the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 29 November 2010

REFLEKSI Misi Umat Vinsensian : “Jembatan Kasih dan Kegembiraan”

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah diperhatikan. Perhatian merupakan sentuhan halus dari perasaan terhadap orang lain yang didasari oleh cinta kasih. Perhatian merupakan penghangat jiwa, penghibur hati dan sekaligus tanda kepedulian. Oleh karenanya, perhatian sangat penting bagi manusia dan vital bagi kehidupan. Maka dari itu, merefleksikan pengalaman misi umat kali ini aku merenungkannya dalam makna perhatian ini. Bagiku perhatian ini kumaknai sebagai jembatan kasih dan kegembiraan. Jembatan yang menghubungkan antara diriku serta kehidupan umat, serta sebaliknya, antara umat dan hidupku.
Misi umat kali ini aku alami di jantung Indonesia, Jakarta. Sebuah kota yang bagi sebagian misonaris adalah hal baru dan menjanjikan pesona gemerlap dalam benak. Namun bagiku kota ini tak lagi asing. Sewaktu kecil ayah pernah mengajakku saat ia bertugas di sana. Memang itu sudah cukup lama, tapi bagiku itu sudah cukup untuk memberi gambaran tentang apa yang ada di Ibu Kota. Dan memang, misi umat kali ini bukan bertempat di jantung kota, seperti yang pernah aku datangi sepuluh tahun yang lalu. Misi umat kali ini bertempat di bagian pinggir utara ibu kota, Cilincing.
Gambaran awal tentang daerah tersebut banyak mengisahkan suasana kemiskinan, sangat kontras seperti yang pernah aku lihat dan alami sebelumnya. Hal ini membuatku termotivasi, karena aku sangat merindukan berada di tengah-tengah oarang yang berjuang mempertahankan hidup dari pinggiran gemerlapnya metropolitan. Dan mungkin inilah perutusan vinsensian kontemporer, dimana kita harus tetap mewartakan kasih Allah ditengah dunia yang semakin menjauh dariNya tetapi sebenarnya tetap haus akan kasihNya.
Aku bersama kedua rekan misionaris lainnya yang tergabung dalam tim lingkungan, Fr. Loren, Pr dan Sr. Lia, ALMA, berusaha hadir di tengah-tengah hidup umat dan berusaha menjadi teman mereka. Aku sendiri, dalam misi umat kali ini tidak membawa banyak peralatan dan perlengkapan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu membawa bayak barang. Yang paling kusiapkan kali ini adalah bagaimana aku membawa diriku di tengah-tengah umat, terlebih membawa hati dan membukanya lebar-lebar.
Kesan pertama ketika sampai di tempat misi adalah panas dan kumuh. Betapa tidak, keringat langsung mengucur deras saat keluar dari bus,-ditambah karena tidak mandi seharian di perjalanan. Nyamuk pun bergiliran tiada hentinya menikmati darahku. Saat berada di rumah umat, pandanganku terus tertuju pada berjubelnya rumah serta selokan air yang selalu tergenang air plus sampah-sampah terapung di atasnya. Sungguh pemandangan yang sangat berbeda seperti yang pernah aku ketahui tentang Jakarta. Hanya satu hal yang masih menyadarkan aku bahwa aku ini berada di Jakarta, yaitu logat loe-loe, gue-gue,-nya.
Selama bermisi di sana, aku dan timku praktis hanya melakukan dua kegiatan rutin, kunjungan umat dan pertemuan umat. Namun dalam dua kegiatan tersebut tersimpan dan tergali banyak hal tentang arti hidup ini. Saat kunjungan, yang bagiku adalah pengalaman paling mengesankan dan menyentuh hati, terdapat banyak pengalaman berharga yang dapat direnungkan. Kadang aku juga merasa bahwa apa yang tidak aku sengaja lakukan untuk orang lain, atau orang lain lakukan untuk aku, tanpa sengaja telah menjadi jembatan kasih bagi sesama dan juga bagi diriku sendiri.
Aku banyak belajar dari pengalaman umat saat kunjungan, yang menceritakan perjalanan hidupnya. Banyak kesaksian yang mereka sharingkan dan itu benar-benar aku rasakan sebagai rahmat. Sebagian besar umat di lingkungan ini memang termasuk ekonomi lemah. Di tengah kesulitan ekonomi serta rumitnya masalah keluarga, mereka tetap yakin akan kasih Allah dan penyelenggaraanNya. Kesaksian mereka benar-benar keluar dari pengalaman hidup konkret akan pergulatan iman dalam kehidupan sehari-hari. Aku memang banyak mendengarkan, membiarkan umat bercerita dan mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Inilah salah satu hal yang bagiku juga tidak mudah. Kadang ketika umat bercerita persoalan yang dihadapi, aku ingin segera membantu menyelesaikannya. Namun ketika itu kurenungkan kembali, hal demikian tidaklah semudah dan sesederhana seperti apa yang kubayangkan. Bagiku salah satu tindakan yang paling bernilai yang dapat aku lakukan untuk saling menyembuhkan adalah dengan mendengarkan kisah sesamaku satu sama lain. Kehadiranku di tengah-tengah mereka dengan membuka mata, telinga dan hati sudahlah cukup. Malah di sinilah kasih dan kegembiraan itu saling tersalurkan, bukan dengan problem solving yang memukau. Di sinilah jembatan kasih dan kegembiraan menjadi nyata.
Untuk menjadi jembatan kasih, modal utama yang bagiku perlu, dan aku renungkan selama misi umat kali ini, adalah kerendahan hati. Bagiku modal utama untuk bermisi, bukan pertama-tama soal kehebatan atau semangat untuk mempertontonkan hal-hal yang spektakuler untuk umat. Modal utama yang harus dimiliki ialah sikap rendah hati. Dengan rendah hati maka segala situasi, kondisi dan kenyatan umat tidak akan menjadi penghalang dalam perutusan misi. Kerap kali ketakutan yang kualami ialah soal apakah misi umat ini berhasil atau tidak. Dan kadang berhasil tidaknya misi umat ini hanya kulihat sebatas sisi lahiriah. Sikap rendah hati juga memampukan saya untuk tampil dengan apa adanya, tanpa memandang status, dan bahkan menjadikanku lebih “sederhana” baik dalam kata, pikiran dan tindak tanduk saya selama bermisi. Dari sini pulalah antara aku dengan umat dapat menjadi jembatan kasih dan kegembiraan. Perhatian sekecil apa pun bila itu dilakukan dengan hati yang tulus dan gembira akan saling memberikan kesegaran bagi jiwa dan memancarkan cinta Allah sendiri.
Akhirnya, kurenungkan kata-kata Santo Vinsensius: “Bila Allah melakukan karya besar melalui kita, janganlah menyombongkan diri maupun merasa berpuas diri; malah sebaliknya kita harus semakin merendahkan diri dan memandang diri sebagai alat hina yang diperkenankan dipergunakan oleh Tuhan”. Aku hanyalah sebagai jembatan yang mengantarkan Allah kepada sesama, dan sebaliknya.
Tuhan aku bersyukur atas kasihMu dalam setiap pengalaman hidupku. Mampukan aku untuk setia, dan biarlah kasihMu itu menjadi nyata bagi diriku dan sesamaku. Amin.

Tidak ada komentar: