the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 29 November 2010

REFLEKSI Misi Umat Vinsensian : “Jembatan Kasih dan Kegembiraan”

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah diperhatikan. Perhatian merupakan sentuhan halus dari perasaan terhadap orang lain yang didasari oleh cinta kasih. Perhatian merupakan penghangat jiwa, penghibur hati dan sekaligus tanda kepedulian. Oleh karenanya, perhatian sangat penting bagi manusia dan vital bagi kehidupan. Maka dari itu, merefleksikan pengalaman misi umat kali ini aku merenungkannya dalam makna perhatian ini. Bagiku perhatian ini kumaknai sebagai jembatan kasih dan kegembiraan. Jembatan yang menghubungkan antara diriku serta kehidupan umat, serta sebaliknya, antara umat dan hidupku.
Misi umat kali ini aku alami di jantung Indonesia, Jakarta. Sebuah kota yang bagi sebagian misonaris adalah hal baru dan menjanjikan pesona gemerlap dalam benak. Namun bagiku kota ini tak lagi asing. Sewaktu kecil ayah pernah mengajakku saat ia bertugas di sana. Memang itu sudah cukup lama, tapi bagiku itu sudah cukup untuk memberi gambaran tentang apa yang ada di Ibu Kota. Dan memang, misi umat kali ini bukan bertempat di jantung kota, seperti yang pernah aku datangi sepuluh tahun yang lalu. Misi umat kali ini bertempat di bagian pinggir utara ibu kota, Cilincing.
Gambaran awal tentang daerah tersebut banyak mengisahkan suasana kemiskinan, sangat kontras seperti yang pernah aku lihat dan alami sebelumnya. Hal ini membuatku termotivasi, karena aku sangat merindukan berada di tengah-tengah oarang yang berjuang mempertahankan hidup dari pinggiran gemerlapnya metropolitan. Dan mungkin inilah perutusan vinsensian kontemporer, dimana kita harus tetap mewartakan kasih Allah ditengah dunia yang semakin menjauh dariNya tetapi sebenarnya tetap haus akan kasihNya.
Aku bersama kedua rekan misionaris lainnya yang tergabung dalam tim lingkungan, Fr. Loren, Pr dan Sr. Lia, ALMA, berusaha hadir di tengah-tengah hidup umat dan berusaha menjadi teman mereka. Aku sendiri, dalam misi umat kali ini tidak membawa banyak peralatan dan perlengkapan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang selalu membawa bayak barang. Yang paling kusiapkan kali ini adalah bagaimana aku membawa diriku di tengah-tengah umat, terlebih membawa hati dan membukanya lebar-lebar.
Kesan pertama ketika sampai di tempat misi adalah panas dan kumuh. Betapa tidak, keringat langsung mengucur deras saat keluar dari bus,-ditambah karena tidak mandi seharian di perjalanan. Nyamuk pun bergiliran tiada hentinya menikmati darahku. Saat berada di rumah umat, pandanganku terus tertuju pada berjubelnya rumah serta selokan air yang selalu tergenang air plus sampah-sampah terapung di atasnya. Sungguh pemandangan yang sangat berbeda seperti yang pernah aku ketahui tentang Jakarta. Hanya satu hal yang masih menyadarkan aku bahwa aku ini berada di Jakarta, yaitu logat loe-loe, gue-gue,-nya.
Selama bermisi di sana, aku dan timku praktis hanya melakukan dua kegiatan rutin, kunjungan umat dan pertemuan umat. Namun dalam dua kegiatan tersebut tersimpan dan tergali banyak hal tentang arti hidup ini. Saat kunjungan, yang bagiku adalah pengalaman paling mengesankan dan menyentuh hati, terdapat banyak pengalaman berharga yang dapat direnungkan. Kadang aku juga merasa bahwa apa yang tidak aku sengaja lakukan untuk orang lain, atau orang lain lakukan untuk aku, tanpa sengaja telah menjadi jembatan kasih bagi sesama dan juga bagi diriku sendiri.
Aku banyak belajar dari pengalaman umat saat kunjungan, yang menceritakan perjalanan hidupnya. Banyak kesaksian yang mereka sharingkan dan itu benar-benar aku rasakan sebagai rahmat. Sebagian besar umat di lingkungan ini memang termasuk ekonomi lemah. Di tengah kesulitan ekonomi serta rumitnya masalah keluarga, mereka tetap yakin akan kasih Allah dan penyelenggaraanNya. Kesaksian mereka benar-benar keluar dari pengalaman hidup konkret akan pergulatan iman dalam kehidupan sehari-hari. Aku memang banyak mendengarkan, membiarkan umat bercerita dan mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Inilah salah satu hal yang bagiku juga tidak mudah. Kadang ketika umat bercerita persoalan yang dihadapi, aku ingin segera membantu menyelesaikannya. Namun ketika itu kurenungkan kembali, hal demikian tidaklah semudah dan sesederhana seperti apa yang kubayangkan. Bagiku salah satu tindakan yang paling bernilai yang dapat aku lakukan untuk saling menyembuhkan adalah dengan mendengarkan kisah sesamaku satu sama lain. Kehadiranku di tengah-tengah mereka dengan membuka mata, telinga dan hati sudahlah cukup. Malah di sinilah kasih dan kegembiraan itu saling tersalurkan, bukan dengan problem solving yang memukau. Di sinilah jembatan kasih dan kegembiraan menjadi nyata.
Untuk menjadi jembatan kasih, modal utama yang bagiku perlu, dan aku renungkan selama misi umat kali ini, adalah kerendahan hati. Bagiku modal utama untuk bermisi, bukan pertama-tama soal kehebatan atau semangat untuk mempertontonkan hal-hal yang spektakuler untuk umat. Modal utama yang harus dimiliki ialah sikap rendah hati. Dengan rendah hati maka segala situasi, kondisi dan kenyatan umat tidak akan menjadi penghalang dalam perutusan misi. Kerap kali ketakutan yang kualami ialah soal apakah misi umat ini berhasil atau tidak. Dan kadang berhasil tidaknya misi umat ini hanya kulihat sebatas sisi lahiriah. Sikap rendah hati juga memampukan saya untuk tampil dengan apa adanya, tanpa memandang status, dan bahkan menjadikanku lebih “sederhana” baik dalam kata, pikiran dan tindak tanduk saya selama bermisi. Dari sini pulalah antara aku dengan umat dapat menjadi jembatan kasih dan kegembiraan. Perhatian sekecil apa pun bila itu dilakukan dengan hati yang tulus dan gembira akan saling memberikan kesegaran bagi jiwa dan memancarkan cinta Allah sendiri.
Akhirnya, kurenungkan kata-kata Santo Vinsensius: “Bila Allah melakukan karya besar melalui kita, janganlah menyombongkan diri maupun merasa berpuas diri; malah sebaliknya kita harus semakin merendahkan diri dan memandang diri sebagai alat hina yang diperkenankan dipergunakan oleh Tuhan”. Aku hanyalah sebagai jembatan yang mengantarkan Allah kepada sesama, dan sebaliknya.
Tuhan aku bersyukur atas kasihMu dalam setiap pengalaman hidupku. Mampukan aku untuk setia, dan biarlah kasihMu itu menjadi nyata bagi diriku dan sesamaku. Amin.

