarakatnya dilandaskan pada hubungan-hubungan politis. Berbeda dengan masyarakat tradisional, masyarakat modern lebih mengarah pada rasionalitas dan ini dipandang sebagai penghancur legitimasi. Hubungan antar masyarakatnya adalah tergantung dengan hubungan produksi.
Berbicara mengenai hubungan antara masyarakat yang terjadi di dalam dua bentuk tadi, kita juga tidak lepas dari apa yang namanya “bangunan atas” dan “bangunan bawah”. Bangunan atas ini adalah cetusan dari konsep pemikiran Karl Marx. Dijelaskan bahwa bangunan atas didasarkan pada unsur-unsur budaya, agama, tradisi, dan ideologi. Yang terahkir inilah yang sangat berpengaruh dalam prosesnya dan dapat merasuki rasionalitas manusia. Sebaliknya, dalam “bangunan bawah”, hubungan antar anggota masyarakatnya didasarkan atas nilai ekonomi.
Kehidupan masyarakat modern menimbulkan permenungan yang dalam tentang arti manusia itu sendiri. Hal ini menuai kritikan dari para penganut Teori Kritis. Selain bahwa pencerahan abad modern mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi. Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya. Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis.

4. Refleksi Kritis
a) Necesitas Komunikasi
Salah satu maksud praktis dari pemikiran filosofis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Pemikiran filososfis ini merupakan buah dari rasionalitas. Proses rasionalitas dapat dikatakan sebagai proses menuju otonomi dan kedewasaan pemikiran. Dalam hal ini, apa yang telah diungkapkan jauh di atas, menyangkut usaha sekolah Franfurt dalam menjelaskan keberadaan masyarakat di tengah-tengah jaman. Secara khusus hal ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas dalam sebuah teori terkenal darinya, Teori Kritis. Teori Kritis berhutang besar pada pola pikir sosiologis. Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang sama juga, Teori Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Teori Kritis melalui Habermas mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi.
Apa yang dilakukan Habermas dalam konsep tindakan komunikatif adalah mengembangkan pemahaman rasionalitas yang tidak lagi terpusat pada subjek, serta klaim-klaim kebenaran yang terpusat pada individual.
Habermas mecoba melakukan kritik terhadap rasio instrumental yang mereifikasi ‘dunia kehidupan’ masyarakat manusia. Dengan rasio instrumental manusia modern berlaku terhadap di luar dirinya dalam hubungan subyek-obyek. Tidak hanya kepada alam, melainkan juga kepada sesama manusia. Menurutnya, pengetahuan yang lahir dari rasio instrumental adalah pengetahuan yang sejauh mana dapat mendefinisikan obyek di luar dirinya. Dan praksis yang lahir, sejauh mana manusia sebagai subyek otonom mampu memanipulasi realitas di luar dirinya.
Habermas menawarkan perangkat lain yakni rasio komunikatif. Rasio komunikatif ini ia bedakan secara tegas dengan rasio instrumental. Dalam rasio komunikatif, relasi yang dibangun adalah relasi subyek-subyek. Proses mengetahui bukan dalam rangkan mendefiniskan obyek di luar dirinya, melainkan membangun pemahaman intersubyektif antarsubyek dalam ‘dunia kehidupan’.
Lebih jauh, dalam teorinya, Habermas mengemukakan tentang kompetensi komunikasi. Dalam sebuah komunikasi, individu harus memiliki kebenaran, kejujuran, kejelasan dan ketepatan. Setiap individu yang berkomunikasi sejatinya pasti meneguhkan hal tersebut. Satu komunikasi dianggap berhasil bukan karena mampu mewujudkan tujuan dari satu atau lebih pesertanya, melainkan jika setiap peserta mempunyai pemahaman intersubyektif yang sama tentang situasi atau masalah yang sedang terjadi. Habermas telah mengusahakan sebuah pergeseran, yang cukup baik, dari hasrat bertujuan rasio instrumental ke arah klaim moral tentang ‘dunia kehidupan’ bersama.
Namun dalam hal ini perlu dilihat bahwa Habermas masih menonjolkan sebuah konsep kounikatif yang menuntut persyaratan-persyaratan berat. Bila dilihat di dalam konsep komunikasi ini harus terjadi sebuah situasi perbincangan, relasi sosial, serta aktor-aktor ideal agar tercapai tindakan komunikasi ideal. Situasi , bahasa, dan aktor-aktor ideal ini mungkin mudah untuk diusulkan, tetapi dalam kenyataannya sangat sulit diwujudkan. Salah satu hal yang menyebabkan sulitnya memunculkan tindakan komunikatif ideal ini adalah sifat dasar manusia yang tidak memungkinkan terbentuknya situasi ideal ini, seperti ingin menguasai, egois, denda, dan cemburu. Dalam hal ini Habermas seperti kurang melihat bahwa dalam setiap diskursus, relasi kekuasaan tidak sepenuhnya dapat diabaikan. Dalam hidup sehari-hari orang tidak hanya ingin dipahami, tetapi juga dipatuhi, dihargai, dan diikuti. Oleh karena itu situasi komunikasi yang ideal masih menghadapi kesulitan dalam merealisasikannya.
Kemajuan teknologi yang sedang menjamur saat ini sebenarnya telah mebentuk sebuah sistem komunikasi. Ambil contoh, melalui komputer orang bisa menyapa sesamanya yang berada jauh dari dirinya dengan teknologi internet, melalui telepon orang bisa berbicara tanpa bertemu langsung, dan sebagainya. Namun bila dilihat hal ini menampakkan kesemuan belaka. Semua bentuk komunikasi itu hanya dikemas dalam sebuah media yang disimulasikan, dan terkadang bersifat hyper. Ruang-ruang komunikasi saat ini telah dirasuki oleh kepentingan-kepentingan yang begitu rumit. Hal ini menampilkan sebuah bentuk tekanan yang halus, tersembunyi dan ini tidak disadari oleh manusia.
Habermas berharap bahwa komunikasi intersubyektif akan terbangun. Komunikasi yang demikian pada gilirannya akan mengikis hasrat bertujuan dari rasio instrumental manusia modern. Untuk itu, Habermas juga mensyaratkan bahwa komunikasi harus jauh dari kepentingan-kepentingan tersembunyi yang bertujuan tertentu. Proses komunikasi intersubyektif semacam ini yang menurut Habermas dapat mengembalikan wajah dunia. Manusia berinteraksi bukan hanya karena tujuan-tujuan tertentu saja, melainkan juga dalam usaha membantu memahami yang lain. Egosentrisme dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan dalam proses interaksi masyarakat manusia. Jika egosentrisme ini masih berkambang, selubung kepentingan pribadi tersebut harus dapat segera telanjangi. Habermas memimpikan bentuk masyarakat ideal yang melakukan sesuatu atas dasar ketulusan, untuk menuju kehidupan bersama yang lebih baik.

