the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

Dies Domini

Dies Domini

“Menguduskan Hari Tuhan”

Oleh: Ditia Prabowo (07.09042.000022)

Pendahuluan

Hari Minggu bagi umat Kristiani merupakan hari Tuhan, hari yang kudus. Hari ini mengingatkan kita akan awal mula penciptaan, dimana pada hari terakhir Allah beristirahat dan melihat semua ciptaanNya baik adanya. Allah pun memberkati dan menguduskan hari itu. Lebih dari itu hari Minggu kita rayakan sebagai pengenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus.

Dalam Surat Apostoliknya, Dies Domini, Paus Yohanes Paulus II memberi pesan kepada seluruh anggota tubuh Gereja Katolik tentang menguduskan Hari Tuhan ini. Pesan ini berisikan mengenai ajakan untuk menemukan lagi kesucian hari Minggu sebagai hari Tuhan sesuai dengan perintah ketiga dari sepuluh Perintah Allah. Paus juga menyatakan bahwa bukanlah sia-sia dan bukan membuang waktu apabila menyisihkan waktu satu hari dalam seminggu untuk Tuhan. Itulah waktu kemanusiaan kita, waktu yang memenuhi hari-hari kita dengan sinar terang dan iman.

Tulisan ini hendak mengetengahkan secara garis besar isi dari Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Dies Domini, tentang menguduskan hari Tuhan. Apa yang dimaksud dengan hari Tuhan? Mengapa kita harus merayakan hari Tuhan?, Dan, bagaimana kita seharusnya sebagai umat Kristiani menguduskan sekaligus menghayati hari Tuhan ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menuntun kita masuk lebih dalam untuk lebih memahami pesan Bapa Suci kepada seluruh umatnya.

Dies Domini

Pada awal tulisannya Paus Yohanes Paulus II ingin mengajak para Uskup, Imam, serta semua umat beriman untuk melihat hakekat Hari Minggu. Hal ini perlu disampaikan di awal karena mengingat bahwa hari Minggu, hari Tuhan, telah menjadi kekhasan dalam sejarah Gereja sejak zaman Rasuli. Hari Minggu ini dilihat dalam hubungannya dengan pengenangan misteri Kebangkitan Kristus. Dengan kata lain bahwa Paskahlah yang terulang minggu demi minggu. Kita mengenangkan dengan gembira misteri penyelamatan umat manusia, yang diawali dengan sengsara Kristus, wafatNya di salib, hingga pada kebangkitanNya yang mulia. Kebangkitan Yesus ini merupakan peristiwa mendasar yang melandasi iman Kristiani (bdk. 1Kor 15:14). Peristiwa ini merupakan suatu hal yang menakjubkan, dan misteri kebangkitan ini berada pada jantung misteri waktu sendiri. Dengan pengenangan misteri Paskah ini, Gereja berusaha menunjukkan poros sejarah yang sejati, yaitu: misteri asal mula dunia hingga tujuan terakhir manusia.

Dalam merayakan hari Minggu sebagai Hari Tuhan, secara khusus sebagai pengenangan misteri Kebangkitan, harus dilihat pula relevansi apa yang dapat diperoleh darinya. Konsili Vatikan II pun menegaskan dan menyatakan pentingnya relevansi dasar hari Minggu. Sejak tradisi para Rasul hingga sekarang, hari Minggu ini mengajak kita semua untuk menemukan ulang intensitas yang baru dari makna yang terkandung di dalamnya. Pada jaman ini, kiranya lebih mudah bagi negara-negara Kristen tradisonal untuk selalu merayakan hari Minggu. Dalam dunia kerja masyarakat saat ini, terutama masyarakat sipil, hari Minggu pun tetap dianggap sebagai bagian yang tetap dalam acara kerja. Lebih-lebih dalam masa ini, marak istilah “weekend“, dan dalam pelaksanaanya sering digunakan untuk beristirahat dan bersenang-senang bersama keluarga. Hal ini merupakan fenomena budaya dan sosial, dan tidak salah. Yang perlu dilihat adalah bahwa hari Minggu ini tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan untuk beristirahat secara fisik, tetapi juga untuk sebuah perayaan yang dekat dengan kemanusiaan kita. Sayangnya, kita cenderung melihat hari Minggu ini hanya sebagai bagian dalam “akhir pekan“.

