the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

Jurgen Habermas

Rehumanisasi Teknologi
(Sebuah tinjauan filosofis terhadap tulisan Jurgen Habermas: Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi)



1. Latar Belakang
Dewasa ini, teknologi telah menjadi kebutuhan pokok dari hidup manusia. Teknologi saat ini sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia sebagai penunjang kehidupan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya teknologi, kehidupan manusia menjadi semakin mudah dan cepat. Teknologi membuat jarak antara manusia satu dengan manusia yang lain semakin tak mengenal ruang dan waktu. Hal ini terlihat jelas dalam perkembangan teknologi informasi jaman ini. Jaringan-jaringan komunikasi modern seperti handphone, internet, telah menjamah segala lapisan manusia di dunia ini. Tidak hanya itu, hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pijakan hidup sehari-hari telah mengalami perubahan. Manusia mengolah hasil bumi dengan bantuan teknologi guna menunjang kelangsungan hidupnya. Dengan kata lain, teknologi telah mengubah bentuk relasi manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Hal semacam ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada jaman yang serba modern ini saja. Bila kita menilik kembali ke belakang, perkembangan teknologi ini telah terjadi sejak manusia pra sejarah. Dalam penemuan-penemuan arkeologi, banyak ditemukan alat-alat manusia purba seperti kapak perimbas, kapak lonjong, periuk perak, yang digunakan sebagai alat keperluan sehari-hari. Menginjak ke peradaban dan abad berikutnya, manusia dijejali oleh kebutuhan yang semakin kompleks. Dengan rasio yang dimilikinya manusia membuat sains mewujud secara teknologis. Dari sini terciptalah alat-alat yang lebih canggih untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mesin uap, lampu pijar, telegram, dan pesawat terbang. Tak hanya berhenti di situ saja. Setelah merasakan keuntungan dari alat-alat tersebut, manusia semakin “ketagihan” untuk membuat hidupnya menjadi lebih mudah dan cepat. Tak dapat dielakkan lagi bahwa perkembangan teknologi pun semakin cepat dan pesat hingga saat ini.
Bila melihat segi positif perkembangan teknologi ini, kita dapat mengatakan bahwa itu semua membuat manusia lebih mudah dan cepat dalam melangsungkan eksistensinya di dunia ini. Tapi di lain pihak, teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya.Teknologi yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan dalam diri manusia. Ketika membedah organ-organ yang ada di dalam proses teknologis tersebut, kita akan menemukan berbagai ambiguitas sistem yang membonceng atas nama teknologi. Hal yang paling menonjol adalah kedok ideologi teknokratik. Kekuasaan atas ada-nya manusia didasarkan atas teknologi, manusia menjadi budak teknologi. Tanpa disadari, melalui teknologi manusia direduksi menjadi obyek bukan subyek, ia teralienasi dari diri dan hasil karyanya sendiri. Mentalitas konsumtif pun merajalela dan telah meninabobokkan manusia dalam kenyamanan, yang sebenarnya hanya semu. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia. Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.
Fenomena teknologi yang terjadi tersebut meminta perhatian lebih dari beberapa bidang ilmu. Perhatian ini muncul karena adanya kesadaran baru dalam melihat komplektisitas hubungan teknologi dengan kehidupan manusia. Salah satu bidang ilmu yang mempelajari fenomena ini adalah sosiologi. Para sosoilog klasik antara abad 19-20 mempelajari transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Namun analisis terhadap transisi tersebut sepertinya mengesampingkan perubahan yang cepat dan dramatis dalam “peradaban materiil” (M.Sastrapratedja: Filsafat Teknologi, dalam “Kata Pengantar”). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa para sosiolog pada waktu itu lebih cenderung memfokuskan analisisnya terhadap faktor-faktor perubahan hubungan sosial, perkembangan rasionalitas, lenyapnya batas-batas sosial, serta perubahan bidang ekomomi. Para sosiolog ini kurang memperhatikan perubahan-perubahan cara hidup masyarakat yang terjadi akibat perkembangan teknologi ini. Salah satu tokoh peletak dasar perubahan sosial ini adalah Max Weber. Ia menggagas soal pergeseran masyarakat tradisional menuju masyarakat modern dengan mengkaitkannya terhadap diskursus rasionalitas. Rasionalitas, menurutnya turut berperan dalam ranah modernitas.
Di lain pihak, ilmu lain yang menelaah fenomena ini adalah filsafat. Pandangan filosofis menilai hal ini dengan mendekatkan diri pada interaksi materiil manusia dengan teknologi, dan manusia dengan dunianya melalui perantaraan teknologi dalam hidupnya sehari-hari. Pembahasan filsafat di sini lebih mengarah pada hakikat dan makna teknologi serta dalam hubungannya dengan hakikat manusia. Salah seorang filsuf, Mumford, menyatakan bahwa kecenderungan manusia; terlebih di Barat; untuk melihat kemajuan teknologi dan ilmu sebagai tujuan sendiri berasal dari asumsi bahwa manusia pada hakikatnya adalah homo faber. Tetapi tidak cukup berhenti di situ saja, melalui alat tersebut manusia memodifikasinya dalam simbol-simbol linguistik, organisasi sosial dan desain.
Pada jaman industrial abad kedua puluh, kehidupan manusia menjadi lebih terganggu dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Pada abad-abad sebelumnya, mesin mempunyai akibat yang tidak dikehendaki atau direncanakan. Mesin digunakan hanya untuk mempermudah kerja manusia. Dengan kata lain mesin terintegrasi dengan berbagai sistem institusional, seperti sistem finansial dan admisnistratif. Hal ini mengakibatkan munculnya sebuah kompleks teknologis. Keadaan seperti ini menimbulkan mentalitas baru pada masa berikutnya, yaitu mentalitas konsumtif, manusia teralienasi dari alat. Keadaan ini membuat para filsuf Jerman, yang tergabung dalam sekolah Frankfurt, tergelitik untuk melontarkan kritikannya terhadap kecenderungan ini. Para filsuf tersebut diantaranya adalah Herbert Marcuse dan Jurgen Habermas. Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman ini telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia.
Marcuse melihat dalam teknologi terdapat sebuah keunggulan pemikiran analitis dan teknis. Hal ini membuat manusia tereduksi menjadi manusia satu dimensi, yaitu dimensi kapitalisme. Hal ini dilatarbelakangi oleh paham Marxisme yang sedang berkembang, dan juga bertitik tolak dari konsep rasionalitas Weber, yang mengarah pada kapitalisme. Sedangkan Jurgen Habermas menafsirkan teknologi ini lebih positif. Ia menegaskan bahwa dalam sistem teknologi harus terdapat rasionalitas komunikatif, sehingga pada ahkirnya dapat memunculkan nilai-nilai humanis dan menjadikannya lebih manusiawi.
Tulisan ini hendak memaparkan sebuah tinjaun atas karangan Jurgen Habermas yang berjudul “Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi”. Dalam karangannya tersebut, Habermas mengawali pemikirannya dengan bertolak dari kritik Marcuse terhadap Weber tentang rasionalitas. Secara khusus tulisan ini terkonsentrasi pada sisi teknologisnya. Tulisan ini tidak hendak menggagas ulang karya Habermas tersebut, melainkan akan menampilkan intisari pemikiran, refleksi kritis serta relevansi praktisnya bagi hidup kita sehari-hari.

2. Intisari Pemikiran
a) Gagasan Rasionalitas
Tema utama dari tulisan Habermas, yang juga menjadi judul dari bukunya ini, adalah kritik terhadap Marx. Dengan semangat kapitalismenya, Marx kurang menunjukkan sisi komunikasi dalam prosesnya. Hal ini mengakibatkan tertutupnya sisi humanis dari kedok ideologi kapitalis. Memang, kerangka serta konteks pemikiran Habermas ini dilatarbelakangi oleh bentuk kegiatan ekonomi kapitalis yang sedang mewabah pada waktu itu. Tak dapat disangkal bahwa pemikiran Marx sangat berpengaruh dalam segala bentuk kegiatan, khususnya kegiatan ekonomi jaman itu.
Di awal tulisannya, Habermas menggagas kembali konsep rasionalitas Max Weber serta kritik Herbert Marcuse atasnya. Weber, pemikir sosial Jerman ini, merupakan salah seorang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Karl Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Dalam hal ini Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Berawal dari inilah Weber memulai gagasan rasionalitasnya.
Rasionalisasi di sini pertama-tama berarti perluasan bidang-bidang sosial yang ditempatkan di bawah norma-norma pengambilan keputusan yang rasional. Secara sederhana arti rasionalisasi ini adalah membuat sesuatu dengan akal budi atau menjadi masuk akal. Marcuse melihat gagasan rasionalitas Weber ini terarah pada bentuk kegiatan ekonomi kapitalis. Gagasannya adalah bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan. Karena menurutnya agama berperan dalam proses penyuburan kapitalisme.
Salah satu contoh bahwa agama berperan untuk mengembangkan kapitalisme dapat dilihat dalam dunia kerja, khusunya industri. Di dalam pabrik-pabrik disediakan tempat berdoa seperti mushola atau pun kapel. Pada jam-jam tertentu para pekerja diberi waktu untuk berdoa. Di satu sisi hal ini baik, karena pekerja diberi hak untuk menjalankan kewajiban agamanya serta untuk beristirahat sejenak. Namun di sisi lain, tanpa disadari hal ini tersusupi roh kapitalisme yang mengambil rupa dalam bentuk rohani spiritual. Bagaimana tidak, saat tuntutan kerja berat, di tengah-tengah kesibukan itu para pekerja mendapat kesegaran rohani dan menjadi lebih tenang. Dari sini diharapkan pekerja semakin semangat, efektif, dan barang-barang yang diproduksi semakin banyak. Di sinilah rasionalitas bekerja dan menutupi kesadaran manusia.
Hal semacam ini dilatarbelakangi oleh kaum Calvinis, yang mengejar kesuksesan guna mencapai surga (predestinasi). Orang yang hidupnya di dunia baik, sejahtera, bahagia dipastikan akan masuk ke dalam kebahagiaan kekal di surga. Sedangkan mereka yang hidupnya di dunia penuh dengan sengsara, miskin, tak akan mendapat kebahagiaan kekal. Pandangan seperti ini membuat manusia yang hidup di dunia ini terus menerus berusaha mencapai kebahagiaan kekal tersebut bagi seluruh kehidupannya. Apa yang nampak di dunia akan menjadi acuan bagi kehidupan ahkir nanti. Usaha manusia untuk meraih kesuksesan di dunia ini ahkirnya jatuh pada rasionalisasi belaka. Orang sibuk dengan diri sendiri atau kelompok dalam mengusahakan kesuksesan tersebut, sehinga yang kaya makin kaya dan yang miskin semakin miskin. Rasionalisasi ini mendapat peneguhannya dalam hal spiritual, ia masuk lewat segi rohani agar mudah diterima oleh manusia. Dengan kata lain berarti terdapat suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional dalam memperoleh kekayaan. Segala sesuatu dihubungkan dengan dimensi rohani, guna meningkatkan kinerja dan hasil. Rasionalisasi mendapat tempat utama dalam bentuknya yang tak nampak Lama-kelamaan, pada suatu titik tertentu, rasionalitas ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, “roh kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah semangat rasionalisme. Semangat seperti ini telah terintegrasi dalam kodrat manusia sebagai mahkluk barakal budi.
Sebenarnya konsep rasionalitas Max Weber mengarah pada modernisasi. Semangat kapitalisme tidak mungkin tidak bergerak cepat dalam jaman modern. Gerak langkah rasionalisasi masyarakat berkaitan dengan perkembangan kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi, dan hal ini terjadi dalam masyarakat modern. Bertitik tolak dari gagasan Weber tersebut, Herbert Marcuse mencoba mengasah pisau analisanya untuk membedah bahwa pengertian formal dari rasionalitas dari Max Weber ini mempunyai implikasi-implikasi tertentu. Marcuse yakin bahwa apa yang disebut rasionalisasi oleh Weber, tidak terkandung prinsip rasionalitas itu sendiri. Marcuse lebih melihat bahwa dalam proses rasionalisasi tersebut berlaku sebuah bentuk tertentu kekuasaan politik yang terselubung dengan kedok rasionalitas.
Rasionalitas yang ditumpangi oleh kekuasaan politik ini, menurut Marcuse, hanya menyangkut hubungan-hubungan penguasaan teknis yang memungkinkan bagi manusia. Penguasaan teknis ini menuntut sebuah tundakan yang mengandung implikasi kekuasaan, baik penguasaan atas alam atau atas masyarakat. Alur pikir rasionalitas yang dianalisa oleh Marcuse tersebut dapat dimengerti sebagai bentuk legitimasi kekuasaan yang baru. Alat-alat digunakan dengan kontrol rasional, guna menjaga sistem sosial masyarakat, yang tanpa disadari telah mengandung isi politik di dalamnya. Hal semacam inilah yang membuat Marcuse memunculkan sebuah hipotesa bahwa pengertian rasio teknis itu adalah ideologi dan teknik itu sendiri adalah kekuasaan.
Douglas Kellner, dalam bukunya yang berjudul “Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism”, memberikan gambaran tentang rasionalitas kaum kapitalis. Dia menulis:
The capitalist rationality, Marcuse points out, is conditioned and controlled by two material conditions, two unique historical facts: (1) the provision of human needs and calculable efficiency takes place within the private enterprise system and geared towards the profit of the individual enterpreneur or enterprise; (2) the means of production are private property, and the labourers must sell their wage labour to the owner of the means of production to provide for their own needs.