b) Re-humanisasi
Salah satu penyebab yang ditakutkan, dan mungkin ini sudah terjadi, adalah bahwa dengan adanya teknologi, manusia semakin terasing dari dirinya sendiri. Betapa tidak, dengan bantuan alat-alat, semua yang menjadi kebutuhan manusia dapat teratasi, biarpun kita tidak terlibat langsung. Tetapi sayangnya kita lebih banyak tergantung oleh alat-alat tersebut. Hasilnya, jika tidak ada alat itu lagi, kita menjadi enggan, malas dan bahkan tak bisa apa-apa.
Banyak orang yang mengaku bahwa seluruh isi pikirannya lebih praktis bila disimpan dalam hard disc komputernya. Hal ini untuk mengantisipasi kelalaian ketika kita harus mengingat sekian banyak data di otak kita. Hal ini mengindikasikan bahwa kodrat kita sebagai makhluk berakal budi telah bergeser. Pikiran yang sebenarnya menjadi bagian dari kodrat kita telah berpindah tempat. Bahayanya, bil apa yang telah disimpan dalam komputer tersebut hilang, kta pun ikut hilang, eksistensi kita lenyap.
Hal semacam ini sangat sesuai atas apa yang telah dijabarkan oleh para tokoh di atas. Proses alienasi manusia terhadap dirinya berawal dari rasionalitas itu sendiri. Manusia merasionalkan gagasannya untuk menyimpan pikirannya dalam komputer agar tidak mudah lupa. Namun rasionalitas itu membuat kita terpisah dari kodrat kita. Demikian pula dalam hal pekerjaan. Bila pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan dan memberi kepuasan. Namun kenyataannya, yang terjadi adalah kebalikannya. Banyak orang mengeluh, khususnya para buruh pabrik yang berada dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak memuaskan mereka dan malah mengasingkan mereka.
Menurut Karl Marx, keterasingan dari dirinya sendiri itu memiliki tiga segi. Pertama si pekerja merasa terasing dari dirinya produknya. Hasil produksi seseorang seharusnya membawa rasa bangga bagi orang yang menghasilkannya dan seharusnya mencerminkan dirinya yang cakap, karena produk adalah obyektivasi pekerjaan. Kedua , tindakan bekerja kehilangan arti bagi para pekerja. Kerja serasa menjadi paksaan. Ketiga adalah bahwa manusia memperalat dirinya sendiri. Ia tidak mengembangkan diri, malahan memiskinkan diri sendiri. Ia harus tunduk pada sistem yang ada dan tidak dapat bebas mengembangkan diri.
Keterasingan manusia dalam kemajuan teknologi ini sudah dimulai ketika manusia berorientasi pada teknologi itu sendiri. Keterasingan manusia dikaitkan dengan proses industrialisasi yang semakin menempatkan kerja manusia tidak dihargai. Kerja bukan dilihat sebagai ekspresi kemanusiaan tapi justru diubah menjadi komoditas kapitalistik belaka. Marcuse menyebutnya sebagai proses reifikasi. Dimana relasi antarindividu nampak sebagai relasi komoditas. Hubungan antarmanusia menjadi sebuah hubungan komoditas yang sifatnya pertukaran ekonomis-politis belaka.
Teknologi dan ilmu harus menjadi bagian dari proses pemanusiawian. Pelbagai pandangan tentang ilmu dan teknologi memang sepakat untuk menyatakan bahwa, keduanya merupakan piranti kehidupan manusia yang sangat proaktif. Namun untuk itu harus diciptakan keseimbangan-keseimbangan, terutama dengan hadirnya kesadaran manusia tentang kepribadian, moral ataupun etika yang melihat permasalahan sosial secara holistik. Tuntutan yang demikian memerlukan kontempalsi sosial, sehingga langkah-langkah untuk menentukan masa depan peradaban manusia bukan sebagai suatu jawaban terhadap kemungkinan perspektif dari perkembangan kebutuhan manusia, namun juga mempertimbangkan kelestarian
habitat kehidupan secara keseluruhan. Untuk itu kontemplasi keilmuan memerlukan pandanganpandnagan yang bersifat spiritual yang akan mampu menerobos kecongkakan manusia dan partikularisasi pikiran itu sendiri (Kompas, Kamis, 7 Mei 2009).
Kini saatnyalah, bahwa kita sebagai anak generasi modern berusaha mencari teknologi yang tepat guna, tidak bertujuan demi kepentingan diri sendiri. Hal ini mengingat bahwa teknologi diciptakan untuk membantu kelancaran kerja manusia dalam mengelola hidupnya. Bukan sebaliknya malah memperalat dan semakin tidak memanusiawikan manusia itu sendiri. Oleh karena itu di dalam perkembangan teknologi jaman sekarang re-humanisme perlu dimunculkan dalan prosesnya.