Yesus dalam Islam

Yesus dalam Islam
(Sebuah Refleksi Intereligius tentang Yesus)


1. Pendahuluan
Salah satu pilar atau soko-guru doktrin Islam adalah percaya kepada semua nabi atau rasul yang datang sebelum Nabi Muhammad, serta semua kitab suci yang diterima oleh para nabi terdahulu. Oleh karena itu, kedudukan nabi-nabi sebelum Muhammad sangat penting dalam Islam. Sekurang-kurangnya ada lima nabi yang dianggap istimewa dalam Islam karena perjuangan mereka dalam menegakkan doktrin monoteisme atau tauhid, yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi Muhammad sendiri. Kelima nabi itu disebut sebagai "ulu 'l-azmi", artinya mereka yang memiliki keteguhan dalam membawa pesan profetik dan kerasulan[1].
Di antara empat nabi sebelum Muhammad, kedudukan Nabi Isa atau Yesus sangat menonjol dalam Islam, terutama dalam apa yang disebut sebagai tradisi kesalehan. Pandangan Islam mengenai Yesus tentu pertama-tama dibentuk melalui Qur'an dan tradisi kenabian (hadith). Dalam Qur'an terdapat banyak sekali ayat yang menggambarkan figur Yesus serta keajaiban (mu'jizat) yang Ia lakukan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Yesus, atau Nabi Isa dalam Quran, merupakan "tokoh sejarah" yang kelahiran dan kehidupanNya di dalam panggung sejarah telah menciptakan gelombang gerakan kemanusiaan yang luar biasa, dan pengaruhnya masih berlangsung hingga hari ini. Seorang tokoh teladan kemanusiaan dan sangat penting dalam tradisi Kristiani dan Islam. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa melalui tokoh inilah hubungan saling pengertian antara Kristen dan Islam bisa dibangun. Selain itu pembahasan mengenai Yesus, terlebih dalam perspektif Islam merupakan sebuah dialog yang tak akan pernah usai. Akan selalu ada penerimaan dan penolakan. Namun bukankah hal demikian yang dapat membuat iman itu semakin tumbuh dan kokoh?
Tulisan ini hendak memaparkan sebuah dialog intereligius, Islam dan Kristen, di mana Yesus menjadi tema sentralnya. Dalam alur pembahasannya, penulis akan mengawalinya dengan melihat tokoh Yesus (Isa) dalam Al-Quran. Setelah itu akan dipaparkan beberapa persoalan yang timbul dalam pemahaman tokoh Yesus ini. Berikutnya akan diberi sebuah refleksi mengenai metode pendekatannya berkaitan dengan pemahaman akan Yesus sepanjang jaman. Pada bagian akhir, tulisan ini menawarkan sebuah dialog yang sehat, di mana dalam dialog tersebut akan menunjukkan sikap toleran terhadap pemeluk agama dan iman kepercayaan lain, khususnya antara Islam dan Kristen.

2. Yesus Kristus dalam Al Qur’an
Nama diri Yesus dalam Al Quran ialah Isa. Nama Yesus berasal dari perkataan bahasa Syiria, Yeshu , dan dalam bahasa Arab menjadi Isa[2]. Di dalam Al Quran terdapat tiga surat yang berkaitan dengan Isa, yaitu: surat Al Imran, Al Maidah, dan Maryam. Nama Isa disebut sebanyak 35 kali, dan umumnya turun pada surat-surat Madaniyah. sedangkan sebutan tidak langsung namun berkaitan dengan Isa sebanyak 93 kali di dalam 15 surat[3]. Al Quran memberikan sejumlah gelar kehormatan kepada Isa lebih besar daripada kepada beberapa tokoh masa lampau lainnya. Isa memperoleh setidaknya tiga gelar utama, yaitu: nabi, al-Masih, dan Anak Maryam. Dia seorang nabi karena memiliki kuasa sehingga mampu mengadakan mukjizat sebagai tanda atas kenabiannya.
Di dalam bahasa Ibrani kata mashiah digunakan untuk mengacu pada seorang raja atau juru selamat yang dinanti-nantikan. Kata itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Kristos . Jadi, nama Isa al-Masih adalah identik dengan Yesus Kristus. Bisa juga kata al-masih dikaitkan dengan kata masaha dalam bahasa Arab, artinya membasuh atau menyentuh, yang secara simbolis-ritual dalam berwudlu, yaitu membasuh muka untuk mensucikan diri sebelum melakukan shalat[4].
Gelar lain terhadap Isa yang sering disebut di dalam Al-Quran ialah Anak Maryam (Isa Ibn Maryam). Kisah kelahiran Isa Ibn Maryam dijelaskan dua kali secara rinci dalam Al-Quran. Memang para malaikat memberi tahu Maryam akan kedatangan sebuah kalimah (perkataan atau logos) dari Tuhan yang bernama al-Masih. Hal ini dapat dilihat pada Q. 3:45: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”.
Anak Maryam dan ibuNya dikatakan telah dipilih sebagai tanda karena ia memberikan keterangan dan bukti-bukti tentang Tuhan. (Q. 2: 87, Q. 23:50, Q. 43:63). Anak Maryam digunakan sebagai perumpamaan melawan orang-orang musryik, karena ia datang dengan kebijaksanaan dan menunjukkan kesalehan kepada Tuhan (Q. 43: 57-63). Gelar Anak Maryam sedemikian menakjubkan sehingga para pakar tafsir modern pun banyak mendiskusikannya. Seorang pakar tafsir modern, Muhammad Ali, berpendapat bahwa gelar itu ditambahkan untuk menunjukkan bahwa Isa juga mengalami kematian seperti nabi-nabi Tuhan yang lain[5].