Dijelaskan di atas bahwa dalam masyarakat kapitalis, rasionalitas yang dipakai dipengaruhi dan dikontrol oleh dua kondisi materiil, dan dua fakta sejarah yang unik. Pertama adalah penyediaan kebutuhan manusia dan efisiensi di perusahaan swasta yang diarahkan pada sistem yang keuntungan dari individu usahawan. Kedua alat produksi adalah milik swasta, dan buruh harus menjual tenaga kerja untuk upah bagi pemilik alat produksi guna menyediakan kebutuhan mereka sendiri. Kedua hal ini berarti mengindikasikan bahwa rasionalisasi telah melegitimasikan diri dalam sebuah tataran sistem politis.
Di bagian lain dalam tulisan Habermas ini, menampilkan bahwa Marcuse melihat ada sebuah fenomena yang tak umum. Konteks negara kapitalis saat itu menampilkan sebuah pengerukan modal besar-besaran dalam meraih keuntungan. Biasanya di dalam masyarakat kapitalis dengan industri yang sudah maju seperti ini, kecenderungannya memiliki model atau sistem kekuasaan yang menindas dan memeras. Namun kenyataannya dalam kontek waktu itu, Marcuse melihat hal yang aneh. Watak pemeras dan penindas bergeser menjadi rasional, tetapi tetap tidak menghilangkan muatan poitiknya. Rasionalitas kekuasaan menyesuaiakan diri kepada upaya mempertahankan suatu sistem, yang mampu menjadikan peningkatan kekuatan-kekuatan produksi yang berkaitan dengan kemajuan teknis ilmiah sebagai landasan legitimasinya, walaupun di lain pihak, tingkat kekuatan-kekuatan produksi juga justru menunjukkan potensial, yang apabila dijadikan ukuran membuat pengurbanan dan beban yang dikenakan pada individu-individu nampak semakin tidak perlu, semakin tidak rasional.
Satu hal yang patut dicatat pula bahwa ideologi diartikan sebagai kesadaran teknokratik Dapat dikatakan di sini bahwa jika ilmu dan teknologi telah menjadi sikap hidupnya, maka kerangka berfikirnya menjadi didominasi ilmu dan teknologi. Dengan demikian manusia itu telah diarahkan dan diatur oleh ilmu dan teknologi yang mereka ciptakan sendiri. Dengan kata lain, melalui kritiknya terhadap Max Weber, gagasan rasionalitas menurut Marcuse lebih mengarah kepada sebuah instrumentalisasi manusia atau masyarakat.

b) Peleburan Teknik dan kekuasaan
Dalam sistem politik, Marcuse menyatakan bahwa prinsip umum dari ilmu adalah apriori yang distrukturkan sehingga membentuk kerangka operasionalisme instrumen. Dikatakan bahwa apriori teknologi adalah apriori politik. Prinsip-prinsip teknologi digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Menurut Habermas sistem politik seperti ini terjadi di negara kapitalis. Ini terlihat dalam teknologi baru dan strategi untuk mencapainya. Dari sini muncul inovasi-inovasi yang dilembagakan, seperti badan-badan dunia yang berdalih memberikan bantuan, namun dibalik itu terjadi penetrasi politik yang tidak disadari. Selanjutnya inovasi-inovasi ini menjadi kekuatan produksi, karena “bantuan“ yang diberikan mengharuskan untuk mengambil komoditi dari negara asal pemberi bantuan. Kekuatan ini memberikan legitimasi sistem politik. Sistem kapitalis memberikan legitimasi dominasi ilmu dan teknologi demi tujuan dan kepentingan kelas-kelas tertentu.
Habermas mengemukakan analisis Marcuse, tentang fenomena “pelebuaran yang aneh antara teknik dan ideologi“, bahwa ilmu pengetahuan yang berdasar metode-metode dan pengertiannya sendiri telah merencanakan dan mendorong terciptanya suatu dunia, di mana penguasaan atas alam tetap terikat kepada penguasaan atas manusia. Dikatakan lebih lanjut bahwa terjadi penyatuan antara hierarki rasional dan sosial. Selain itu menurut Marcuse ada dua bentuk kekuasaan, yaitu kekuasaan yang menindas dan kekuasaan yang membebaskan. Di sinilah nanti disodorkan sebuah proyek alternatif, yang pada ahkirnya harus dikembalikan pada sebuah proyek manusia secara keseluruhan. Salah satu implikasinya adalah bahwa manusia tidak lagi mengenali alam sebagai akunya yang lain, melainkan dirinya adalah Aku yang lain dari subyek. Nilai manusiawi lebih dijunjung tinggi.
Pada bagian ini, juga terjadi sebuah pemaduan masyarakat, yaitu masyarakat tanpa oposisi. Padahal, bila dilihat dalam sistem pemerintahan, tidak adannya oposisi dalam sebuah politik akan menyebabkan pemerintah berjalan tanpa kontrol. Hal lain yang terungkap di sini adalah bahwa teknik itu sendiri merupakan sebuah proyek. Ini mengindikasikan sebuah transformasi mentalitas teknologis dalam masyarakat-masyarakat kapitalis. Dari sini dapat dilihat sasaran dari teknik itu sendiri, yaitu penindasan dan eksploitasi manusia melalui alam dengan carannya yang lembut, damai dan menyenangkan.
Marcuse, sebagaimana dijelaskan dalam tulisan Habermas, merasa ragu apakah ada maknanya untuk merelatifkan rasionalitas ilmu dan teknik menjadi suatu rencana (alternatif). Dijelaskan, bahwa dalam bukunya (Manusia Satu Dimensi), sebagai suatu dunia, sarana-sarana teknik dapat memperbesar kelemahan maupun kekuatan manusia. Pada tahapnya yang sekarang, ia mungkin lebih tak berdaya dari sebelumnya terhadap alatnya sendiri.

c) Distingsi Kerja dan Interaksi
Menurut Karl Marx, kerja merupakan tindakan manusia yang paling dasar, dalam pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi nyata. Pekerjaan jugalah yang membuat manusia berbeda dari mahkluk lain. Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara langsung dari alam. Oleh karena itu manusia perlu sebuah usaha untuk mengolah alam. Usaha inilah yang dinamakan dengan kerja. Lebih lanjut Marx menekankan bahwa kerja yang dilakukanoleh manusia bersifat bebas dan universal. Bebas karena, meskipun tidak merasakan kebutuhan langsung manusia tetap dapat bekerja. Universal berarti di satu pihak manusia dapat memakai berbagai cara untuk tujuan yang sama, dan di pihak lain manusia dapat mengolah sesuatu dari alam tidak hanya demi satu kebutuhan.
Pengertian kerja semacam ini merupakan salah satu bentuk pergerakan menuju masyarakan modern. Roh dari modernitas adalah rasionalitas. Segala bentuk rasionalitas telah membawa masyarakat pada budaya baru dimana di dalamnya terdapat sebuah kemajuan teknik-ilmiah terhadap kerangka institusional masyarakat. Dalam masyarakat modern terdapat sebuah relasi yang ,secara signifikan, mempengaruhi proses dinamikanya. Relasi itu adalah anaara kerja dan interaksi. Adanya modernisasi tak dapat dipisahkan dari adanya kerja dan interaksi yang saling berkolaborasi.
Habermas secara khusus memberikan rumusan baru kepada gagasan rasionalisasi yang diungkapkan oleh Max Weber ini. Jika kita melihat titik tolak dari Max Weber adalah subyektifitas, sedangkan dalam rumusan baru ini Habermas seperti mau melangkahi titik tolak tersebut. Langkah yang ditempuh Habermas kali ini adalah pertama-tama bertitik tolak dari distingsi yang jelas dan mendasar antara kerja dan interaksi.
Kerja, menurut Habermas ini, dapat dilihat dari dua sisi, kerja instrumentalis dan kerja rasional. Perlu diberi tekanan di sini bahwa, Habermas kerap kali menggunakan istilah kerja sebagai tindakan bertujuan rasional. Tindakan instrumental di sini menyesuaikan diri kepada aturan-aturan teknis yang didasarkan pada pengetahuan empiris (a posteori). Di lain pihak, perilaku pilihan rasional menyesuaikan diri kepada sistem-sistem nilai yang didasarkan pada pengetahuan analitis.
Selain kerja, Habermas membuat batasan definisi dari interaksi dalam tataran perantaraan simbol. Tindakan ini dinamakan tindakan komunikatif. Dengan kata lain bahwa interaksi di sini mengacu pada sebuah tindakan komunikasi Tindakan semacam ini menyesuaikan diri kepada norma-norma yang berlaku wajib, dan ini diakui oleh dua pihak subyek yang bertindak. Norma-norma sosial ini diperteguh dengan adanya sanksi-sanksi. Validitas dari unsur ini harus terjadi dalam relasi intersubyektivitas dan mengeluarkan kata sepakat mengenai maksud-maksud yang diharapkan. Bila kedua hal ini tidak terlaksana atau terjadi pelanggaran, maka akan mengakibatkan sebuah penyimpangan dalam relasi intersubyektivitas itu dan ahkirnya memfungsikan sanksi-sanksi yang telah tercetus melalui konvensi sebelumnya. Jadi dengan demikan komunikasi itu terjadi dalam relasi intersubyektifitas yang bebas (tu-tu).
Dari kedua jenis tindakan tersebut, Habermas melihat bahwa dapat dibedakan mana yang lebih predominan, tindakan bertujuan rasional (kerja) atau interaksi. Kerangka intitusional suatu masyarakat terdiri dari norma-norma yang membimbing interaksi-interaksi yang menggunakan bahasa. Distingsi yang jelas antara keduanya (kerja dan interaksi) dijelaskannya sebagai berikut:
Sejauh tindakan-tindakan itu ditentukan oleh kerangka intitusional, tindakan- tindakan itu juga diarahkan dan dipaksakan oleh harapan-harapan perilaku yang dikukuhkan dan berlaku secara timbal balik. Sejauh tindakan-tindakan itu ditentukan oleh subsistem-subsistem tindakan bertujuan rasional, maka tindakan-tindakan itu mengikuti pola-pola tindakan instrumental atau strategis.

Habermas di sini mengajukan epistemologi rasionalitas sebagai pembedaan kepentingan teknis (medium kerja), praktis (komunikasi), dan emansipatoris (kekuasaan). Kepentingan teknis mengarahkan ilmu-ilmu empiris-analitis sebagai kekuatan produksi, kepentingan praktis mengarahkan ilmu-ilmu historis-hermeneutis sebagai kekuatan komunikasi, dan kepentingan emansipatoris mengarahkan ilmu-ilmu kritis sebagai kekuatan refleksi. Kepentingan kognitif tersebut meniscayakan perimbangan praksis sebagai rasio-komunikatif.