5. Relevansi Praktis
a) “Ada Frater di Facebook”
Kalimat di atas adalah salah satu komentar yang ada di halaman Facebook saya. Saat itu saya masih pertama kali bergabung dengan situs pertemanan tersebut. Ada beberapa comment di halaman berikutnya, yang intinya mengungkapkan keheranan bahwa seorang religius juga sudah terserang firus modernitas. Saya sendiri pada awal bergabung dalam situs pertemanan yang sedang tenar saat ini, hanya bermaksud untuk menjalin relasi dan relasi ini akan dapat digunakan untuk mempermudah pelayanan saya. Lewat internet saya dapat mewartakan iman, memberi informasi seputar Gereja dan sebagainya. Namun agaknya fenomena kaum biarawan yang masuk dunia maya ini, dimengerti dengan kurang bijaksana oleh banyak kalangan, bahkan oleh kaum berjubah sendiri.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat segalanya menjadi mudah. Hal ini dirasakan oleh semua orang, baik kecil, tua dan muda. Tak kecuali dalam kalangan para biarawan-biarawati, terlebih mereka yang berada di komunitas-komunitas studi. Teknologi telah merasuki pula sebuah daerah yang dahulu terkenal dengan “penjara suci”, dimana barang-barang duniawi tak bisa menembusnya. Tapi kini jaman telah berubah. Teknologi pun telah berhasil menerobos hingga ke dalam tembok-tembok biara yang sangat tebal dan tinggi. Dunia luar pun terpampang jelas dari dalam karena tidak adanya penghalang. Semua bisa dijangkau oleh teknologi ini meskipun di balik tembok.
Masuknya teknologi di dalam biara pada jaman ini seperti memiliki dua mata pisau yang tajam. Di satu sisi, hal ini membuat pelayanan kepada umat menjadi semakin mudah. Namun di sisi lain, peralatan-peralatan canggih itu dapat membuat mereka menjadi budak, bukan lagi pelayan. Bayangkan saja bahwa pada jaman dahulu, sebelum ada handphone, motor, ketika kita harus memberi pelayanan sakramen misalnya,jarak yang sangat jauh sangat merintangi kita. Namun sekarang dengan hadirnya motor, handphone, semua itu serasa mudah dan cepat.
Bagi kaum berjubah, terlebih yang berada di sebuah komunitas studi, fenomena ini hendaknya ditanggapi dengan arif dan bijak. Jangan sampai dengan adanya alat-alat canggih jaman sekarang malahan membuat kita menjadi mahkluk asing. Proses alienasi ini dapat menjangkit pada banyak hal. Pertama, bila kita tidak dengan bijak menerima perkembangan teknologi ini kita akan terpisah dari diri panggilan kita, yaitu panggilan untuk melayani. Interaksi kita dengan orang yang kita layani hanya terbatas pada sebuah ruang teknis. Kita mudah enggan untuk berkontak secara langsung karena sudah ada telepon atau internet yang membuat kita tak perlu bertemu secara langsung. Proses alienasi kedua yang perlu diwaspadai adalah kita terjebak dalam alat-alat, sehingga kita tidak sadar akan diri kita dan menjadi budak teknologi. Di sinilah sisi kemanusiaan kita hilang dan diganti menjadi kesadaran teknokratik. Kodrat kita sebagai manusia mencair menjadi satu dengan mesin.
Teknologi dapat mengubah pengalaman maupun persepsi manusia dan jenis-jenis hubungan manusia teknologi yang membawa dampak pada budaya dan hidup manusia. Dalam hal ini alat berperan sebagai instrumen ilmiah dan instrumen budaya. Sebagai seorang manusia kita tidak mungkin mengindari penggunaan teknologi dalam hidup kita sehari-hari. Namun, kita memiliki kehendak bebasa dan dengannya kita tetap memiliki pilihan untuk tidak mempersilakan teknologi menguasai diri kita.