3. Persoalan pemahaman tentang Yesus
3.1. Gelar-gelar Yesus
Dalam Al-Quran, Yesus memiliki berbagai gelar, yaitu: Al-Masih, Kalimat Allah (Sabda Allah), dan Ruhullulah (Roh Allah). Dalam pemahaman umat Islam, gelar-gelar ini diberikan kepada Yesus sebagai ungkapan atas diri Yesus yang memiliki peran penting dalam hubungannya dengan Allah dan juga manusia.
Gelar Al-Masih bagi orang Kristen diyakini sebagai gelar manusia Yesus yang terurapi olah Roh Kudus untuk melaksanakan tugas perutusanNya menyelamatkan dunia. Namun, dalam pandangan serta keyakinan orang Islam, gelar Al-Masih ini hanya sebuah gelar biasa, tanpa memiliki makna teologis. Dalam Al-Quran gelar ini dapat diartikan sebagai “yang diberkati”.
Dalam Q 19, 31 dinyatakan: “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”. Dari sini dapat dilihat bahwa gelar ini menjadi sebuah ungkapan atas tugas perutusan Isa bagi manusia. Pada umumnya bagi umat Islam, gelar Al-Masih ini hendak menunjukkan bahwa Yesus bukan sekedar manusia biasa, melainkan manusia terhormat dan suci, tetapi bukan Allah.
Dalam kaitannya dengan gelar Kalimat Allah (Sabda Allah), dalam Q 3:45 dikatakan: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: ‘Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)’. Gelar Kalimat Allah ini bagi keyakinan umat Islam bukan mau menyatakan bahwa Yesus itu juga Allah. Namun, Kalimat Allah di sini mau menyatakan bahwa Yesus itu dijadikan tanpa campur tangan manusia laki-laki, Sabda Allah ini berarti Yesus diutus untuk menyampaikan Sabda Allah secara lengkap dan sempurna. Gelar inilah yang terkadang menimbulkan berbagai kontroversi, di mana sifat keilahian Yesus selalu diperdebatkan.
Gelar lain yang diberikan kepada Yesus adalah Ruhullulah. Gelar ini merupakan gelar yang eksistensial di mana hal ini menunjukkan identitasNya. Gelar ini menurut pandangan Islam merupakan suatu kesaksian bahwa Yesus lahir bukan dari kuasa manusia, tetapi berkat kuasa Ruh Allah ( Q 19:17, “maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna).

3.2. Ketuhanan Yesus
Islam menolak bahwa Yesus adalah sekaligus Tuhan Allah. Hal ini juga terkait dengan problem Trinitas yang kerap kali tak menemui ujungnya bila diperdebatkan dengan saudar-saudari umat muslim. Selain itu problem ketuhanan Yesus ini juga terkait dengan peran Yesus sebagai penyelamat.
Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tak ada seorang pun yang setara dengan Dia (Q 112:3). Menyatukan sesuatu dengan Allah adalah dosa shirk dan tak terampuni. Allah adalah esa dan tak terbagi, maka bila menolak keesaan Allah adalah kafir, mushirk. Oleh karena itu ajaran Islam menolak untuk menyapa Yesus sebagai Tuhan Allah. Dengan demikian misteri Allah Tritunggal tetap tidak mendapat tempat bagi umat Islam.
Yesus ditolak sebagai Tuhan Allah berarti misi Yesus sebagai juru selamat dunia juga turut ditolak. Hal ini terkait dengan ajaran Islam yang menolak ide tentang dosa asal. Meskipun menolak dosa asal, mereka dalam Al-Quran mengakui bahwa semua manusia berasal dari keturunan Adam dan Hawa (Q 2: 30-33). Memang Adam dan Hawa berbuat dosa, tetapi mereka telah mohon ampun. Oleh karena itu dosa asal tidak ada. Maka penolakan atas dosa asal ini juga menolak sifat keselamatan universal yang dibawa oleh Yesus. Yesus bukan Tuhan, dan Yesus tidak berkuasa atas pengampunan dosa manusia.

4. Problem Pendekatan dan Usaha Rekonsiliasi
Geoffrey Parrindar dalam bukunya Yesus Dalam Quran menunjukkan bahwa Yesus merupakan salah satu dari sekian nabi yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dan terhormat dalam Islam[6]. Sayangnya, apresiasi umat Islam terhadap tokoh ini relatif kurang.
Barangkali secara psikologis hal ini disebabkan oleh imbas warisan sejarah (salah satunya Perang Salib) antara umat Islam dan Kristiani, sehingga persepsi umat Islam tentang Yesus Kristus terkena polusi politis-historis. Yesus lalu dipersepsikan dan diasosiasikan oleh umat Islam sebagai figur yang ikut berperan secara tidak langsung dalam konflik yang berkepanjangan antara umat Islam dan Kristen yang telah "terbaratkan" itu.
Kita sering lupa bahwa semua nabi adalah bersaudara dan mereka membawa misi tauhid. Apalagi di dalam rukun iman umat Islam diwajibkan untuk beriman kepada kitab suci dan nabi-nabi sebelum Islam. Tentu idealnya ungkapan iman tersebut bukan sekadar ungkapan verbal saja tetapi harus dilakukan dengan mengkaji secara lebih luas kitab-kitab suci sebelum Islam (termasuk Injil). Upaya mengkaji yang lebih luas terhadap kitab-kitab suci merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh.
Memang sulit dielakkan, membicarakan tokoh sejarah, terlebih lagi seorang pembawa ajaran agama seperti halnya Yesus, selalu terikat oleh pandangan subyektif. Seseorang sulit ntuk membebaskan diri dari penafsiran dan pemihakan emosional yang dipengaruhi oleh pikiran metodologis dan keyakinan imannya. Bagi seorang Kristen, figur Yesus atau Isa al-Masih bukanlah sekedar tokoh dan pelaku sejarah, melainkan Ia adalah Putera Allah yang hidup, Ia adalah Allah yang hidup. Kodrat keilahian ada dalam diri manusia Yesus. Namun bagi orang Muslim, Isa al-Masih hanyalah seorang nabi yang memiliki relasi yang intim baik dengan Allah dan juga manusia.
Salah satu problem alam membahas Yesus adalah menyangkut pemilihan sumber yang akan dirujuk. Dalam hal ini terdapat tiga sumber: Al-Quran, Alkitab (Injil), serta buku-buku sejarah yang memiliki kekhasan masing-masing dalam gaya bertuturnya. Dari sini, relasi antara sumber-sumber ini tentu akan melahirkan pluralitas pemahaman atas diri Yesus. Menyadari adannya perbedaan penafsiran dan iman atas Yesus, secara khusus antara umat Islam dan Kristen, selayaknya masing-masing pihak tak perlu tersinggung dan terganggu imannya bila figur Yesus ini dipahami dan diperlakukan secara berbeda. Hal ini bisa terjadi sejauh masing-masing dari iman keyakinan itu tidak memaksakan pendapatnya terhadap pihak lain.
Bagi umat yang ingin memahami Yesus dalam Al-Quran, pengetahuan mengenai Injil adalah esensial. Yesus tidak sekadar figur masa lalu, yang hanya bermakna dalam lingkungan tradisi Yudea-Kristen, tetapi lebih dari itu, sebuah universalitas muncul dalam Injil sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Quran. Al Quran menyebut Yesus sebagai "sebuah tanda bagi alam semesta" (Q. 21:91) dan Dia diutus "untuk Kami jadikan tanda bagi manusia" (Q. 19:21)[7].
Upaya mengkaji yang lebih luas terhadap kitab-kitab suci merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh. Biarlah lebih banyak lagi umat Kristiani yang membaca Al Quran dan lebih banyak lagi kaum Muslim yang mempelajari Injil, sehingga pemahaman dan rekonsiliasi lebih berkembang.