d) Dari Masyarakat Tradisional menuju Masyarakat Modern
Berbicara mengenai perkembangan teknologi dan segala dinamikanya, maka kita juga akan mengarah pada sebuah pergeseran mentalitas. Hal itu dapat dilihat dari sebuah masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Di antara keduanya ini terjadi perkembangan dari yang pertama disebutkan menuju yang terahkir.
Sebelum masuk lebih jauh tentang hal ini, pada bagian ini akan sedikit dipaparkan bagaimana Weber menuturkan pandangannya tentang modernitas. Hal ini juga terkait megenai bagaimana perubahannya dari masyarakat tradisional. Weber memiliki pandangan yang agak berbeda bila dibandingkan dengan sosiolog lainnya seperti Comte dan Durkheim. Dalam hal ini Weber lebih menekankan soal apa yang menjadi “roh” dari modernitas. Seperti pemikir lain, Weber melihat bahwa rasionalisme sebagai bunda yang melahirkan modernisasi. Lebih lanjut, sebagai seorang tokoh sosial, ia melihat bahwa rasionalisme ini tidak hanya mempengaruhi manusia saat berhubungan dengan alam, tetapi juga atas sesamanya manusia. Inilah yang nantinya disebut sebagai rasionalisasi masyarakat.
Rasionalisasi masyarakat ini terlihat dari pergeseran orientasi masyarakat kepada kepemimpinan. Weber melihat pergeseran ini dalam otoritas karismatis dan tradisional ke arah otoritas rasional legal. Otoritas tradisional merupakan orientasi masyarakat yang menganggap benar sikap dan cara bertingkah laku yang telah diikuti oleh kebiasaan keluarga, komunitas dan masyarakat mereka. Dalam bentuk otoritas seperti ini, kebanyakan pemimpin mereka adalah yang paling tua dan lebih banyak menguasai tradisi mereka. Selanjutnya otoritas karismatis adalah orientasi masyarakat yang menganggap benar segala sesuatu yang dikatakan seorang tokoh karismatis. Tokoh ini dipandang memiliki kekuatan atau pengetahuan yang luas, memiliki kekuatan supranatural. Hal ini membuat apa yang dikatakannya diakui benar dan ditaati.
Penelitian Weber ini dapat disimpulkan bahwa pada masa lampau, banyak daerah atau tempat yang masyarakatnya berorientasi pada otoritas tradisional. Dalam hal i ni ketika masyarakat ini mengalami sebuah masalah, maka akan diperlukan dan muncul seorang tokoh karismatis, yang kemudian mengubah dan meperbaharui tradisi. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa masyarakat semakin menggunakan rasionya untuk bertindak. Mereka mempertanyakan segalanya dan menginginkan jawaban yang serba rasional. Berawal dari sini, orientasi masyarakat berubah menjadi otoritas rasional legal. Orientasi pada otoritas ini mengindikasikan bahwa orientasinya masyarakat mengarah pada cara berpikir rasional tujuan atau sarana-tujuan. Hal ini berarti bahwa masyarakat mau bertindak dengan cara yang paling dapat diperhitungkan dan rasional untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Orientasi ini (otoritas rasional-legal), pada akhkirnya melahirkan masyarakat modern. Salah satu ciri pokok masyarakat ini adalah adanya birokrasi, suatu struktur kehidupan yang diatur oleh beberapa hal. Aturan-aturan tersebut antara lain ada pembagian kerja yang berdasarkan keahlian, ada hierarki otoritas yang mengatur jalannya informasi dari bawah ke atas. Selain itu ada sebuah pemisahan antara urusan organisasi dengan urusan pribadi, dan ada aturan tertulis. Hal-hal itulah yang membedakan masyarakat modern terhadap masyarakat tradisional.
Setelah melihat pandangan Weber mengenai perubahan masyarakat di atas, kita akan melihat bagaimana Habermas menelaah hal ini. Dalam melihat sebuah masyarakat tradisional Habermas menyebutnya sebagai sebuah masyarakat yang pada umumnya telah memenuhi kriteria kebudayaan tinggi (peradaban). Mereka ini telah mencerminkan satu fase tertentu dalam sejarah perkembangan bangsa manusia. Ia membedakan dengan masyarakat primitif, dengan alasan bahwa pertama, dalam masyarakat tradisional telah memiliki suatu kekuasaan pemerintahan yang dipusatkan (bukan lagi atas dasar suku). Kedua, karena masyarakatnya telah terbagi dalam kelas-kelas sosio-ekonomi. Dan ketiga, karena telah memiliki pandangan dunia yang sentral (mitos, agama yang sudah maju), dan hal ini berfungsi untuk memberikan legitimasi yang efektif pada kekuasaan.
Ungkapan masyarakat tradisional mengacu pada keadaan dimana kerangka institusional bertumpu pada dasar legitimasi yang tak dipersoalkan lagi dari interpretasi mitis, keagamaan atau metafisis mengenai keseluruhan realitas. Pergeseran atau gerbang antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern, tidak bercirikan pertama-tama oleh adanya tekanan-tekanan kekuatan produksi. Yang baru adalah sebuah perkembangan dari kekuatan-kekuatan produksi, yang membuat perluasan subsistem-subsistem tindakan bertujuan rasional (kerja) menjadi permanen. Dengan demikian pandangan-pandangan dunia yang mitis, religius dan metafisisi itu tunduk pada logika konteks-konteks interaksi. Logikanya dapat menyesuaikan diri kepada tata bahasa suatu komunikasi yang rusak dan kepada kausalitas yang tak terhindarkan dari simbol-simbol yang terpecah dan motif-motif yang ditekan. Sehingga, lebih lanjut dikatakan oleh Habermas, bahwa rasionalitas permainan bahasa yang dikaitkan dengan tindakan komunikasi sekarang, dalam pintu gerbang modernitas, dihadapkan pada suatu rasionalitas hubungan tujuan-sarana yang dikaitkan pada tindakan instrumental strategis.
Dari pemahaman di atas, dapat dipahami bahwa dalam masyarakat tradisional juga disebut sebagai budaya tinggi (hochkultur), yang telah memiliki ideologis mitis dan dogmatis. Masyarakatnya dilandaskan pada hubungan-hubungan politis. Berbeda dengan masyarakat tradisional, masyarakat modern lebih mengarah pada rasionalitas dan ini dipandang sebagai penghancur legitimasi. Hubungan antar masyarakatnya adalah tergantung dengan hubungan produksi.
Berbicara mengenai hubungan antara masyarakat yang terjadi di dalam dua bentuk tadi, kita juga tidak lepas dari apa yang namanya “bangunan atas” dan “bangunan bawah”. Bangunan atas ini adalah cetusan dari konsep pemikiran Karl Marx. Dijelaskan bahwa bangunan atas didasarkan pada unsur-unsur budaya, agama, tradisi, dan ideologi. Yang terahkir inilah yang sangat berpengaruh dalam prosesnya dan dapat merasuki rasionalitas manusia. Sebaliknya, dalam “bangunan bawah”, hubungan antar anggota masyarakatnya didasarkan atas nilai ekonomi.
Kehidupan masyarakat modern menimbulkan permenungan yang dalam tentang arti manusia itu sendiri. Hal ini menuai kritikan dari para penganut Teori Kritis. Selain bahwa pencerahan abad modern mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi. Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya. Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis.

4. Refleksi Kritis
a) Necesitas Komunikasi
Salah satu maksud praktis dari pemikiran filosofis adalah membantu proses refleksi diri masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Pemikiran filososfis ini merupakan buah dari rasionalitas. Proses rasionalitas dapat dikatakan sebagai proses menuju otonomi dan kedewasaan pemikiran. Dalam hal ini, apa yang telah diungkapkan jauh di atas, menyangkut usaha sekolah Franfurt dalam menjelaskan keberadaan masyarakat di tengah-tengah jaman. Secara khusus hal ini dikembangkan oleh Jurgen Habermas dalam sebuah teori terkenal darinya, Teori Kritis. Teori Kritis berhutang besar pada pola pikir sosiologis. Max Weber atas sumbangan tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang sama juga, Teori Kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalitas. Teori Kritis melalui Habermas mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi.
Apa yang dilakukan Habermas dalam konsep tindakan komunikatif adalah mengembangkan pemahaman rasionalitas yang tidak lagi terpusat pada subjek, serta klaim-klaim kebenaran yang terpusat pada individual.
Habermas mecoba melakukan kritik terhadap rasio instrumental yang mereifikasi ‘dunia kehidupan’ masyarakat manusia. Dengan rasio instrumental manusia modern berlaku terhadap di luar dirinya dalam hubungan subyek-obyek. Tidak hanya kepada alam, melainkan juga kepada sesama manusia. Menurutnya, pengetahuan yang lahir dari rasio instrumental adalah pengetahuan yang sejauh mana dapat mendefinisikan obyek di luar dirinya. Dan praksis yang lahir, sejauh mana manusia sebagai subyek otonom mampu memanipulasi realitas di luar dirinya.
Habermas menawarkan perangkat lain yakni rasio komunikatif. Rasio komunikatif ini ia bedakan secara tegas dengan rasio instrumental. Dalam rasio komunikatif, relasi yang dibangun adalah relasi subyek-subyek. Proses mengetahui bukan dalam rangkan mendefiniskan obyek di luar dirinya, melainkan membangun pemahaman intersubyektif antarsubyek dalam ‘dunia kehidupan’.
Lebih jauh, dalam teorinya, Habermas mengemukakan tentang kompetensi komunikasi. Dalam sebuah komunikasi, individu harus memiliki kebenaran, kejujuran, kejelasan dan ketepatan. Setiap individu yang berkomunikasi sejatinya pasti meneguhkan hal tersebut. Satu komunikasi dianggap berhasil bukan karena mampu mewujudkan tujuan dari satu atau lebih pesertanya, melainkan jika setiap peserta mempunyai pemahaman intersubyektif yang sama tentang situasi atau masalah yang sedang terjadi. Habermas telah mengusahakan sebuah pergeseran, yang cukup baik, dari hasrat bertujuan rasio instrumental ke arah klaim moral tentang ‘dunia kehidupan’ bersama.
Namun dalam hal ini perlu dilihat bahwa Habermas masih menonjolkan sebuah konsep kounikatif yang menuntut persyaratan-persyaratan berat. Bila dilihat di dalam konsep komunikasi ini harus terjadi sebuah situasi perbincangan, relasi sosial, serta aktor-aktor ideal agar tercapai tindakan komunikasi ideal. Situasi , bahasa, dan aktor-aktor ideal ini mungkin mudah untuk diusulkan, tetapi dalam kenyataannya sangat sulit diwujudkan. Salah satu hal yang menyebabkan sulitnya memunculkan tindakan komunikatif ideal ini adalah sifat dasar manusia yang tidak memungkinkan terbentuknya situasi ideal ini, seperti ingin menguasai, egois, denda, dan cemburu. Dalam hal ini Habermas seperti kurang melihat bahwa dalam setiap diskursus, relasi kekuasaan tidak sepenuhnya dapat diabaikan. Dalam hidup sehari-hari orang tidak hanya ingin dipahami, tetapi juga dipatuhi, dihargai, dan diikuti. Oleh karena itu situasi komunikasi yang ideal masih menghadapi kesulitan dalam merealisasikannya.
Kemajuan teknologi yang sedang menjamur saat ini sebenarnya telah mebentuk sebuah sistem komunikasi. Ambil contoh, melalui komputer orang bisa menyapa sesamanya yang berada jauh dari dirinya dengan teknologi internet, melalui telepon orang bisa berbicara tanpa bertemu langsung, dan sebagainya. Namun bila dilihat hal ini menampakkan kesemuan belaka. Semua bentuk komunikasi itu hanya dikemas dalam sebuah media yang disimulasikan, dan terkadang bersifat hyper. Ruang-ruang komunikasi saat ini telah dirasuki oleh kepentingan-kepentingan yang begitu rumit. Hal ini menampilkan sebuah bentuk tekanan yang halus, tersembunyi dan ini tidak disadari oleh manusia.
Habermas berharap bahwa komunikasi intersubyektif akan terbangun. Komunikasi yang demikian pada gilirannya akan mengikis hasrat bertujuan dari rasio instrumental manusia modern. Untuk itu, Habermas juga mensyaratkan bahwa komunikasi harus jauh dari kepentingan-kepentingan tersembunyi yang bertujuan tertentu. Proses komunikasi intersubyektif semacam ini yang menurut Habermas dapat mengembalikan wajah dunia. Manusia berinteraksi bukan hanya karena tujuan-tujuan tertentu saja, melainkan juga dalam usaha membantu memahami yang lain. Egosentrisme dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan dalam proses interaksi masyarakat manusia. Jika egosentrisme ini masih berkambang, selubung kepentingan pribadi tersebut harus dapat segera telanjangi. Habermas memimpikan bentuk masyarakat ideal yang melakukan sesuatu atas dasar ketulusan, untuk menuju kehidupan bersama yang lebih baik.

b) Re-humanisasi
Salah satu penyebab yang ditakutkan, dan mungkin ini sudah terjadi, adalah bahwa dengan adanya teknologi, manusia semakin terasing dari dirinya sendiri. Betapa tidak, dengan bantuan alat-alat, semua yang menjadi kebutuhan manusia dapat teratasi, biarpun kita tidak terlibat langsung. Tetapi sayangnya kita lebih banyak tergantung oleh alat-alat tersebut. Hasilnya, jika tidak ada alat itu lagi, kita menjadi enggan, malas dan bahkan tak bisa apa-apa.
Banyak orang yang mengaku bahwa seluruh isi pikirannya lebih praktis bila disimpan dalam hard disc komputernya. Hal ini untuk mengantisipasi kelalaian ketika kita harus mengingat sekian banyak data di otak kita. Hal ini mengindikasikan bahwa kodrat kita sebagai makhluk berakal budi telah bergeser. Pikiran yang sebenarnya menjadi bagian dari kodrat kita telah berpindah tempat. Bahayanya, bil apa yang telah disimpan dalam komputer tersebut hilang, kta pun ikut hilang, eksistensi kita lenyap.
Hal semacam ini sangat sesuai atas apa yang telah dijabarkan oleh para tokoh di atas. Proses alienasi manusia terhadap dirinya berawal dari rasionalitas itu sendiri. Manusia merasionalkan gagasannya untuk menyimpan pikirannya dalam komputer agar tidak mudah lupa. Namun rasionalitas itu membuat kita terpisah dari kodrat kita. Demikian pula dalam hal pekerjaan. Bila pekerjaan menjadi sarana perealisasian diri manusia, seharusnya bekerja mesti menggembirakan dan memberi kepuasan. Namun kenyataannya, yang terjadi adalah kebalikannya. Banyak orang mengeluh, khususnya para buruh pabrik yang berada dalam sistem kapitalis, pekerjaan tidak memuaskan mereka dan malah mengasingkan mereka.
Menurut Karl Marx, keterasingan dari dirinya sendiri itu memiliki tiga segi. Pertama si pekerja merasa terasing dari dirinya produknya. Hasil produksi seseorang seharusnya membawa rasa bangga bagi orang yang menghasilkannya dan seharusnya mencerminkan dirinya yang cakap, karena produk adalah obyektivasi pekerjaan. Kedua , tindakan bekerja kehilangan arti bagi para pekerja. Kerja serasa menjadi paksaan. Ketiga adalah bahwa manusia memperalat dirinya sendiri. Ia tidak mengembangkan diri, malahan memiskinkan diri sendiri. Ia harus tunduk pada sistem yang ada dan tidak dapat bebas mengembangkan diri.
Keterasingan manusia dalam kemajuan teknologi ini sudah dimulai ketika manusia berorientasi pada teknologi itu sendiri. Keterasingan manusia dikaitkan dengan proses industrialisasi yang semakin menempatkan kerja manusia tidak dihargai. Kerja bukan dilihat sebagai ekspresi kemanusiaan tapi justru diubah menjadi komoditas kapitalistik belaka. Marcuse menyebutnya sebagai proses reifikasi. Dimana relasi antarindividu nampak sebagai relasi komoditas. Hubungan antarmanusia menjadi sebuah hubungan komoditas yang sifatnya pertukaran ekonomis-politis belaka.
Teknologi dan ilmu harus menjadi bagian dari proses pemanusiawian. Pelbagai pandangan tentang ilmu dan teknologi memang sepakat untuk menyatakan bahwa, keduanya merupakan piranti kehidupan manusia yang sangat proaktif. Namun untuk itu harus diciptakan keseimbangan-keseimbangan, terutama dengan hadirnya kesadaran manusia tentang kepribadian, moral ataupun etika yang melihat permasalahan sosial secara holistik. Tuntutan yang demikian memerlukan kontempalsi sosial, sehingga langkah-langkah untuk menentukan masa depan peradaban manusia bukan sebagai suatu jawaban terhadap kemungkinan perspektif dari perkembangan kebutuhan manusia, namun juga mempertimbangkan kelestarian
habitat kehidupan secara keseluruhan. Untuk itu kontemplasi keilmuan memerlukan pandanganpandnagan yang bersifat spiritual yang akan mampu menerobos kecongkakan manusia dan partikularisasi pikiran itu sendiri (Kompas, Kamis, 7 Mei 2009).
Kini saatnyalah, bahwa kita sebagai anak generasi modern berusaha mencari teknologi yang tepat guna, tidak bertujuan demi kepentingan diri sendiri. Hal ini mengingat bahwa teknologi diciptakan untuk membantu kelancaran kerja manusia dalam mengelola hidupnya. Bukan sebaliknya malah memperalat dan semakin tidak memanusiawikan manusia itu sendiri. Oleh karena itu di dalam perkembangan teknologi jaman sekarang re-humanisme perlu dimunculkan dalan prosesnya.