b) Pentingnya Refleksi Kritis
Semua orang pada jaman ini kerap menyerukan semboyan yang mengindikasikan bahwa mereka ingin mengikuti jaman. “ Hari gini gak punya HP”?, adalah sebuah contoh ungkapan jaman ini yang mengisyaratkan bahwa kita harus selalu mengikuti perkembangan teknologi supaya tidak dianggap ketinggalan jaman. Kita diajak untuk harus selalu up todate, berlari dan berlari jangan sampai ketinggalan. Alat ukur agar tidak dikatakan ketinggalan jaman tak lain dan tak bukan adalah barang-barang komoditas yang sedang marak saat ini. Akibatnya, semua orang harus memiliki handphone Blackberry agar tidak dikatakan kuno, harus berpakaian trendi, gaul, perlatan musik di rumah harus selalu mengikuti mode, dan sebagainya.
Semua ini berlangsung dengan cepat dan tanpa disadari kita telah menjadi obyek dari produk-produk seperti itu. Dengan kata lainnya, kita hanya memiliki kesadaran yang sedikit, bahkan tidak ada kesadaran akan diri kita sendiri. Bila boleh bertanya, apakah di tengah tipisnya kesadaran itu masih terselip kenyataan? Masihkah orang hidup dalam kenyataan atau dalam bayangan, mimpi dan angan-angan saja.
Dalam hidup membiara hal itu perlu direfleksikan dengan serius. Terlebih komunitas-komunitas studi yang mengirim para “intelektualnya” ke medan terdepan dari Gereja. Kemajuan teknik informasi saat ini, di satu pihak memberikan pelayanan yang luas untuk penyebaran pengetahuan dan berbagai informasi lain. Tak elak, saat ini penyebaran iman pun dapat dilakukan melalui teknologi ini. Namun di lain pihak bisa juga digunakan sebagai propaganda. Dalam jaman yang berubah terus ini, kehidupan tidak dapat berakar dalam. Standar moral dan nilai dasar yang lain seperti tak berlaku lagi, karena keadaan selalu berubah-ubah.
Berhadapan dengan ketidak pastian ini, hidup komunitas membiara yang terbiasa dengan nilai-nilai kesederhanaan, dasar-dasar kehidupan yang dalam, serta cita-cita keabadian, mendapat tantangan yang berat. Bisakah dalam biara-biara atau komunitas rumah studi mengakses begitu saja kemajuan-kemajuan teknologi tanpa memikirkannya. Tidakkah muncul kekawatiran dengan pengguanaan sarana-sarana tersebut, sikap-sikap religius pun akan di gerus jaman menuju pada mentalitas konsumeris dan hanya bersifat superfisial. Akan tetapi melawan arus jaman tanpa dibarengi kematangan diri pribadi, bukanlah sebuah cara yang yang ideal bagi kaum berjubah. Hal ini malahan memberi kesan naif dan bodoh. Perlu sebuah refleksi kritis, agar hidup dalam biara tidak hanya terapung-apung terbawa arus jaman.