5. Membangun sebuah Dialog yang Sehat
Pemahaman manusia mengenai Tuhan, selain merupakan dorongan naluriah atau karena potentia obidentialis yang ada dalam diri manusia, adalah bentukan sejarah. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud Karen Amstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan”. Menurutnya, pemahaman dan pemikiran manusia tentang Tuhan, sejak jaman dahulu hingga sekarang, telah menimbulkan banyak implikasi sosial. Penelusuran secara historis pemikiran manusia tentang Tuhan ini, jika diapresiasi dengan baik niscaya akan membawa pada sikap hidup terbuka terhadap berbagai pemahaman. Hal ini pada gilirannya akan bermuara pada penerimaan hidup di tengah pluralisme. Oleh karena itu dialog tentang ketuhanan atau keagamaan akan tetap memiliki rujukan atau referensi hostoris.
Sejalan dengan hal itu, pemahaman serta penerimaan manusia tentang kehadiran Yesus di dunia merupakan sebuah pergumulan panjang yang tak akan pernah habis dan terbatas oleh historisitas melulu. Ada unsur adikodrati yang tak dapat dijangkau oleh rasionalitas manusia. terlepas dari perdebatan teologis mengenai Isa Al-Masih atau Yesus Kristus, apakah Dia seorang “tokoh sejarah. “nabi”, ataukah “inkarnasi Tuhan”, yang pasti kehadiran Yesus di dunia telah menciptakan sebuah gelombang kemanusiaan yang luar biasa besar dan getaran atau pengaruhnya masih terasa hingga saat ini.
Hans Kung mengatakan; “No peace among the nations, without peace among religions. No peace among religions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without investigation the fundation of the religions”. Dari sini dapat dikatakan bahwa dialog antar agama yang sehat dapat membawa kita pada sebuah kedamaian. Dalam dialog orang akan menerima dan diterima. Untuk bisa melakukan dialog sevara dewasa dan sehat diperlukan kesabaran, kesetiaan, serta kematangan iman pribadi.Dialog dapat terjadi hanya ketika kita bisa duduk sejajar dalam tataran sebagai manusia. Dialog ini terjadi dari hati ke hati, dan todak memakasakan sesuatu kepada orang lain. Inilah sebuah dialog imani yang sehat.
Yesus merupakan tokoh sejarah sekaligus tokoh iman yang memberikan pengaruh bagi kemanusiaan. kehadiranNya di dunia bagi para pengikutNya merupakan sebuah rahmat Allah tersendiri. Namun terkadang hal ini juga tidak mendapat penerimaan yang serupa, malahan terkadang menimbulkan polemik. Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang terbatas untuk memahami misteri Allah. Namun ketika dihadapkan pada suatu keyakinan lain, iman kita dituntut untuk setia dan senantiasa berdialog dengan rendah hati. Akhirnya, ketika segalanya dapat dikomunikasikan, maka perbedaan bukanlah suatu yang memecah belah, melainkan menyatukan diri untuk kembali kepada hadiratNya.





Daftar Pustaka

· Arifin, Syamsul danTobroni, 1984, Islam: Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: Sipress.
· Departemen Agama Republik Indonesia, 1990, Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota Surabaya.
· Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed.), 1998, Passing Over, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
· Parrindar, Geoffrey, 2000, Yesus Dalam Quran, Jakarta: Bintang Cemerlang.
· Wahid, Abdurahman,1981, Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional.
· Wakid, Muhammad, 1983, Israiliyah pada Kisah Nabi Isa, Solo: Mutiarasolo.

[1] Tobroni dan Syamsul Arifin, “Islam: Pluralisme Budaya dan Politik”, Yogyakarta: Sipress, 1984, hal. 67.
[2] Geoffrey Parrindar, “Yesus Dalam Quran”, Jakarta: Bintang Cemerlang, 2000,hal. 26.
[3] Ibid. Hal. 27.
[4] Abdurahman Wahid, “Muslim di Tengah Pergumulan”, Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1981, hal. 36.
[5] Bdk. Muhammad Wakid, “ Israiliyah pada Kisah Nabi Isa”, Solo: Mutiarasolo, 1983, hal. 67.
[6] Op. Cit. Geoffrey Parrindar, hal. 114.

[7] Op. Cit. Geoffrey Parrindar, hal. 119.

Pendidikan Naturalisme Emilian

Pendidikan Naturalisme Emilian
(Transformasi Pendidikan menurut perspektif J.J. Roussaeu)

“Everything is good as it leaves the hands of the Author of things;everything degenerates in the hands of man” (J.J. Roussaeu)


Pendahuluan
Pendidikan bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan. Dengan menguasai ilmu pengetahuan secara sistematis, rasional dan bersifat ilmiah, manusia dituntut untuk meninggalkan segala sumber pengetahuan manusia di masa lalu seperti mitos dan tradisi yang tidak rasional dan takhayul. Dengan kata lain hakikat dari pendidikan adalah menjadikan manusia kembali kepada kodrat asalinya, dan menjadi lebih manusiawi.
Namun apa yang terjadi saat ini, terlebih di Indonesia? Pendidikan tidak lagi murni menjadikan manusia lebih bahagia, melainkan sebaliknya. Pendidikan yang tadinya bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan dan mencapai budi pekerti yang baik, kini mulai berbelok ke arah yang pragmatis sekaligus materialistis. Praktik inilah yang telah lama menyusup ke dalam ruang-ruang kelas, catatan-catatan pelajaran, buku-buku praktikum yang wajib dibaca, hingga menjangkit ke pola pikir anak didik yang memandang fungsi kegiatan pendidikan bukan lagi sebagai tindakan yang edukatif, tetapi terkapitalisasi untuk sekedar mencari uang dan menjadi robot-robot pekerja yang baik.
Hal yang sama sebenarnya telah dilihat oleh pemikir sekaligus pendidik aliran romantisme, Jean Jacques Roussaeu. Pada bagian pembuka bukunya yang berjudul “Emile ou L’Education” dikatakan: “Everything is good as it leaves the hands of the Author of things;everything degenerates in the hands of man”. Ia melihat bahwa manusia pada awal mulanya adalah baik, namun kemudian dibusukkan oleh kebudayaan. Salah satu elemen kebudayaan yang bertanggungjawab atas korupsi moral manusia adalah pendidikan. Oleh karena itu pendidikan harus ditransformasikan[1].
Tulisan ini hendak mengetengahkan pemikiran J.J. Rousseau mengenai filsafat pendidikannya serta relevansinya bagi pendidikan di Indonesia. Di awal akan dipaparkan terlebih dahulu latar belakang kegelisahan Rousseau mengenai kebusukan masyarakat. Keadaan semacam inilah yang akan menghantarnya pada gagasan “state of nature” dan turut serta membentuk konsep filsafat pendidikannya. Pembahasan berikutnya akan masuk pada filsafat pendidikan Rousseau yang menekankan naturalisme, seperti yang termuat dalam buku Emile, ou L’Education. Pada bagian akhir tulisan ini, akan dipaparkan beberapa kritik atau evaluasi dari pemikiran Rousseau ini terkait dengan gagasan pendidikan, serta relevansi singkat bagi pendidikan Indonesia dewasa ini.

Dari “State of Nature” ke ”Back to Nature”
Pemikiran Rousseau harus kita lihat dalam konteks yang terjadi saat itu. Kala itu sekitar abad ke-18, Perancis dikenal sebagai puncak peradaban dunia Barat. Rasionalisme, ilmu pengetahuan dan teknik sangat menguasai kehidupan manusia. Pada masa itu kaum fisiokrat, ensiklopedis, dan rasionalis sangat optimis bahwa masa depan manusia dapat menjadi lebih baik bila diraih dengan kemajuan ilmiah rasional.. Kemajuan ilmu pengetahuan diyakini dapat mengakibatkan kemajuan di bidang moral dan kebudayaan pula[2].
Optimisme semacam ini oleh Rousseau, sebagai salah seorang tokoh gerakan romantisme, ditentang secara tegas. Di balik segala kemajuan tersebut ternyata banyak terjadi ketimpangan dalam masyarakat yang membusukkan manusia itu sendiri. Rousseau menulis dalam bukunya yang berjudul “The Social Contract”: ‘Man is born free, and every where he is in chains. One things himself the master of others, and still remains a greater slave than they’[3]. Menurutnya, manusia terlahir dengan bebas, tetapi dimana-mana ia terbelenggu, yang satu menganggap dirinya tuan bagi yang lain, tetapi ternyata ia juga menjadi budak, bahkan lebih dari yang lain. Keadaan ketidakbebasan manusia ini semakin diperburuk oleh perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang telah diyakini dapat menjadikan manusia lebih baik ternyata malah membusukkan manusia itu sendiri.
Rousseau juga berpendapat bahwa dasar dari manusia adalah tubuh, dan tubuh hanyalah sebagai perhiasan atau pelengkap. Pikiran-pikiran tersebut hanya termanifestasi dalam kebudayaan melalui seni, sastra, dam ilmu. Pikiran-pikiran itu timbul saat manusia merenung atau ‘melamun’ tentang dirinya, dan pada waktu itulah lahir kejahatan-kejahatan yang direncanakan manusia melalui pikiran-pikirannya. Budi Hardiman (2004) dalam bukunya mengatakan bahwa astronomi lahir dari takhyul; geometri dari ketamakan, fisika dari kemalasan; seni debat dari ambisi; dan etika dari kesombongan. Hal ini mau mengetengahkan kritik Rousseau bahwa kemajuan teknis dan ilmu pengetahuan mengakibatkan kemerosotan moral.
Dari sini Rousseau kemudian melihat keadaan awali manusia. Ia beranggapan bahwa keadaan asali itu baik dan membahagiakan. Manusia dalam keadaan awali memenuhi kebutuhannya dengan naluri, kehendak dan bukan dengan rasio. Ia juga mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah ini manusia bertindak berdasarkan “cinta diri”[4] dan rasa belas kasih pada sesamanya. Hal ini merupakan naluri-naluri dasar yang tertanam secara alamiah dalam diri manusia. Dengan kata lain “cinta diri” ini bukan sesuatu yang destruktif, berkat bimbingan kehendak dan pengaruh belas kasih, “cinta diri” ini menghasilkan rasa perikemanusiaan dan keutamaan. Namun semuanya itu kini telah hilang akibat munculnya masyarakat serta kebudayaan yang ada di dalamnya.
Alasan Rousseau menggagas uraian mengenai keadaan alamiah (state of nature) manusia ialah karena ia melihat manusia telah kehilangan kebebasan keaslian dirinya. Menurut Rousseau manusia kehilangan keluguannya saat ia membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Masyarakat telah menyebabkan manusia terasing dari dirinya sendiri. Ia tak dapat lagi hidup tanpa kecenderungan-kecenderungan alamiahnya sendiri, melainkan harus hidup menurut hukum dan peraturan yang dibuat oleh penguasa. Dengan kata lain manusia telah menjadi budak oleh dirinya sendiri dan manusia lainnya. Karena begitu percaya bahwa keadaan alamiah manusia itu baik, maka Rousseau mempunyai kesadaran yang terungkap dalam semangat “back to nature”.
Keadaan bebas di sini oleh Rousseau dilihat sebagai kebebasan kodrati manusia. Kebebasan kodrati ini ingin mengatakan bahwa tidak ada otoritas dari luar diri yang mengatur dan mendeterminasi seseorang. Hal ini berarti menunjukkan bahwa tidak ada orang yang memiliki otoritas alamiah terhadap sesamanya. Memang, manusia tidak lagi bisa kembali kepada “state of nature” karena keadaan sudah menjadi buruk. Yang bisa dilakukan adalah menata kembali tatanan masyarakat agar menjadi lebih baik. Maka di sini muncul gagasan Rousseau yang terkenal, Social Contract. Agar dasar dari semua otoritas dalam hidup bersama menjadi sah dan dapat diterima oleh semua, maka otoritas itu diperoleh melalui konvensi atau kontrak di antara individu.