5. Relevansi Praktis
a) “Ada Frater di Facebook”
Kalimat di atas adalah salah satu komentar yang ada di halaman Facebook saya. Saat itu saya masih pertama kali bergabung dengan situs pertemanan tersebut. Ada beberapa comment di halaman berikutnya, yang intinya mengungkapkan keheranan bahwa seorang religius juga sudah terserang firus modernitas. Saya sendiri pada awal bergabung dalam situs pertemanan yang sedang tenar saat ini, hanya bermaksud untuk menjalin relasi dan relasi ini akan dapat digunakan untuk mempermudah pelayanan saya. Lewat internet saya dapat mewartakan iman, memberi informasi seputar Gereja dan sebagainya. Namun agaknya fenomena kaum biarawan yang masuk dunia maya ini, dimengerti dengan kurang bijaksana oleh banyak kalangan, bahkan oleh kaum berjubah sendiri.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat membuat segalanya menjadi mudah. Hal ini dirasakan oleh semua orang, baik kecil, tua dan muda. Tak kecuali dalam kalangan para biarawan-biarawati, terlebih mereka yang berada di komunitas-komunitas studi. Teknologi telah merasuki pula sebuah daerah yang dahulu terkenal dengan “penjara suci”, dimana barang-barang duniawi tak bisa menembusnya. Tapi kini jaman telah berubah. Teknologi pun telah berhasil menerobos hingga ke dalam tembok-tembok biara yang sangat tebal dan tinggi. Dunia luar pun terpampang jelas dari dalam karena tidak adanya penghalang. Semua bisa dijangkau oleh teknologi ini meskipun di balik tembok.
Masuknya teknologi di dalam biara pada jaman ini seperti memiliki dua mata pisau yang tajam. Di satu sisi, hal ini membuat pelayanan kepada umat menjadi semakin mudah. Namun di sisi lain, peralatan-peralatan canggih itu dapat membuat mereka menjadi budak, bukan lagi pelayan. Bayangkan saja bahwa pada jaman dahulu, sebelum ada handphone, motor, ketika kita harus memberi pelayanan sakramen misalnya,jarak yang sangat jauh sangat merintangi kita. Namun sekarang dengan hadirnya motor, handphone, semua itu serasa mudah dan cepat.
Bagi kaum berjubah, terlebih yang berada di sebuah komunitas studi, fenomena ini hendaknya ditanggapi dengan arif dan bijak. Jangan sampai dengan adanya alat-alat canggih jaman sekarang malahan membuat kita menjadi mahkluk asing. Proses alienasi ini dapat menjangkit pada banyak hal. Pertama, bila kita tidak dengan bijak menerima perkembangan teknologi ini kita akan terpisah dari diri panggilan kita, yaitu panggilan untuk melayani. Interaksi kita dengan orang yang kita layani hanya terbatas pada sebuah ruang teknis. Kita mudah enggan untuk berkontak secara langsung karena sudah ada telepon atau internet yang membuat kita tak perlu bertemu secara langsung. Proses alienasi kedua yang perlu diwaspadai adalah kita terjebak dalam alat-alat, sehingga kita tidak sadar akan diri kita dan menjadi budak teknologi. Di sinilah sisi kemanusiaan kita hilang dan diganti menjadi kesadaran teknokratik. Kodrat kita sebagai manusia mencair menjadi satu dengan mesin.
Teknologi dapat mengubah pengalaman maupun persepsi manusia dan jenis-jenis hubungan manusia teknologi yang membawa dampak pada budaya dan hidup manusia. Dalam hal ini alat berperan sebagai instrumen ilmiah dan instrumen budaya. Sebagai seorang manusia kita tidak mungkin mengindari penggunaan teknologi dalam hidup kita sehari-hari. Namun, kita memiliki kehendak bebasa dan dengannya kita tetap memiliki pilihan untuk tidak mempersilakan teknologi menguasai diri kita.

b) Pentingnya Refleksi Kritis
Semua orang pada jaman ini kerap menyerukan semboyan yang mengindikasikan bahwa mereka ingin mengikuti jaman. “ Hari gini gak punya HP”?, adalah sebuah contoh ungkapan jaman ini yang mengisyaratkan bahwa kita harus selalu mengikuti perkembangan teknologi supaya tidak dianggap ketinggalan jaman. Kita diajak untuk harus selalu up todate, berlari dan berlari jangan sampai ketinggalan. Alat ukur agar tidak dikatakan ketinggalan jaman tak lain dan tak bukan adalah barang-barang komoditas yang sedang marak saat ini. Akibatnya, semua orang harus memiliki handphone Blackberry agar tidak dikatakan kuno, harus berpakaian trendi, gaul, perlatan musik di rumah harus selalu mengikuti mode, dan sebagainya.
Semua ini berlangsung dengan cepat dan tanpa disadari kita telah menjadi obyek dari produk-produk seperti itu. Dengan kata lainnya, kita hanya memiliki kesadaran yang sedikit, bahkan tidak ada kesadaran akan diri kita sendiri. Bila boleh bertanya, apakah di tengah tipisnya kesadaran itu masih terselip kenyataan? Masihkah orang hidup dalam kenyataan atau dalam bayangan, mimpi dan angan-angan saja.
Dalam hidup membiara hal itu perlu direfleksikan dengan serius. Terlebih komunitas-komunitas studi yang mengirim para “intelektualnya” ke medan terdepan dari Gereja. Kemajuan teknik informasi saat ini, di satu pihak memberikan pelayanan yang luas untuk penyebaran pengetahuan dan berbagai informasi lain. Tak elak, saat ini penyebaran iman pun dapat dilakukan melalui teknologi ini. Namun di lain pihak bisa juga digunakan sebagai propaganda. Dalam jaman yang berubah terus ini, kehidupan tidak dapat berakar dalam. Standar moral dan nilai dasar yang lain seperti tak berlaku lagi, karena keadaan selalu berubah-ubah.
Berhadapan dengan ketidak pastian ini, hidup komunitas membiara yang terbiasa dengan nilai-nilai kesederhanaan, dasar-dasar kehidupan yang dalam, serta cita-cita keabadian, mendapat tantangan yang berat. Bisakah dalam biara-biara atau komunitas rumah studi mengakses begitu saja kemajuan-kemajuan teknologi tanpa memikirkannya. Tidakkah muncul kekawatiran dengan pengguanaan sarana-sarana tersebut, sikap-sikap religius pun akan di gerus jaman menuju pada mentalitas konsumeris dan hanya bersifat superfisial. Akan tetapi melawan arus jaman tanpa dibarengi kematangan diri pribadi, bukanlah sebuah cara yang yang ideal bagi kaum berjubah. Hal ini malahan memberi kesan naif dan bodoh. Perlu sebuah refleksi kritis, agar hidup dalam biara tidak hanya terapung-apung terbawa arus jaman.

6. Kesimpulan
Teknologi takkan pernah lelah untuk terus berlari. Dapat digambarkan dengan seekor “tikus” yang dikejar seekor kucing. Kucing tersebut mengejar seekor “tikus” berwarna hitam berekor panjang. Sesekali “tikus” itu memancarkan warna-warni yang indah. Hal itu membuat si kucing terbengong-bengong dan ahkirnya tidak jadi memangsa “tikus” tersebut. Ketika “tikus” itu tertangkap, yang ditemui si kucing hanyalah seonggok komponen-komponen listrik. Itulah sekilas gambaran tentang teknologi yang tak pernah lelah berlari. Ada saja cara untuk membuat dirinya semakin canggih dan tak terkejar. Hari ini muncul produk baru teknologi, besok sudah muncul kembali produk baru yang lebih canggih dan efektif. Kita tak akan pernah bisa mengejar larinya.
Tanpa terasa semakin hari, waktu semakin berjalan semakin cepat. Terutama ketika kita disibukkan dengan berbagai macam aktivitas. Hal ini terjadi juga dalam bidang teknologi. Apalagi kini ada banyak teknologi baru bermunculan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Hal ini sangat berpoengaruh pada kehidupan manusia. Di satu sisi manusia menjadi terbantu dan maju, tetapi di pihak yang lebih berbahaya manusia hanya sebagai obyek dari pekerjaannya.
Ilmu dan teknologi merupakan karya kreatif manusia yang tak ternilai harganya bagi kehidupan manusia, yang secara historis telah mampu menghadirkan “ketercengangan” sejarah. Pelbagai prestasi dan keberhasilannya untuk mengatasi persoalan manusia secara massal telah banyak menguntungkan manusia, namun akhirnya melahirkan dilema baru. Seperti hilangnya realitas-realitas masa lalu beserta kearifan-kearifan masa lampau yang ada di baliknya, yang justru lebih berharga bagi pembangunan diri kita sebagai manusia, seperti rasa kedalaman, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas.
Bersamaan dengan kemajuan IPTEK maka ekonomi dan kemakmuran pun meningkat, namun melahirkan tanda-tanda lenyapnya kedalaman di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat lebih menyenangi “gaya” ketimbang makna, lebih menghargai penampilan ketimbang kedalaman, lebih mengenal kulit ketimbang isi. Sehingga tidaklah berlebihan bila saat ini manusia dikatakan berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu krisis yang sangan kompleks dan mutidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan menyangkut, kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan alam, lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik. Namun ditengah- tengah krisis ini, perlulah kita menjadikan bumi ini menjadi bumi yang manusiawi, sehingga nilai-nilai kemanusiaan itu dapat kita rebut kembali.












Daftar Pustaka


Sumber Utama:
• Habermas, Jurgen, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3S, 1990.

Buku-buku Pendukung:
• Amir Piliang, Yasraf, Dunia yang Dilipat, Yogyakarta: Jalasutra, 2004.
• Kellner, Douglas, Herbert Marcuse and the Crisis of Marxism, California: University of California Press, 1984.
• Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx,Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
• Sad Budianto, Antonius, Diktat Pengantar Sosiologi 1, Malang: STFT Widya Sasana, 1997
• Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: kajian sejarah perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Teologi Moral Katolik

Analisis Moral Kristiani dalam Perbuatan Konkret
(Tinjauan moral berdasarkan kasus yang dihadapi Suciati)


Pengantar
Dalam hidupnya manusia selalu dihadapkan pada persoalan. Di dalam persoalan itu selalu mengandung pilihan. Pilihan-pilihan itu sering menuntut sebuah tindakan guna menentukan keputusan atas pilihannya itu. Manusia dikarunia kehendak bebas untuk menentukan hidupnya di dunia. Artinya, manusia memiliki kebebasan di dalam menentukan arah hidupnya, yaitu atau berpihak pada Allah atau menghindar dari Allah. Karunia ini diberikan kepada manusia sebagai tugasnya untuk mewujudkan diri atau memenuhi panggilan Tuhan untuk menjawab cinta kasihNya. Seluruh tindakan manusia pada dasarnya mengarah pada hal ini. Inilah yang kiranya yang menjadi dasar dari pemahaman Teologi Moral.
Gambaran hidup manusia yang penuh dengan persoalan dapat dilihat dalam kasus yang dihadapi oleh Suciati. Dalam hal ini Suciati dihadapkan pada berbagai masalah kehidupannya. Persoalan awal yang muncul adalah lilitan ekonomi keluarganya di desa. Hal ini membuatnya memilih untuk mengadu nasib di kota, dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persoalan tidak berhenti ketika ia sudah mendapat pekerjaan. Satu per satu cobaan selalu datang menghampirinya. Ia mendapat kabar bahwa ibunya di desa kecelakaan, dan butuh perawatan. Maka ia mencoba meminjam uang majikannya, dan hal itu langsung diberikan kepadanya.
Masalah satu selesai, datanglah masalah yang lain. Ia selalu dapat mengatasinya berkat pertolongan dari majikannya, terutama dalam hal ekonomi. Hingga pada akhirnya, ia mendapat persoalan yang baginya sangat rumit dan pelik. Saat ia kembali membutuhkan uang, guna pengobatan operasi ibunya ia memohon kepada majikannya untuk membantu. Namun yang mengejutkan, majikannya memberikan persyaratan. Permintaannya akan dikabulkan bila Suciati mau meniduri majikan laki-lakinya. Hal ini diminta karena majikan perempuannya ingin mengganti rugi kepada suaminya, yaitu bahwa pada waktu menikah dulu ia sudah tidak perawan lagi. Persoalan ini sangat berat, mengingat ia harus mengorbankan keperwanannya demi ibunya. Ia adalah seorang katolik, selain itu ia juga memiliki pacar yang masih menunggu di desa. Pertimbangan-demi pertimbangan ia lakukan, ahkirnya ia menyetujui persyaratan itu dan ibunya pun selamat. Meskipun demikian, dalam dirinya selalu timbul kegelisahan dan rasa berdosa, karena telah melanggar perintah Tuhan. Inilah salah satu bentuk persoalan hidup.
Tulisan ini hendak mengetengahkan persoalan yang ada di atas. Kasus yang dialami oleh Suciati itu akan dibahas dalam kaitannya dengan Teologi Moral Katolik. Berpijak dari kasus tersebut akan dianalisis tindakan-tindakan yang diambil oleh Suciati. Apakah keputusan yang diambil tersebut dapat dibenarkan atau ditolelir, ataukah tindakan itu dapat dikatakan sebagai tindakan tak bermoral? Hal-hal ini akan dianalisis dengan menggunakan cara penilaian moral terhadap kasus konkret.