6. Kesimpulan
Teknologi takkan pernah lelah untuk terus berlari. Dapat digambarkan dengan seekor “tikus” yang dikejar seekor kucing. Kucing tersebut mengejar seekor “tikus” berwarna hitam berekor panjang. Sesekali “tikus” itu memancarkan warna-warni yang indah. Hal itu membuat si kucing terbengong-bengong dan ahkirnya tidak jadi memangsa “tikus” tersebut. Ketika “tikus” itu tertangkap, yang ditemui si kucing hanyalah seonggok komponen-komponen listrik. Itulah sekilas gambaran tentang teknologi yang tak pernah lelah berlari. Ada saja cara untuk membuat dirinya semakin canggih dan tak terkejar. Hari ini muncul produk baru teknologi, besok sudah muncul kembali produk baru yang lebih canggih dan efektif. Kita tak akan pernah bisa mengejar larinya.
Tanpa terasa semakin hari, waktu semakin berjalan semakin cepat. Terutama ketika kita disibukkan dengan berbagai macam aktivitas. Hal ini terjadi juga dalam bidang teknologi. Apalagi kini ada banyak teknologi baru bermunculan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Hal ini sangat berpoengaruh pada kehidupan manusia. Di satu sisi manusia menjadi terbantu dan maju, tetapi di pihak yang lebih berbahaya manusia hanya sebagai obyek dari pekerjaannya.
Ilmu dan teknologi merupakan karya kreatif manusia yang tak ternilai harganya bagi kehidupan manusia, yang secara historis telah mampu menghadirkan “ketercengangan” sejarah. Pelbagai prestasi dan keberhasilannya untuk mengatasi persoalan manusia secara massal telah banyak menguntungkan manusia, namun akhirnya melahirkan dilema baru. Seperti hilangnya realitas-realitas masa lalu beserta kearifan-kearifan masa lampau yang ada di baliknya, yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas.
Bersamaan dengan kemajuan IPTEK maka ekonomi dan kemakmuran pun meningkat, namun melahirkan tanda-tanda lenyapnya kedalaman di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat lebih menyenangi “gaya” ketimbang makna, lebih menghargai penampilan ketimbang kedalaman, lebih mengenal kulit ketimbang isi. Sehingga tidaklah berlebihan bila saat ini manusia dikatakan berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu krisis yang sangan kompleks dan mutidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan menyangkut, kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan alam, lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Namun ditengah- tengah krisis ini, perlulah kita menjadikan bumi ini menjadi bumi yang manusiawi, sehingga nilai-nilai kemanusiaan itu dapat kita rebut kembali.












Daftar Pustaka


Sumber Utama:
• Habermas, Jurgen, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3S, 1990.

Buku-buku Pendukung:
• Amir Piliang, Yasraf, Dunia yang Dilipat, Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
• Kellner, Douglas, Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism, California: University of California Press, 1984.
• Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx,Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
• Sad Budianto, Antonius, Diktat Pengantar Sosiologi 1, Malang: STFT Widya Sasana, 1997
• Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: kajian sejarah perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

2 komentar:

ferrybermas mengatakan...

bling....thanks!!! dapat inspirasi tuk buat skripsi....aku akan melanjutkan pemikiranmu.

ferrybermas mengatakan...

lupa satu hal...slamat bermisi di Papua....!!! tetangga sebelah, ferry...