Pendidikan Emilian: Sebuah Transformasi Pendidikan
Seperti telah disinggung di atas bahwa menurut Rousseau kodrat manusia adalah baik, tetapi kemudian dirusak oleh kebudayaan, termasuk pendidikan. Mengapa demikian? Sebab menurut Rousseau, manusia itu pada dasarnya mempunyai sifat ”cinta diri”, dan sifat ini sesuai dengan tatanan alam, maka baik adanya. Dengan asumsi ini, lalu Rousseau menyarankan agar dalam pendidikan, naluri-naluri alamiah dan rasa ”cinta diri” seorang anak sebagai manusia itu harus dibiarkan berkembang bebas dan bukannya dibendung. Dengan demikian, kesimpulan Rousseau, segala disiplin dan bentuk pendidikan yang bersifat otoritatif hanya akan menghambat perkembangan pengaktualisasian anak secara alamiah yang pada kodratnya adalah baik.
Cita-cita pendidikan Rousseau dapat kita jumpai dalam bukunya ”Emile, ou L’Education”. Buku ini memenangkan sayembara karya tulis yang diselenggarakan oleh Akademi Dijon, di mana dalam sayembara tersebut dimunculkan sebuah pertanyaan dasar: Apakah kebudayaan dan ilmu pengetahuan membuat manusia lebih baik? Dan, secara tegas dalam tulisannya itu Rousseau menjawab bahwa kebudayaan dan ilmu pengetahuan tidak membuat manusia menjadi lebih baik, malahan menjadikan manusia menjadi busuk. Hal ini menimbulkan beberapa protes dari pemerintah, hinga ia dikejar-kejar dan bukunya dibakar. Namun, di luar itu semua Rousseau benar-benar membongkar keyakinan abad pencerahan bahwa kebudayan dan ilmu pengetahuan, termasuk pendidikan, membuat masyarakat menjadi hancur. Buku ini sangat bermuatan filsafat pendidikan meskipun berbentuk seperti novel, dan ini menjadi pijakan penting bagi gagasan pendidikan modern berikutnya.
Rousseau melihat bahwa pendidikan pada jamannya sangat bersifat otoritatif. Peserta didik harus tunduk dan patuh terhadap guru. Maka yang didapatkan dari pendidikan formal di sekolah adalah hanya penyeragaman tingkah laku dan informasi[5]. Peserta didik tidak mendapat kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat alaminya. Dari sinilah ia melihat perlunya sebuah asas pendidikan yang utama, yaitu asas kebebasan.
Menurutnya, hanya alamlah yang memerintah dan memimpin. Jadi di sini ia melihat bahwa tugas pendidik hanya terbatas pada menghilangkan pengaruh-pengarauh jahat dari luar yang sekiranya dapat merusak alam anak sendiri. Oleh karenanya Rousseau tidak mengenal adanya alat-alat pendidikan seperti, perintah; larangan; ganjaran dan hukuman[6]. Dalam hal ini yang ada hanyalah hukuman dari alam, artinya yang memberikan hukuman itu sebenarnya adalah akibat perbuatannya sendiri.
Buku ”Emile, ou L’Education” sendiri sebenarnya bercerita sekaligus memberikan uraian mengenai pendidikan. Di dalamnya dikisahkan seoarang anak laki-laki fiktif yang diberi nama Emile. Anak ini adalah seorang yatim piatu dan dididik oleh seorang pendidik yang baik. Buku ini terdiri dari lima buku[7]. Pada tiap-tiap babnya ia mengisahkan pendidikan Emile secara per tahap usia. Pembagian tahap pendidikan inilah yang kemudian menjadi gagasan filsafat pendidikannya. Buku pertama berisi pengantar dan pendidikan Emile sampai berumur 2 tahun; buku ketiga berisi pendidikan Emile dari usia 2 sampai 12 tahun; buku ketiga berisi pendidikan Emile dari 12 sampai 15 tahun; buku keempat menceritakan pendidikan Emile usia 15-20 tahun; dan buku terakhir mengisahkan pendidikan Sophie, calon isteri Emile.
Buku itu diawali sebuah kalimat yang telah disinggung di atas dan juga seperti terdapat dalam awal tulisan ini, “Everything is good as it leaves the hands of the Author of things; everything degenerates in the hands of man”. Titik awal bagi Rousseau adalah pendapatnya yang beranggapan bahwa manusia itu baik sejak lahir. Ia yakin bahwa para pendidik yang utama adalah alam, manusia, dan benda-benda. Semuanya itu harus melindungi manusia agar sifat-sifat awali manusia itu tetap baik. Kodrat yang baik ini harus dilindungi dari pengaruh-pengaruh buruk masyarakat, sehingga pendidikan ini disebut sebagai pendidikan negatif[8].
Faktor utama dalam pendidikan, menurut Rousseau, adalah alam. Yang dimaksud dengan alam oleh Rousseau adalah watak atau pembawaan anak itu sendiri. Selain itu, alam dimaksudkan pula dengan kemungkinan-kemungkinan pendidikan yang ada pada anak. Frederick Mayer (A History of Modern Philosophy, 1951) mengatakan bahwa insting alamiah (natural instincts) seorang anak harus dikembangkan. Orang tua juga harus berani melepas anaknya sendirian agar ia belajar dari pengalamnnya sendiri. Rousseau melihat pentingnya pengalaman personal dari anak didik, yang dalam bukunya itu diwakili oleh Emile. Ia mengatakan: “If the child delicate and sensitive, if by nature he begins to cry for nothing, I let him cry in vain and soon check his tears at their source. So long as he cries, I will not go near him, I come at once when he leaves off crying. He will sonn be quiet when he wants to call me, or rather he will utter a single cry. Children learn the meaning of sign by their effects; they have no other meaning for them. However much a child hurts himself when he is alone, he rarely cries, unless he expects to be heard”[9]. Dari sini dapat dilihat bahwa pengetahuan harus dimiliki melaui jalan pengalaman. Dalam hal ini Rousseau menghendaki pula belajar menahan sakit dan duka cita.
Ia juga mengemukakan mengenai pendidikan agama. Baginya, yang harus dipercayai adalah bukan Tuhan yang diajarkan oleh agama-agama atau kekuasaan Gereja, melainkan segala sesuatu yang diakui kebenaran dan kebaikan oleh akal budi manusia. Sehingga penuntun terbaik bagi kehidupan susila ialah kata hati, yang disebutnya sebagai Insting Ketuhanan[10].
Dalam ”Emile, ou L’Education” ini, dapat dilihat bahwa Rousseau membuat sebuah transformasi pendidikan yang komprehensif dan koheren. Melalui gaya berceritanya, ia mampu menjangkau banyak orang secara lebih mudah. Usaha transformasi pendidikan ini ingin menggambarkan sebuah sistem pendidikan sesuai dengan apa yang dilihatnya sebagai alam (nature). Hal ini menekankan keutuhan dan harmoni, serta kepedulian terhadap anak didik. Ide awalnya dapat kita lihat sebelumnya bahwa ia ingin agar keaslian sifat manusia sejak lahir itu tetap dilestarikan. Pendidikan otoritatif tidak lagi sesuai dengan state of nature. Rousseau menyarankan agar dalam pendidikan, naluri-naluri alamiah dan rasa cinta-diri seorang anak sebagai manusia itu harus dibiarkan berkembang. Dari sini dapat dilihat tujuan pendidikan Rousseau adalah membentuk manusia yang bebas dan merdeka, serta berguna bagi negara. Sifat dari pendidikannya adalah individualistis, artinya anak didik harus dijauhkan dari pengaruh jahat masyarakat. Inilah salah satu jalan untuk dapat kembali ke alam.