Pratinjau Kasus
Sebelum menganalisis dengan lebih jauh terhadap kasus di atas, kita akan melihat dahulu hal-hal apa saja yang berkaitan dengan prinsip-prinsip moral dalam kasus tersebut. Pada bagian ini belum dibahas secara mendalam tentang analisa kasusnya, hanya menampilkan secara menyeluruh hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan dalam Teologi Moral Katolik.
Dalam menilai sebuah kasus konkret, kita harus melihatnya sebagai sebuah keseluruhan dari tindakan itu. Artinya bahwa perbuatan itu tidak dapat hanya dilihat dalam satu hal saja. Namun dalam pengambilan keputusan dalam memberikan penilaian moral, harus dilihat pula hal-hal yang menyertai munculnya tindakan itu.
Bila melihat kasus di atas, jelas bahwa yang menjadi pelaku utama adalah Suciati. Persoalan serta pilihan-pilihan yang dihadapi Suciati tersebut, di satu sisi memang mampu menentukan orientasi hidupnya mendatang (optio fundamentalis) dalam inti pribadinya, tetapi di sisi yang lain juga berada dalam dan terbatas oleh aneka warna kondisi lingkungan di sekitarnya (halangan-halangan perbuatan susila /actus moralis). Berkaitan dengan orientasi hidupnya ke depan, ia memiliki pilihan, atau tetap perawan, ibunya tidak tertolong tetapi ia taat pada perintah Tuhan, atau tidak perawan dan ibunya selamat, tetapi dia melanggar perintah Tuhan.
Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa dalam kaitannya dengan pembahasan Teologi Moral, penilaian-penilaian susila yang sangat kompleks tersebut menuntut kita untuk memperhatikan macam-macam faktor dan penyorotan dari berbagai sudut, terutama segi personal. Dalam penilaian moral, segi personal ini mendapat tempat yang amat vital, karena individu atau person ini merupakan syarat utama untuk kesusilaan perbuatan . Berawal dari pra-tinjauan kasus ini, dapat dilihat apa saja yang akan digunakan dalam menganalisis kasus ini. Sehingga dalam menganalisa kasus ini, kita tidak hanya berbicara dari sudut persoalan itu saja, melainkan juga dari sudut prinsip-prinsip penilaian moral yang diajukan.

Tinjauan Moral terhadap Kasus Suciati
Seperti telah disinggung di atas, dalam menilai sebuah perbuatan konkret, perbuatan itu harus dilihat secara keseluruhan. Banyak hal yang dapat dilihat dari contoh kasus Suciati ini. Pada pembahasan kali ini, akan dipaparkan sebuah analisis perbuatan, dilihat dari prinsip-prinsip penilaian moral, secara khusus dalam penyelesaian secara tradisional.

1. Suciati dan Optio Fundamentalisnya
Optio fundamentalis ini menunjuk pada pilihan dasar atau sikap dasar manusia. Allah mengundang setiap manusia untuk menanggapi dan membalas cintaNya. Allah adalah tujuan terahkir serta kebaikan tertinggi. Oleh karena itu manusia harus menentukan sikapnya di hadapan Allah. Pilihan dasar itu terjadi dari dalam lubuk hati pribadi manusia dan berkisar pada Allah, tujuan terahkir serta KebaikanTertinggi, dan seharusnya tercetus dalam perbuatan susila . Namun perlu diketahui bahwa perbuatan-perbuatan susila tidak selalu mencerminkan pilihan dasar.
Dalam kasus Suciati ini, yang menjadi optio fundamentalisnya adalah menyelamatkan nyawa seseorang, yaitu ibunya sendiri. Namun perbuatan susila yang muncul dari optio fundamentalis ini adalah perbuatan yang buruk, yaitu melakukan persetubuhan dengan majikannya. Bila dilihat memang perbuatan bersetubuh ini bukan merupakan cerminan dari pilihan dasarnya. Pilihan dasar dari Suciati pada dasarnya adalah baik. Hal ini juga didukung bahwa ia adalah seorang Katolik yang suci dan rajin berdoa. Dapat diandaikan bahwa setiap pilihan dasar yang diambilnya selalu mengarah pada Allah.


2. Tindakan Suciati dilihat sebagai Actus Humanus
Sebelum mengkaji hal ini, perlu kita ketahui apa itu actus Humanus. Dalam pembicaraan mengenai perbuatan susila, kita tidak dapat hanya mengatakan perbuatan ini baik atau bersusila, melainkan kita juga berbicara mengenai perbuatan yang buruk atau tidak bersusila. Perbuatan susila ialah perbuatan yang dilakukan oleh manusia sejauh ia berkehendak bebas dan mengetahui norma moral . Dalam hal ini bila suatu perbuatan dilakukan dengan kehendak bebas, perbuatan tersebut disebut sebagai actus humanus. Berkebalikan dengan hal ini, sejauh perbuatan itu dilakukan oleh manusia dengan tidak menggunakan kehendak bebasnya. Perbuatan semacam ini disebut sebagai actus hominis. Perbuatan ini timbul dengan tidak disertai oleh peran akal budi, tanpa perhatian yang cermat dan terkesan mendadak, dan terjadi karena paksaan atau tekanan dari dalam dan luar dirinya . Hal semacam ini tidak dapat dinilai melalui prinsip-prinsip moral.
Dalam melihat actus humanus itu sendiri, kita juga harus melihat apa syaratnya dan apa saja halangannya. Sebagai syarat dari actus humanus tersebut adalah tahu, mau secara bebas dan mampu. Tahu di sini adalah pengetahuan tentang pelaksanaan perbuatan, obyek yang dilakukannya, serta pengetahuan akan norma-norma moral perbuatan tersebut .
Bila dilihat dalam kasus Suciati, dapat kita ketahui secara langsung bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah dengan penuh kesadaran dan disertai dengan kehendak bebasnya. Ia tidak melakukan perbuatan-perbuatannya dengan pikiran kosong. Ia sungguh sadar dan telah mempertimbangkan apa saja yang akan terjadi berkaitan dengan keputusan-keputusan yang akan diambilnya. Sebagai contoh ketika ia hendak meminjam uang kepada majikannya untuk pertama kalinya, walaupun ia belum kenal betul dengan majikannya. Ia mempertimbangkan dengan sadar dan bebas untuk memberanikan diri datang kepada majikan untuk minta bantuan demi kesehatan ibunya. Hal lain lagi yang paling gampang dilihat adalah ketika ia menerima tawaran untuk bersetubuh dengan majikan laki-lakinya. Jelas hal ini tidak terjadi karena nafsu semata. Hal ini dilakukan demi menolong ibunya. Ia juga telah mempertimbangkan konsekuensi apa saja yang akan terjadi ketika dia menerima atau menolak tawaran itu.
Ia tahu bahwa melakukan hubungan badan dengan orang lain yang sudah menikah adalah hal yang dilarang dalam agamanya (Katolik). Ia tahu pula bahwa bila ia menerima pilihan itu ia akan kehilangan keperawanannya, tetapi itu akan menolong nyawa ibunya. Dan ia tahu pula bahwa bila tawaran itu tidak dipilih maka ia akan tetap perawan, tetapi nyawa ibunya tidak akan segera tertolong. Dalam hal ini, ia melakukan perbuatan ini juga karena ia berada pada posisi yang sedang tertekan. Ia sedang mengalami dilema. Sebagai anak pertama ia harus menanggung beban keluarga, selain itu juga dari pihak majikan yang memberikan ancaman. Meskipun demikian, dapat kita lihat sekali lagi bahwa perbuatan Suciati ini adalah perbuatan yang dilakukan dengan kehendak bebas. Hal ini penting dilihat di awal karena akan menentukan apakah perbuatan ini termasuk dalam prinsip penilaian moral atau tidak. Dalam hal ini, jelas bahwa perbuatan Suciati dapat dilihat dalam prinsip‘prinsip penilaian moral.

3. Sumber Moralitas Perbuatan Suciati
Bila dilihat, perbuatan yang dilakukan oleh Suciati ini adalah sebuah perbuatan konkret. Seperti telah disinggung di atas bahwa dalam menilai sebua perbuatan konkret, kita harus melihatnya dalam keseluruhannya. Artinya bahwa suatu peristiwa itu selalu muncul dan tersusun oleh unsur-unsur yang menyebabkan perbuatan itu.
Salah satu unsur yang harus dilihat adalah obyeknya. Secara direk, obyek perbuatan Suciati dalam menerima tawaran majikannya adalah melakukan hubungan setubuh dengan orang lain yang telah menikah, dengan kata lain ia melakukan zina. Namun dalam melihat obyek ini kita juga harus mengaitkannya dengan unsur-unsur lain. Hal ini dapat kita lihat dalam kaitannya dengan maksusd (finis operantis). Obyek tindakan manusiawi adalah akibat yang dihasilkan secara langsung oleh suatu tindakan (finis operis) . Dalam kasus Suciati ini, obyek yang lebih luas dari perbuatannya adalah menyelamatkan nyawa orang lain, dalam hal ini ibunya sendiri. Inilah yang juga menjadi unsur lainnya, yaitu maksud dari perbuatan itu dilakukan. Jadi maksud dari perbuatan ini juga sekaligus menjelaskan obyek perbuatan itu secara lebih luas.
Unsur berikutnya yang dapat dilihat adalah mengenai keadaan dari perbuatan itu sendiri. Keadaan ini dimaksudkan adalah sebuah konteks tindakan manusia konkret, yang tidak mesti terikat oleh obyeknya . Dalam melihat keadaan dari perbuatan konkret tersebut, kita akan menguraikan beberapa hal yang terkait dengan konteks perbuatan itu. Pertama adalah siapa pelakunya. Dalam kasus Suciati, pelakunya sudah jelas, yaitu Suciati. Kedua adalah apa obyek perbuatannya. Perbuatan yang dilakukan oleh Suciati adalah bersetubuh dengan majikan laki-lakinya. Ketiga, di mana perbuatan itu dilakukan. Berkaitan dengan kasus Suciati ini tempat perbuatan itu adalah di rumah majikannya. Keempat, dengan apa perbuatan itu dilakukan. Untuk hal ini tidak disebutkan dalam kasus Suciati. Kelima adalah mengapa atau untuk apa perbuatan itu dilakukan. Suciati rela melakukan perbuatan ini karena ia mempunyai keinginan untuk menyelamatkan nyawa ibunya Baginya, cara inilah yang dapat segera menolong ibunya, karena dengan ini majikannya akan segera memberikan bantuan ekonomi. Hal berikutnya berkaitan dengan bagaimana perbuatan itu dilakukan. Dalam kasus ini tidak dijelaskan bagaimana perbuatan dilakukan. Hal terahkir yaitu mengenai bilamana perbuatan itu dilakukan. Perbuatan yang dilakukan Suciati ini hanya dilakukan satu kali. Artinya hanya dalam usaha untuk mendapatkan pertolongan demi keselamatan ibunya.

4. Perbuatan Suciati dilihat sebagai Voluntarium Indirectum
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap tindakan manusia itu selalu mengandung dampak. Sering kita temui dimana sebuah perbuatan yang bermaksud baik dapat menimbulkan akibat yang buruk. Persoalan inilah yang kiranya juga dihadapi oleh Suciati. Perbuatan yang dihadapi suciatiini pada dasarnya menimbulkan akibat ganda. Akibat itu dapat kita sebut sebagai akibat positif dan akibat negatif. Akibat positifnya ialah bahwa nyawa ibunya tertolong, dan akibat negatifnya ialah bahwa ia kehilangan kesuciannya.
Pada bagian ini akan ditinjau mengenai kasus Suciati berkaitan dengan perbuatanya yang berakibat ganda. Menurut pemikiran teologi moral, terlebih dalam pemecahan tradisionalnya, seseorang boleh melakukan perbuatan dengan akibat ganda (positif dan negatif), apabila memenuhi persyaratan yan ada. Persyaratan itu antara lain; perbuatan itu harus “in se” baik atau indifferen; kemudian dampak buruk yang timbul oleh suatu tindakan, bukanlah maksud si pelaku tindakan (di luar maksud). Selain itu juga bahwa dampak positif yang dikehendaki harus (sama-sama) langsung keluar dari perbuatan itu seperti akibat negatif, dan yang terahkir alasan munculnya kejahatan harus proporsional (berat).
Dalam kaitannya dengan kasus Suciati, dapat dikatakan juga bahwa perbuatannya sebagai voluntarium indirectum dapat dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan berikut ini. Pertama, berkaitan dengan perbuatan itu harus “in se” baik atau indifferen. Artinya bahwa perbuatan itu tidak mengandung maksud suatu niat jahat. Perbuatan yang dilakukan Suciati jelas memenuhi syarat ini. Dalam hal ini, tindakannya mengorbankan keperawanan diri ditujukan sepenuhnya untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Dari sini kita tidak boleh tergesa-geasa mengambil penilaian moral terhadap suatu tindakan. Dalam hal ini, perbuatan Suciati ini tidak dapat dikatakan begitu saja sebagai suatu tindakan asusila yang berat. Maksud atau intensi dari tindakan ini juga perlu diperhatikan untuk berpijak dalam memberikan penilaian yang objektif dan mendalam.
Kedua, berkaitan dengan dampak buruk yang timbul oleh suatu tindakan, bukanlah maksud si pelaku tindakan (di luar maksud). Dengan sendirinya syarat kedua ini telah terpenuhi karena akibat negatif yang keluar dari perbuatan Suciati bukanlah maksudnya sendiri. Ia hanya memaksudkan keselamatan nyawa ibunya. Ia tidak memaksudkan perbuatannya itu untuk kesenangan dirinya. Dalam hal ini kita juga perlu mengetahui bahwa perbuatan ini muncul juga karena ada tekanan dari pihak luar maupun pihak dalam. Dari pihak luar jelas, yaitu ancaman dari majikannya, sedangkan tekanan dari dalam adalah tanggung jawabnya sebagai anak pertama dalam mengurus keluarga.
Ketiga, dampak positif tidak terjadi melalui dampak buruk. Dari perbuatan Suciati ini kita melihat bahwa dampak positif, yaitu nyawa ibunya berhasil diselamatkan, keluar ber sama-sama langsung dengan dampak negatifnya, dalam hal ini kesuciannya ternoda.
Keempat, alasan munculnya kejahatan harus proporsional (berat). Hal ini mensyaratkan bahwa tidak ada jalan lain untuk mencapai akibat positif yang dituju. Bila kita tinjau dari kasus Suciati ini, dalam arti tertentu ia sedang berada dalam disposisi lemah karena tertekan oleh keadaan-keadaan di sekitarnya maupun di dalam dirinya sendiri. Ia juga diancam untuk tidak dibiarkan pergi dari rumah sebelum membereskan hutang-hutangnya. Dari keadaan ini dapat disimpulkan bahwa kemungkinan bagi Suciati untuk menemukan jalan keluar lain guna mencapai akibat positif yang dituju itu sangat kecil. Bahkan dapat dikatakan tak ada lagi jalan keluar lainnya, mengingat ia tidak punya kenalan atau kerabat di kota. Ia hanya dapat menggantungkan pertolongan dari majikannya itu.

Kesimpulan
Persoalan yang dihadapi Suciati adalah sebuah persoalan yang begitu kompleks. Bila persoalan-persoalan tersebut dilihat dari sudut pandang moral, kita harus melihatnya sebagai sebuah keseluruhan. Kita tidak dapat melihat persoalan yang terjadi atas Suciati ini hanya dalam satu hal saja. Hal ini nantinya berkaitan dengan penilain terhadap perbuatan-perbuatan yang muncul akibat persoalan tersebut. Apakah perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan secara moral atau tidak.
Berkaitan dengan itu, setelah melihat serta menganalisis kasus yang dihadapi Suciati di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan tentang perbuatan yang dilakukannya. Secara umum perbuatan Suciati ini dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Perbuatan yang dilakukan Suciati berkaitan dengan merelakan kesuciannya demi menyelamatkan nyawa ibunya itu dapat dibenarkan secara moral dan hal ini dapat ditolelir dengan melihat beberapa hal.
Pertama, dilihat dari maksud dasar ia melakukan hal ini adalah demi keselamatan nyawa ibunya. Ia tidak memaksudkan perbuatannya itu pertamat-tama untuk kesenangannya sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan optio fundamentalis yang dimiliki oleh Suciati sendiri. Pilihan dasarnya adalah menyelamatkan nyawa. Kedua, kita dapat melihat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Suciati ini juga terdesak, terpaksa dan tertekan oleh situasi di sekitarnya. Ia tidak memiliki pilihan lain lagi kecuali menggantungkan pertolongan kepada majikannya itu. Ketiga, kehendak yang dimiliki Suciati tidak bersifat direk, tetapi indirek. Ia tidak secara langsung ingin bersetubuh tetapi hal itu dilakukan karena ada alasan lain, yaitu untuk menyelamatkan nyawa ibunya. Jadi hal ini juga berkaitan dengan maksud perbuatan itu. Keempat, dapat dilihat bahwa akibat baik dari perbuatan itu muncul bersama-sama dengan akibat buruknya. Jadi akibat dia bersetubuh dengan majikannya adalah bahwa nyawa ibunya selamat sekaligus ia kehilangan keperawanannya.
Dari sini kesimpulan ini kita tahu bahwa perbuatan Suciati ini tidak dapat dinilai sebagai perbuatan yang melanggar norma susila belaka. Perbuatannya harus dilihat dalam keseluruhan kasus itu. Kasus Suciati ini dapat dibenarkan dan ditoleril dengan melihat prinsip-prinsip penilaian perbuatan konkret dalam teologi moral, seperti yang telah diuraikan di atas.


Usulan
Usulan yang dapat saya berikan bila Suciati datang kepada saya sebelum ia memutuskan memilih tawaran itu adalah menyuruhnya untuk memperbincangkan kembali tawaran itu dengan majikannya. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan apa yang menjadi persoalan dan keberatannya. Mungkin dengan membicarakannya kembali, ia akan mendapat tawaran lain yang lebih dapat diterimanya. Namun bila majikannya tetap tidak mau tahu atas persoalan yang dihadapi Suciati, saya akan mencoba membawa Suciati ke Gereja Katolik setempat. Saya akan mencoba mempertemukannya kepada Pastor paroki, agar Suciati dapat mengkonsultasikan persoalannya. Siapa tahu Pastor Paroki akan memberikan solusi yang tepat demi kebaikannya.






Sumber Penunjang:

• Chang, William, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005.
• Go, Piet, Diktat Kuliah Teologi Moral Fundamental, Malang: STFT WidyaSasana, 2003.
• Peschke, Karl Heinz SVD, Etika Kristiani: Jilid I: Pendasaran Teologi Moral, Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.

Teologi Paulus

Pembedaan Roh:
Sebuah Usaha untuk Mencapai Kedewasaan Kristiani
Oleh: Ditia Prabowo
NIM: 07.09042.000022


Pengantar
Dewasa ini, di antara orang kristen, berbicara mengenai pembedaan roh agaknya masih menjadi hal yang asing. Ada pandangan bahwa membedakan roh merupakan sesuatu hal khusus, yang hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki pengetahuan serta kemampuan lebih dalam hidup rohani.
Selain pandangan tersebut, ada hal lain yang dapat menimbulkan kesalah pahaman dalam mengerti pembedaan roh ini. Hal itu adalah bahwa pembedaan roh itu hanya dilakukan pada saat kita mengalami saat-saat kritis saja. Misalnya saat kita menghadapi krisis iman, kita merasa jauh dari Tuhan, kita baru mulai merefleksikan hidup kita. Dengan kata lain pembedaan roh semacam ini hanya digunakan sebagai alat pemecah masalah. Memang benar, bahwa melalui pembedaan roh kita dapat melihat persoalan-persoalan hidup menjadi lebih jelas. Namun, pembedaan roh ini sebenarnya bukan pertama-tama ditujukan untuk itu. Pembedaan roh itu sebenarnya harus ada dalam setiap pilihan-pilihan hidup kita sehari-hari.
Setiap hari kita memiliki serta membuat pilihan-pilihan atas hidup kita. Secara sadar atau tidak, hidup kita selalu dihadapkan pada pilihan. Sebagai contoh, kita akan memilih melakukan hal yang baik atau hal yang buruk, atau membicarakan hal yang berguna atau yang merugikan orang lain, atau berpikir positif atau berpikir negatif. Pada ahkirnya, pilihan-pilihan kita itu merupakan pilihan-pilihan memihak dan tidak memihak Allah, atau pro Allah atau kontra dengan Kerajaan Allah.
Dalam pembahasan antropologi kristiani, kita telah melihat beberapa hal mengenai proses kedewasaan rohani sebagai orang kristen. Usaha ini merupakan sebuah usaha untuk bersatu dalam Kristus dalam persekutuan bersama Bapa dan Roh kudus. Sehubungan dengan hal ini, salah satu usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan pembedaan roh. Dalam kaitannya dengan proses kedewasaan ini, pembedaan roh dapat diartikan sebagai usaha memahami kehendak Allah. Sebagai seorang kristiani yang dewasa, kita juga dituntut untuk semakin mengenal serta memahami kehendak Allah ini dalam hidup kita.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memaparkan pembedaan roh secara mendalam. Penulis hanya ingin menampilkan kaitan antara pembedaan roh sebagai salah satu cara menuju kedewasaan Kristiani. Kedewasaan kristiani itu sendiri juga dibatasi, yaitu berkaitan dengan bagaimana kita dapat mengenal serta mendalami kehendak Allah. Di sini dibahas mengenai apa itu pembedaan roh, mengapa perlu ada pembedaan roh, serta bagaimana kita dapat bertumbuh dalam karunia pembedaan roh itu, dalam usaha mencapai kedewasaan kristiani. Pembahasan hal ini akan dilihat dalam konteks pengajaran Paulus.

Apa itu Pembedaan Roh?
Pembedaan roh sering disebut juga dengan discermen, yang berasal dalam bahasa Latin, ’’discretio’’ atau ’’discernere’’ yang berarti membagikan, memisahkan satu dari yang lain . Dari kata ini dapat kita tarik secara lurus artinya, yaitu membedakan atau memisahkan roh yang satu dengan roh yang lain.
Dalam diri kita, terlebih dalam batin kita, terdapat dua hal yang mempengaruhi kita secara berlawanan. Dua hal itu adalah pengaruh roh baik dan pengaruh roh jahat . Roh baik itu selalu berasal dari Allah, sedangkan roh jahat itu muncul dari setan. Roh jahat itu muncul menghalangi umat beriman dalam usahanya bersatu dengan Allah. Namun, mengapa roh jahat itu muncul? Roh jahat ini muncul akibat kecenderungan kita sebagai manusia yang rapuh. Dalam hidupnya, manusia memiliki banyak keinginan. Kita juga dikaruniai kehendak bebas untuk menjalankan hidup ini. Namun karena kelemahan kita, kita sering jatuh dalam menggunakan kehendak bebas tersebut. Kita cenderung mengikuti kehendak diri kita sendiri dan mengabaikan kehendak Allah, ’Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat’ (Rm 7:19). Paulus dalam suratnya mengatakan bahwa kita harus berperang melawan roh-roh jahat itu: ’karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara’(Ef 6:12).
Dengan adanya pengaruh-pengaruh tersebut, secara sadar atau tidak sadar, dalam diri kita terdapat pergulatan untuk memilah-milah serta memilih antara pengaruh dari Allah dan pengaruh dari setan. Inilah yang disebut sebagai pembedaan roh. Hal ini merupakan sesuatu yang penting, dimana kita sebagai orang beriman dituntut untuk dapat memahami kehendak Allah dengan lebih tepat. Dengan kata lain karunia pembedaan roh ini dapat memampukan seseorang untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Tujuan dari karunia ini adalah membawa kita untuk dapat mengerti dan memahami apa yang dikehendaki oleh Allah sendiri.

Mengapa Perlu ada Pembedaan Roh?
Paulus dalam suratnya kepada umat Korintus mengatakan bahwa karunia membedakan roh merupakan sebuah anugerah dari Roh Kudus: “Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mujizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh“(1 Kor 12:10). Banyak karunia yang dianugerahkan, tetapi itu semua berasal dari satu Roh yang sama. Karunia ini dibutuhkan untuk membantu orang menilai berbagai macam pikiran serta dorongan yang masuk ke dalam diri seseorang.
Karunia-karunia tersebut, secara khusus karunia pembedaan roh, mengandaikan kehidupan gerejani yang dipenuhi dengan kuasa Ilahi dan manifestasi kehadiran Allah yang memaksa si jahat tampil dari persembunyiannya . Sehingga dalam perkembangan iman seseorang dibutuhkan kepekaan yang semakin tajam akan kehadiran Allah. Dari sini manusia akan tidak mudah terjebak oleh jerat-jerat si jahat dan kecenderungan keliru yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dalam pengalaman-pengalaman hidup kita, semakin mendalam hidup rohani seseorang, seringkali kita mengalami godaan-godaan yang semakin halus bahkan seakan-akan terkesan “baik” padahal menjerat dan menggeroti iman. Terlebih lagi, dalam kehidupan zaman sekarang yang penuh dengan segala permasalahannya kita membutuhkan kuasa Allah untuk mengatasinya.
Dalam kesempatan yang sama, Paulus juga menegaskan bahwa anugerah karunia pembedaan roh ini tidak hanya ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga bagi kepentingan orang lain, ’tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama’ (1 Kor 12:7).
Karunia pembedaan roh bukanlah sesuatu yang berasal dari diri kita sendiri. Hal ini merupakan sebuah anugerah. Anugerah ini hendaknya kita terima dan kita kembangkan, sehingga kita dapat membedakan gerak mana yang datang dari Allah, mana yang datang dari roh jahat atau dari egoisme sendiri yang membawa kepada dosa. Pertumbuhan dalam Roh menuntut kepekaan yang besar kepada Allah. Hal ini disertai dalam kenyatannya akan selalu diwarnai dengan godaan-godaan yang lebih halus dan semakin canggih pula. Seringkali tidaklah mudah mengetahuinya, Untuk itulah karunia ini sangat dibutuhkan.

Usaha Mencari Kehendak Allah
Dalam hidup beriman, kita diharapkan dapat mengusahakan kedewasaan iman yang kita miliki. Usaha menjadi dewasa di sini bukanlah melulu soal fisik, tetapi ada hal yang harus terus dikembangkan berkaitan dengan iman itu sendiri. Paulus dalam pengajaran maupun tulisan-tulisannya mengemukakan bahwa proses pendewasan diri harus kita dasarkan pada hidup Kristus sendiri. Proses pendewasaan diri dalam Kristus adalah karya rahmat Allah dalam diri manusia. Kedewasaan Kristiani ini pada ahkirnya juga akan bermuara pada keselamatan umat beriman.
Menjadi seorang Kristen berarti hidup dalam Kristus. Hal ini perlu dipupuk terus-menerus dalam setiap pribadi. Inilah yang disebut sebagai proses pendewasaan kristiani. Salah salah satu usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai kedewasaan kristiani itu adalah dengan mengenali serta mendalami kehendak Allah yang ada dalam diri kita. Istilah kehendak Allah sering kita gunakan dalam doa-doa, renungan, serta percakapan kita sehari-hari. Misalnya dalam peristiwa kematian yang terjadi secara tiba-tiba, kita sering mengatakan bahwa itu adalah kehendak Allah, semuanya telah diatur Allah bagi kita. Paulus menyatakan kehendak Allah ini sebagai rencana keseluruhan Allah terhadap manusia dan dunia seperti telah dinyatakannya, “Rencana Allah yang akan digenapiNya pada waktuNya untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai kepala segala sesuatu,baik yang di Surga maupun di bumi (Ef1:10).
Kehendak Allah ini juga dapat kita pahami sebagai apa yang pada umumnya dikehendaki Allah dalam diri kita, seperti melakukan yang baik dan menghindari yang jahat, mematuhi perintahNya, hidup dalam kasih dan membangun dunia yang lebih baik. Disinilah kita memerlukan adanya suatu pembedaan roh, sehingga kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang jahat, apa yang berkenan di hadapan Allah dan apa yang tidak berkenan di hadapan Allah. Tujuan dari pembedaan roh ini adalah untuk mengetahui apa yang diharapkan Allah bagi kita saat ini . Lebih lanjut Paulus menegaskan bahwa sebagai seorang Kristen, kita harus selalu dibimbing oleh Roh Kudus, “semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah” (Rm 8:14). Dari sini Paulus hendak mengatakan bahwa sebagai orang Kristen kita juga hidup dalam Roh Allah sendiri. Dengan hidup di dalam Roh Allah, berarti kita telah mempunyai senjata iman guna melawan roh-roh jahat yang berlawanan dengan kehendak Allah sendiri. Pilihan serta keputusan untuk memihak Allah dan menghindari yang jahat adalah salah satu bentuk perwujudan dari kedewasaan Kristiani.

Bertumbuh dalam Karunia Roh
Dalam kaitannya dengan usaha mencapai kedewasaan Kristiani, kita dapat mengusahakan beberapa hal agar kita dapat semakin mengenal dan mendalami kehendak Alah dalam diri kita. Apa saja yang perlu dilakukan? Pertama-tama kita dapat melihat relasi kita dengan Tuhan. Kita perlu bertanya bagaimana relasiku selama ini denganNya. Hal ini dapat kita jalin dengan membangun sikap doa yang baik. Ini tidak berarti kita harus berdoa berjam-jam lamanya, paling tidak kita memiliki keteraturan dalam menjalin relasi denganNya. Kedekatan kita dengan Allah akan memampukan kita untuk lebih tajam dalam membedakan dorongan-dorongan yang ada dalam diri kita.
Hal berikutnya yang dapat kita lakukan adalah menyadari hidup kita di tengah-tengah dunia. Kita perlu sadar akan realitas sosial, dunia dan lingkungan tempat kita hidup. Dengan menyadari hal itu, kita akan mampu untuk melihat pengaruh-pengaruh apa dalam masyarakat terhadap diri dan kehidupan kita. Sehingga pada ahkirnya kita juga dapat realistis dalam melihat diri kita.
Selanjutnya, agar kita dapat tumbuh dalam karunia ini, kita juga perlu memupuk kerendahan hati. Ini berarti mencerminkan kebergantungan kita pada Allah dan keterbukaan terhadap Roh KudusNya. Tidak hanya itu, kita diharapkan terus-menerus untuk memiliki kasih persaudaraan. Berkaitan dengan kasih persaudaraan ini, berarti kita haruslah menjadi orang yang lebih berorientasi pada orang lain dari pada terhadap diri sendiri. Hal itu dapat dilakukan dengan saling memaafkan, berbelas kasih dan tidak menghakimi.

Penutup dan Relevansi
Dalam pembahasan di atas, kita mengetahui bahwa pembedaan roh merupakan sebuah karunia yang diberikan kepada kita. Karunia ini kita terima untuk membantu kita melihat serta mendalami kehendak Allah dalam diri kita. Kita harus terus mengusahakannya, agar kita semakin dapat bersatu dalam Roh Allah yang telah mengaruniakan rohNya kepada kita. Bila kita terus menumbuhkan karunia ini, kita dapat melihat apakah pilihan serta keputusan kita berasal dari roh baik atau roph jahat. Hal itu dapat dilihat dapat dilihat dari buah-buah Roh yang dihasilkan, serta dari perbuatan konkret kita sehari-hari, “ Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,kelemahlembutan, penguasaan diri“ (Gal 5:22-23).
Bagi kita, umat kristen, pembedaan roh ini memiliki arti penting, terlebih bagi pengenalan kita akan kehendak Allah. Hal ini berguna bagi kita untuk menentukan apakah kita akan berpihak kepada Allah atau menghindariNya. Berkaitan dengan ini kita dapat menarik relevansi yang berguna bagi kehidupan kita, terlebih dalam usaha mencapai kedewasaan Kristiani. Berikut akan diberikan beberapa relevansi dari karunia pembedaan roh ini.
 Bagi para rohaniwan/rohaniwati
Pola-pola hidup yang teratur dan tetap dalam biara atau komonitas dapat membantu bagi orang yang baru mengenal karya Allah. Belum tentu orang yang hidup rohaninya baik akan dapat melakukan pembedaan roh dengan lebih mudah. Orang yang hidup rohaninya sudah berkembang juga membutuhkan discerment terus-menerus, karena godaan-godaan semakin banyak dalam hidup yang teratur seperti itu. Oleh karena itu, walaupun para biarawan rohaniwan telah merasa hidup rohaninya baik, ia tidak boleh melupakan karunia roh ini, dan harus diusahakan terus menerus selama hidup bakti. Selain itu, karunia ini juga dapat digunakan oleh para rohaniwan/rohaniwati dalam memberikan masukan atau bimbingan rohani. Hal ini dimaksudkan bahwa pembedaan roh ini tidak hanya untuk diri sendiri melainkan juga dapat membawa sesama kepada persatuan dengan Roh Allah sendiri.

 Bagi umat Kristiani
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan akan pilihan-pilihan hidup. Sebagai orang Kristen, diharapkan dapat dengan dewasa memilih dengan baik, sesuai dengan kehendak Allah. Seringkali kita sebagai umat kristen juga jatuh dalam pencarian jalan pintas untuk lari dari persoalan hidup yang tidak menyenangkan. Kita diajak untuk tidak lari dan menghindar, diajak untuk melihat kembali, memilah-milah kembali gerakan batin yang timbul. Untuk mengetahui apa itu kehendak Allah serta bagaimana kehendak itu kita rasakan dapat dilakukan dengan pembedaan Roh ini.















Daftar Pustaka

 Isharianto, Rafael, Santo Paulus: Figur, Karya dan Relevansinya Bagi Gereja Indonesia: Tantangan Hidup Religius di Indonesia Kini, Malang: STFT Widya Sasana, 2003.

 Pai, Rex A., SJ, Discerment: A Way Of Lifet, Medan: Penerbit Bina Media, 2002.

Wawasan Nusantara

Pokok-pokok Wawasan Nusantara


Pengantar
Pokok-pokok wawasan nusantara merupakan sebuah rangkuman dari aspek rasa kebangsaan dan nasionalisme, yang ada dalam diri bangsa Indonesia sendiri. Berbicara mengenai hal ini, maka kita tak akan terlepas dari proses penelusuran sejarah bangsa ini. Penelusuran sejarah ini bukan semata-mata hanya melihat kronologis terbentuknya bangsa ini, tetapi juga akan dilihat pemikiran serta unsur-unsur yang membentuk rasa berbangsa dan bernegara. Uraian-uraian yang ada dalam tulisan ini hendak mengetengahkan hal-hal di atas. Berawal dari uraian ciri wawasan nusantara hingga Gerakan Nasional, tulisan ini hendak merangkum apa yang terjadi dalam proses pertumbuhan bangsa ini dalam bingkai Filsafat Wawasan Nusantara.

Relevansi Ciri Wawasan Nusantara dalam Ketahanan Nasional
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang besar dan luas. Secara geografis bangsa ini terletak di antara dua benua (benua Asia dan benua Australia) serta dua samudra (samudra Hindia dan samudra Pasifik). Hal ini membuat bangsa Indonesia berada dalam posisi yang strategis. Selain itu, dari dalam diri bangsa Indonesia sendiri memiliki berbagai macam kekayaan suku, bahasa, agama serta kepercayaan. Kenyataan-kenyataan tersebut membuat bangsa ini memiliki sebuah semangat dan tanggung jawab bersama dalam menjaga keutuhan serta kesatuan nasional.
Pada jaman pergerakan kemerdekaan, semangat ini nampak ketika seluruh rakyat bersatu melawan kolonialisme guna mewujudkan Indonesia merdeka. Di sini nampak bahwa semangat persatuan sebagai perwujudan semboyan Bhineka Tunggal Ika telah membawa bangsa Indonesia merasa bersatu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air.
Kesatuan pertahanan dan keamanan ini dapat dilihat pula dalam dua aspek, yaitu mengenai hak dan kewajiban warga negara dalam hal bela negara, serta ancaman terhadap satu daerah menjadi ancaman seluruh bangsa dan negara. Dalam hal ini, tentu dibutuhkan sebuah komitmen bersama untuk menjaga bangsa ini. kita tidak boleh terlalu mementingkan suku atau kelompok kita sendiri. Meskipun pada situasi sekarang ini tiap-tiap daerah berhak atas otonominya sendiri-sendiri, tetapi semangat nasionalisme hendaknya tetap menjadi prioritas utama. Dengan demikian, relevansi ciri wawasan nusantara dalam bidang ketahanan nasional ini dapat benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat. Diharapkan pula negara ini tidak hancur oleh lekangnya waktu sekalipun berbagai tantangan jaman menghampiri.

Perbedaan Nusantara menurut Soekarno dan Jawa kuno
Dalam menjelaskan Nusantara, banyak perspektif dapat kita lihat. Dalam bagian ini akan dilihat dua pandangan Nusantara menurut Soekarno dan pandangan Jawa Kuno. Soekarno menggunakan atau mengutip istilah “nusantara”dari Ernest Renan dan Otto Bauer yang mengarah pada persatuan. Berangkat dari kedua tokoh ini, Soekarno berkeinginan untuk mempersatukan seluruh bangsa Indonesia kerena beberapa alasan. Pertama adanya perasaan senasib dan sepenangggan yakni mengalami penjajahan, penindasan dan penderitaan. Kedua adanya unsur bertanah air satu sebagai tempat tinggal manusia Indonesia dimana Indonesia berada diantara dua samudara yaitu samudra Hindia dan samudra Pasifik dan dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Soekarno melihat wawasan nusantara lebih pada letak geografis untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Istilah Nusantara menurut tradisi Jawa kuno dapat kita temukan dalam peninggalan-peninggalan sejarah berupa prasasti. Prasasti yang dimaksud adalah prasasti Sarwa Dharma dan prasasti Parampihan yang ditemukan tahun 1269. Di dalam kedua prasasti tersebut terdapat tulisan “Bali Nusantara”. Dalam perkembangan selanjutnya (1331-1364) istilah ini dihubungkan dengan sumpah Palapa Pati Gaja Mada yang mewakili arti “pulau-pulau di luar Jawa, juga untuk mempersatukan dan membentuk negara kesatuan.

Asal Mula Kata Indonesia
Secara harafiah, kata Indonesia pertama-pertama disebut kepulauan India. Awalnya kata India hanya dipakai adalah sebutan untuk daerah Timur jauh, yang merupakan sumber kekayaan dan sumber rempah-rempah. Kemudian oleh Inggris dinamakan Indian Archipelago atau Malayan Archipelago. Namun, daerah-daerah tersebut hanya terbatas pada Jawa dan Sumatra saja. Baru setelah itu daerah Maluku, Irian, dan Nusa Tenggara juga termasuk ke dalamnya.Inggris dan Portugis berhasil dikalahkan Belanda, dan mengusai Indonesia. Seorang etnolog Jerman bernama Bastian menyebut nama Indonesia sebagai seluruh kepulauan antara daratan Asia dan Melanesia. Politik perdagangan juga mempengaruhi munculnya nama Indonesia ini. Berawal dari bangkrutnya VOC, perdagangan dan kekuasaan diambil alih oleh pemerintah Belanda. Setelah itu muncul istilah“Nederlands Oost Indie” dari Belanda. Pada awal abad ke 20 ada usaha dari pemerintahan india untuk memperhatikan masyarakat pibumi dan tidak hanya memeras mereka. Gerakan itu disebut gerakan etis. Dan orang pribumi disebut Inlander untuk membedakan dari Nederlander atau Eropeer. Kemudian atas usulan dari gerakan etis nama Inlander diganti menjadi Indonesier dan penghuni pribumi menduduki daerah Nederlands Indie. Dari sinilah nama Nederlands Indie diganti lagi menjadi Indonesia,hingga kedatangan Jepang. Kata Indonesia sekarang ini mempunyai arti keabsahan politik yaitu suatu negara merdeka yang meliputi wilayah yang dulu Nederlands Indie.