Matinya Pendidikan
Pendidikan yang ada sekarang, terlebih di Indonesia, adalah bentuk-bentuk pendidikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga itu sekedar menarik minat masyarakat untuk dijadikan sebagai pilihannya, tanpa mengetahui isinya serta perubahan apa yang terjadi di dalamnya. Sejarah pendidikan Indonesia menampilkan sebuah kebusukan sistem yang paling meresahkan. Di bawah rezim Orde Baru, kita tahu bahwa pencatatan dan penulisan sejarah bangsa harus menurut interpretasi penguasa. Dengan kata lain pendidikan sejarah Indonesia merupakan monopoli pemerintah. Maka sejarah bangsa yang ditulis adalah sejarah yang dipelintir, direkayasa dan dipalsu. Inilah salah satu wajah kebusukan dari sebuah masyarakat, yang juga menjadi kegelisahan Rouseau waktu itu.
Manusia akan rusak bila kebebasannya dipengaruhi oleh otoritas di luar dirinya. Demikian juga pendidikan. Pendidikan akan mati bila kebaikan hanya terpusat dan berasal dari sang penguasa otoriter sebagai pengontrol laku pendidikan dalam keseharian. Hal demikian akan mengakibatkan kemerosotan moral, dan bila individu mencoba menggugatnya maka seakan-akan hal tersebut malah terkesan menjadi kemunduran. Apa yang hendak ditegaskan adalah bahwa individu telah kehilangan akses terhadap apa yang diinginkannya, semua hanya terpaku pada sistem yang ada (sebagi contoh adalah pelaksanaan kurikulum).
Hal semacam ini dapat membuat pendidikan menjadi tumpul. Ketumpulan ini bisa kita lihat dari kecenderungan institusi atau penyelenggara pendidikan di Indonesia saat ini yang beberapa tahun terakhir gencar memproduksi lulusan yang link and match dengan pasar dunia kerja[11]. Akibatnya banyak pelajar lulusan sekolah menengah kini tengah mengimpi-impikan dapat di fakultas favorit, jenjang kuliah yang singkat, dan setelah lulus langsung mudah mendapatkan pekerjaan. Langkah ini sekilas memang terlihat strategis, mengingat Indonesia hari ini masih dibebani dengan persoalan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Namun apakah hal ini benar membawa anak sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya? Ataukah hal ini malah menunjukkan keterbudakan manusia oleh pendidikan?
Ketumpulan fungsi pendidikan ini kelak akan berujung pada matinya pendidikan, sebab era globalisasi ini membuat kita lupa bahwa sekolah dibangun untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan sekedar untuk mempermudah manusia mendapatkan gelar, pekerjaan, jabatan di perusahaan atau pun bergaji besar, atau malahan membuat manusia menjadi budak dari sistem yang ada. Maka tak heran pula bahwa biaya yang dibutuhkan seseorang untuk mengenyam pendidikan, tak bisa dibilang murah. Inilah kegelisahan yang dapat dirasakan saat ini, yang juga sejalan dengan apa yang dialami oleh Rousseau pada waktu itu.

Rehumanisasi Pendidikan
Gagasan Rousseau mengenai pendidikan di atas memang tidak dapat dilihat secara terpisah dari jaman ia hidup. Oleh karena itu, bila dilihat secara lebih cermat, gagasan Rousseau ini juga menimbulkan beberapa polemik bagi kita saat ini. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa ajarannya mengenai pendidikan keagamaan. Di atas telah disinggung bahwa kita hanya boleh percaya pada kebenaran dan kebaikan yang diperoleh melalui akal budi, dan juga insting Ketuhanan, dengan kata lain tidak percaya kepada wahyu Tuhan. Gagasan ini secara langsung dapat kita lihat sangat berlawanan dengan paham keagamaan terlebih di jaman sekarang. Selain itu, sistem pendidikannya terlampau bersifat individualistis. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sifat individualistis ini juga mengangap bahwa pendidikan keluarga tidak penting.
Hal lain yang dapat dikritisi adalah, bagaimanapun juga gagasan Rousseau ini mengandaikan lingkungan yang ideal. Pengaruh negatif dari orang tua dan guru harus dihapus, karena akan mengakibatkan anak-anak tidak dapat berkembang secara natural. Di satu sisi, anak-anak akan lebih mudah menampakkan pengaruh dari teman-teman bermainnya serta dampak dari kebudayaan di mana ia tinggal. Salah satu bahaya dalam sistem pendidikan Rosseau ini adalah bahwa pendidikan negatif tersebut akan berhasil secara utuh dan guru akan melepaskan fungsinya, dan hanya bertindak seperti seorang wasit. Dari sini hal yang tak dapat dielakkan adalah kekacauan dan nihilisme moral[12].
Namun kiranya, meskipun meninggalkan berbagai pertanyaan dan persoalan, gagasan Rousseau itu juga sangat relevan untuk konteks pendidikan Indonesia saat ini. Hari ini lebih dari dua ratus tahun kemudian setelah Rousseau, dikhawatirkan cara mendidik anak-anak bangsa ini dikembalikan lagi kepada konsep kuno "menjinakkan" anak. Dapat dilihat saat ini berapa banyak waktu anak-anak bermain selama satu hari? Berapa sering mereka mengasah kepekaan atas segala hal, pengetahuan, kebaikan, tanggung jawab belas kasih dan tenggang rasa? Di lain pihak kita sering mendengar anak-anak stres dengan pekerjaan rumah dari sekolah mereka, atau karena orang tua yang berkeinginan memberikan berbagai macam les yang ternyata tidak sesuai dengan minat anak dan ditolak mentah-mentah oleh sang anak. Tak jarang pula ditemui pribadi anak-anak pintar tapi egois, dermawan tapi ingin dipuji, memiliki IQ tinggi tapi tidak mengerti sopan santun, dan masih banyak lagi kasus yang menunjukkan ketimpangan dalam pendidikan.
Pendidikan, meskipun mempunyai multi makna dalam berbagai konteks, secara khas merupakan kegiatan manusiawi. Dengan kata lain, kegiatan mendidik hanyalah berlaku ketika dilakukan oleh manusia. Ini juga yang membedakan manusia dari binatang. Sebagai kegiatan manusiawi, maka pendidikan juga memampukan manusia untuk melihat dan membuka diri terhadap dunia. Hal ini mau mengatakan bahwa pendidikan yang membuat manusia menjadi tidak bebas harus dihapuskan, dan dikembalikan kepada “state of nature”-nya, artinya dikembalikan menjadi lebih manusiawi.
Pendidikan diharapkan dapat mengembalikan dan menjadikan manusia yang semula baik menjadi lebih baik. Hal ini akan mungkin terjadi bila di dalam prosesnya terdapat pengangkatan individu di atas kodrat alam dan dunia materia di atas determinismenya[13]. Dengan kata lain ialah bahwa pendidikan harus benar-benar memunculkan watak dan bakat yang dimiliki oleh seorang manusia, bukan melulu dipaksa atau dijejali berbagai informasi dan pengetahuan. Dari sinilah kebebasan pendidikan berkembang dan menjadikan manusia menjadi lebih baik dan lebih manusiawi.




Daftar Pustaka

· Djumhur, I. dan H. Danasuparta, 1959, Sejarah Pendidikan, Bandung: Penerbit CV Ilmu.
· Hardiman, F. Budi, 2007, Filsafat modern dari Machiavelli sampai Nietze, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
· Mayer, Frederick, 1951, A History of Modern Philosophy, United State of America: American Book Company.
· Rousseau, Jean-Jacques, 1979, Emile, ou L’Education, London: Basic Book.
· Rousseau, Jean-Jacques, 1993, The Social Contract in The Social Contract and Discourse, London: David Campbell Publisher Ltd.
· Sudiarja, A., (Koord.), 2008, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta: PT. Kompas Gramedia Nusantara.
· Tjahjadi, Simon Petrus L., 2004, Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan para Filsuf dari Jaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius.


[1] F. Budi Hardiman ; Filsafat modern dari Machiavelli sampai Nietz; PT. Gramedia pustaka utama; Jakarta; 2007, hlm.120
[2] Ibid. Hal. 113.
[3] Jean-Jacques Rousseau, “The Social Contract” in The Social Contract and Discourse, London: David Campbell Publisher Ltd. 1993, hal. 181.
.
[4] “Cinta diri” di sini bukan dalam pengertian negatif, “cinta diri” ini merupakan perasaan alamiah untuk mempertahankan diri secara spontan.
[5] Frederick Mayer, “A History of Modern Philosophy, United State of America: American Book Company, 1951, hal. 270.
[6] Simon Petrus L. Tjahjadi, “Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan para Filsuf dari Jaman Yunani hingga Zaman Modern”, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 261.
[7] Deskripsi mengenai buku ini dapat dilihat pada: I. Djumhur dan H. Danasuparta, “Sejarah Pendidikan”, Bandung: Penerbit CV Ilmu, 1959, hal. 57-64.
[8] Pendidikan negatif di sini diartikan sebagai pendidikan yang bertujuan melindungi hati dari kebiasaan jahat dan menjaga pikiran dari kesalahan.
[9] Jean Jacques Rousseau, “Emile, ou L’Education”, London: Basic Book, 1979, hal. 60.
[10] Ibid. Hal. 301.
[11] Link dan Match ini dimaksudkan dengan jenjang waktu pendidikan yang singkat, diharapkan para lulusannya bisa memiliki skill praktis dan dengan mudah diserap pasar tenaga kerja.
[12] Frederick Mayer, Op.Cit. Hal. 271.
[13] A. Sudiarja, (Koord.), “Karya Lengkap Driyarkara”, Jakarta: PT. Kompas Gramedia Nusantara, PT. Gramedia Pustaka Utama; Yogyakarta: Penerbit-Percetakan Kanisius, Ordo SJ Indonesia, hal. 276.