Nilai dari Perdagangan sebagai Unsur Pemersatu
Seperti telah disebutkan di awal, Indonesia menjadi jalur perdagangan yang ramai. Kekayaan alam yang berlimpah-limpah serta letaknya yang sangat strategis itu sudah merupakan daya tarik dunia luar untuk datang ke negeri ini, mula-mula sebagai pedagang, dan beberapa di antaranya kemudian berakhir dengan menguasai Indonesia di bidang ekonomi maupun politik. Sudah sejak berabad-abad negeri ini merupakan incaran dari pengruh Hindu, Buddha, Cina, Islam dan Akhirnya Negara-negara barat ini umumnya lebih tertarik hanya untuk mengeksploitirkan dan menguasai negeri nusantara ini.
Melalui jalur perdagangan, mereka bersatu dan berkumpul di Nusantara ini, sekalipun akhirnya mereka juga memiliki motivasi yang ”buruk” disamping berdagang yakni untuk menguasai Nusantara ini. Motivasi itupulah yang kemudian menjadi stimulus bagi Bangsa Indonesia untuk berjuang mempersatukan Bangsa Indonesia kembali dari perpecahan yang dibangun oleh belanda lewat taktik devide et impera. Nilai persatuan itu tampak dalam semangat Bangsa Indonesia untuk bersatu, senasib-sepenanggungan, sebangsa dan setanah air serta mempunyai satu tekad dalam mencapai cita-cita bersama, yakni bebas dari penjajahan. Dalam arti inilah, perdagangan dapat dilihat sebagai unsur pemersatu.

Sifat- sifat Raja dan Feodalisme di Indonesia
Dalam menjalankan kekuasaannya, Raja –raja di Idonesia khususnya di wilayah Jawa sangat dipengaruhi oleh pemikiran bahwa raja adalah titisan Dewa. Oleh karena itu, raja sangat dihormati bahkan tidak jarang disembah seperti layaknya Dewa. Kekuasaan raja pun absolut, menyangkut segala dimensi kehidupan baik sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai pemimpin agama. Meskipun demikian raja tidak menjalankan kekuasaannya sendiri. Ia memiliki pembantu seperti Maha mantri, panglima dan seterusnya. Jadi dalam melaksanakan kekuasaanya raja tidak turun langsung melainkan melalui pembantu-pembantunya.
Pemikiran seperti ini kemudian diadopsi oleh pemerintah V.O.C dalam menjalankan kekuasaanya di Indonesia. V.O.C tidak secara langsung memungut hasil bumi dari penduduk Indonesia melainkan melalui para bupati yang mereka angkat. Dengan demikian V.O.C dapat mengambil keuntungan dengan adanya kepatuhan rakyat kepada para bupati. Sebab secara psikologis rakyat merasa masih diperintah oleh atasan yang mereka anggap sebagai titisan Dewa. Beberapa akibatnya: pertama; rakyat tidak pernah memberontak karena tidak merasa dijajah oleh orang asing. Kedua; bupati semakin membebani rakyat dengan tujuan keuntungan pribadi dan keuntungan V.O.C.

Kedatangan Bangsa Belanda
Kedatangan Bangsa Belanda membonceng VOC. Mereka pertama kali datang ke Indonesia di daerah Sunda kelapa dan menguasai perdagangan rempah-rempah. Mereka juga memiliki kuasa pemerintahan sendiri. VOC membuat benteng pusat dan menamainya Batavia. VOC melangsungkan perang di beberapa daerah Indonesia untuk memonopoli perdagangan. VOC pun menang, dan menuntut upeti hasil dagang dari daerah untuk mereka dan meminta kuasa politik di daerah tersebut. VOC mulai berkuasa atas sebagian besar wilayah Indonesia. Bupati-bupati pribumi ditempatkan guna membantu dalam mengatur daerah serta menyetor hasil dagang. Hal ini mengakibatkan feodalisme semakin kokoh, akibatnya dapat menghambat perkembangan ekonomi. Setelah itu Belanda mengambil alih dan menerapkan ideologi liberal. Mereka mendorong rakyat untuk secara bebas menanam dan menjual hasilnya kepada pemerintah sebagai bahan ekspor. Segi positif yang dapat diambil adalah rakyat didorong untuk mengembangkan semangat dan kemampuan berdagangnya. Namun, karena sistem feodal masih kental maka segala usaha ini gagal. Rakyat tidak berani menanam dan berdagang sendiri jika tidak diperintah bupati.
Jaman Liberalisme
• Kedatangan Inggris
Bangsa Inggris sempat singgah di Indonesia. Kedatangan Inggris di Indonesia juga membawa aliran politik liberal. Mereka menyusun beberapa politik ekonominya, yaitu pembebasan rakyat untuk bertani dan berdagang, pemerintah mengawasi tanah rakyat secara langsung, dan pelaksanaan kontrak tanah. Namun politik ini gagal karena kuatnya sistem feodal dalam diri masyarakat.
• Tanam Paksa dan Akibatnya Bagi Indonesia
Sistem tanam paksa ini berawal dari mundurnya ekonomi di negeri Belanda. Untuk memenuhi perekonomiannya, Belanda mengadakan sistem tanam paksa kepada rakyat Indonesia. Sistem ini tidak lagi memungut dalam bentuk uang kepada rakyat, melainkan dalam bentuk tanaman eksport. Rakyat, terlebih rakyat desa, diminta untuk menjadi tenaga kasar, mulai dari pengolahan hingga pendistribusian ke pabrik-pabrik. Sehubungan dengan ini, rakyat harus menggarap tanahnya sendiri sekaligus menggarap untuk hasil ekspor. Akibatnya, tak sedikit tanah milik mereka sering tak tergarap dan menimbulkan kelaparan. Akibat lain dari gerakkan ini antara lain: pertama; rakyat dapat memperbaiki kondisi ekonomi Belanda. kedua; munculnya pabrik- pabrik yang memberikan lapangan kerja baru bagi rakyat.
• Sekolah-sekolah Bentukan Belanda
Belanda begitu gencar mengatur pemerintahannya, misalnya dalam bidang pendidikan. Keinginan Belanda untuk menghasilkan orang pribumi yang terdidik yang pada akhirnya dapat membantu jalannya birokrasi pemerintahan mendorong Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah. Pertama-tama mereka mendirikan sekolah guru, yaitu untuk mendidik para guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah.
Namun yang sangat disayangkan, nampak adanya perbedaan antara pendidikan kaum elit dan rakyat biasa. Misalnya, ada pembagian tingkatan kelas berdasarkan kedudukan dalam masyarakat. Kaum priyayi menempati kelas ongko siji, dan untuk anak rakyat pribumi masuk kelas ongko loro. Ada pun sekolah khusus untuk pegawai negeri pribumi (OSVIA), sekolah kejuruan, sekolah dokter hewan, sekolah mantri cacar yang kemudian berkembang menjadi sekolah dokter Jawa.
• Pemikiran Belanda terhadap Indonesia
Pada waktu itu, Belanda membentuk Volksrad, yaitu dewan penasihat bagi pemerintahan Nederland Indie yang tidak mempunyai hak menentukan undang-undang. Mereka merugikan rakyat, tetapi di sisi lain mereka membawa pemerintahan ke arah yang lebih terbuka. Bentuk pemerintahan ini berkaitan erat dengan pandangan orang Eropa terhadap Indonesia. Orang Eropa menganggap diri lebih maju dari orang pribumi, dan orang pribumi hanya dianggap sebagi obyek
Pemikiran Belanda mengenai bentuk hubungan pemerintahn Barat-Pribumi antara lain membentuk Politik Economische Bond. Untuk mewujudkan suatu bangsa nederland indie, mereka bekerjasama dengan rakyat pribumi dibawah pimpinan Belanda. Selain itu Belamda juga membentuk Nederland Raya, dimana status Indonesia menjadi Vaderlandsghe Club (otonom). Selanjutnya mereka berpikir bahwa orang Indonesia tidak cukup cakap untuk berotonomi, kesadarannya hanya bersifat kepulauan (Colijn). Pemikiran lain adalah membentuk Kesemakmuran Nederland (Stuwgroup). Dalam hal ini, kewajiban utama kolonial adalah memajukan kerjasama dan solidaritas antar golongan. Menurut Belanda, kolonialisme tetap berjalan dengan membangun solidaritas kemanusiaan Barat-Timur (Kat Angelino). Pada ahkirnya, beberapa orang Belanda lainnya menginginkan otonomi daerah dibawah Kesemkamuran Nederland Raya.

Gerakan Nasional dan Kebangkitan Nasional
Berbicara mengenai gerakan nasional dan kebangkitan nasional, hal yang perlu diperhatikan adalah soal kesadaran untuk bersatu. Kesadaran sebagai bangsa dan negara yang satu itu muncul dari para cendekiawan muda yang ingin mewujudkan suatu Indonesia merdeka. Kesadaran ini berlanjut dengan munculnya berbagai organisasi. Dr. Wahidin mengawali usahanya dengan mendirikan organisasi Boedi Oetomo yang bertujuan untuk meringankan beban hidup rakyat Jawa. Hal ini didukung oleh Tjipto Mangunkusumo. Namun ia berpendapat agar organisasi ini menjadi gerakan politik atas dasar persaudaraan bersama. Hal ini memicu kekecewaan kelompok lain, yang ahkirnya memisahkan diri dan membentuk Indische Partij.
Dalam kalangan Islam sendiri muncul sebuah Serikat Dagang Islam. Hal ini muncul sebagai antisipasi dari majunya perdagangan Cina dan pesatnya penyebaran agama Kristen oleh Belanda. Secara keseluruhan, tujuan utama SI adalah untuk memperbaiki kehidupan rakyat pribumi baik secara jasmani dan rohani. Selain Islam muncul juga organisasi kedaerahan dan organisasi kepemudaan.. Para pelajar Indonesia di Nederland berhasil mendirikan partai Komunis. Walaupun gerakan ini sempat digagalkan, pemuda Indonesia terus berjuang dan pada ahkirnya berhasil mendirikan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Semua organisasi Indonesia ini becirikan non kooperasi terhadap Belanda. Oleh karena itu Belanda menentang semua gerakan-gerakan tersebut. Hal ini mengakibatkan banyak gerakan yang gagal.
Gerakan nasional tersebut merupakan langkah awal untuk menuju akan kesatuan hidup berbangsa dan bernegara. Namun sayangnya, hal ini belum didukung oleh sebuah kesadaran bahwa mereka adalah satu. Mereka hanya bergerak dengan mengandalkan kekuatan dari dalam kelompok saja (bersifat kedaerahan). Selain itu ada perbedaan pandangan menyangkut persatuan antara Soekarno dan Hatta. Soekarno lebih condong ke segi ideologis, sedangkan Hatta ke arah ekonomis. Kegagalan yang dialami Indonesia pada masa itu juga harus menjadi pijakan untuk masa sekarang. Sifat kedaerahan hendaknya tidak lagi menjadi tujuan utama, sehingga kemerdekaan yang telah diraih itu tetap kita miliki dan kita pelihara.

Membangun Nasionalisme Baru Menurut Dr. Mochtar Mas’oed
Dalam uraian yang terahkir ini, kami akan menguraikan sedikit mengenai paradigma membangun nasionalisme baru, dari para tokoh. Berkaitan dengan itu, kami mengambil tokoh Dr. Mochtar Mas’oed, sebagai salah satu tokoh ekonomi. Oleh karena itu, ia menerangkan situasi saat ini dari sudut pandang ekonomi. Para pendiri bangsa Indonesia tidak berani bersikap mandiri, artinya masih ada ketegantungan dengan dunia Internasional. Oleh karena itu negara Indonesia selalu berbenturan dengan dengan Negara kapitalis. Kapitalisme meguasai keorganisasian produksi dalam skala dunia, sedangkan nasionalisme Indonesia mengutamakan pembentukan negara yang kuat.
Situasi perekonamian pada masa Orde Baru tidaklah begitu baik. Untuk memperbaiki perekonomian ini, pemerintah Orde Baru bergabung dengan negara Internasional yang beraliran kapitalis, guna mendapatkan dukungan perekonomian. Dengan bergabungnya Indonesia dalam dunia Internasional, maka hubungan Indonesia dengan negara-negara lain mulai membaik. Pada waktu itu situasi politik Internasional masih di kuasai oleh geo-politik. Amerika menjamin dan memberi kesan baik terhadap bangsa Indonesia kepada dunia Internasional.
Pada masa itu bantuan perekonomian dari pihak luar dirasakan sangat mambatu perkembangan perekonomian Indonesia. Ciri-cirinya antara lain adalah perekonomian terpusat pada inisiatif pemerintah,dan pemerintah memegang keputusan ekonomi secara mutlak. Pada tahun 1975, kebijakan perekonomian barat berubah. Amerika mundur dan mengakui kekuasan komunis, dan merangkul komunis. Akibatnya goe-politik tidak penting lagi.
Pada tahun 1980 banyak negara maju mengalami krisis. Berbagai cara mereka tempuh guna memperbaiki perekonomian negaranya. Hal ini menjadi halangan bagi perekonomian Indonesia. Dalam menghadapi masalah ini Indonesia harus kembali ke ekonomi nasional, budaya lokal sebagai tumpuan rumusan perekonomian nasional.

Penutup
Pokok-pokok wawasan nusantara yang telah diuraikan di atas merupakan sebuah paradigma mengenai sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Sejarah ini tidak hanya berbicara fakta-fakta secara kronologis, melainkan lebih melihatnya secara integral. Dalam hal ini wawasan nusantara juga terkait dengan proses menjadi bangsa yang utuh sebagai suatu kesatuan. Persoala-persoalan yang terjadi dalam negara ini haruslah berada di pundak kita bersama. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh para pendahulu, dari yang buruk maupun yang baik, dapat digunakan sebagi pijakan untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. Tugas kita adalah mempertahankan keutuhan bangsa serta berusaha mengupayakan kebaikan bersama. Dari sini, diharapkan akan timbul rasa memiliki dan mencintai terhadap bangsa dan negara yang kita cintai ini. Ahkirnya, filsafat wawasan nusantara dapat menjadi sebuah refleksi kritis dan logis atas pemahaman sejarah Bangsa Indonesia, sehingga kita dapat bertindak dengan arif atas segala yang terjadi di dalam kehidupan bangsa ini.