Dari sini kita diajak untuk memahami secara lebih mendalam apa yang dimaksud dengan hari Minggu. kita diajak untuk menggali ulang dasar-dasar ajaran yang mendalam. Untuk itu kita perlu pula berpijak pada tradisi Rasuli, tradisi Gereja kuno. Dan, akhirnya kita dituntun untuk menuju pada sebuah penghayatan bahwa Hari Minggu adalah jantung dalam hidup Kristiani. Seruan Paus Yohanes, “Jangan takut! Bukalah pintu lebar-lebar bagi Kristus!“, merupakan ajakan untuk senantiasa meluangkan waktu untuk Kristus, supaya Ia selalu memancarkan cahaya pada kita dan memberi arah kepadaNya.

Setelah dibuka pandangan kita akan hakekat hari Minggu di atas, maka dalam bab-bab berikutnya akan disajikan beberapa hal yang berkaitan dengan hakekat hari Minggu itu sendiri. Hal ini membantu kita untuk lebih memahami apa, mengapa, dan bagaimana hari Tuhan itu.

1. Hari Tuhan: Merayakan Karya Sang Pencipta

Dalam bab yang pertama ini, hari Minggu dilihat sebagai Hari Tuhan, dimana kita mengenangkan serta merayakan karya Sang Pencipta. Seperti tertulis dalam Yoh 1:3 “Melalui Dia segala sesuatu dijadikan“, kita disadarkan akan sejarah Penciptaan yang Maha Agung. Dialah sumber dari segala sesuatu. Memang pada hakekatnya, hari Minggu adalah pengenangan misteri Paskah, yang sutuhnya disinari oleh kemuliaan Kristus yang bangkit. Meskipun demikian, bila kita melihat serta memahami secara lebih mendalam, aspek ini bukan menjadi bagian terpisahkan dari halaman-halaman awal Kitab Suci. Sebaliknya, misteri Kebangkitan ini merupakan aspek tak terceraikan dalam karya Agung Penciptaan, yang tertuang dalam Kitab Kejadian. Dalam peristiwa ini, disampaikan kepada kita tentang rencana Allah yang Maha Besar dalam penciptaan dunia. Dengan demikian misteri Kebangkitan merupakan sebuah “penciptaan baru“, dimana semua manusia lahir kembali dalam diri Yesus yang bangkit.

Kisah Penciptaan merupakan sejarah asal mula bumi dan segala isinya, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej 1:1). Selama enam hari Allah membentuk bumi dan mengisinya dengan segala rencana indahNya, maka semuanya itu dilihat baik adanya. Dalam hal ini ditampilkan suatu perasaan yang dimiliki oleh Allah terhadap ciptaanNya, serta sebaliknya, terdapat suatu citarasa sembah sujud terhadap Yang Maha Esa oleh ciptaan. Kisah penciptaan ini merupakan awal mula dari segala sesuatu, yang padanya Allah memiliki rencana besar bagi seluruh ciptaanNya. Dalam perjanjian baru, hal ini ditekankan kembali secara jelas oleh Yohanes: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan“ (Yoh 1:3). Paulus menekankan hal yang sama: “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan...; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia“ (Kol 1:16). Dalam kisah penciptaan awal mula, bumi dan segala isinya ber-ada dari ketiadaan. Hingga pada kedatangan PuteraNya, yang menjadi penggenapan semua ciptaan, Ia menjadikan kita sebagai ciptaan baru. Kehadiran aktif Putera dalam karya penciptaan baru ini, oleh Allah diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Paskah ini.

Dalam ensiklik tersebut dikatakan bahwa fajar penciptaan rencana Allah mencakup “misi kosmis“ Kistus. Melalui berbagai cara “karya Allah itu teladan bagi manusia, yang dipanggil tidak hanya menghuni kosmos, tetapi membangunnya juga. Dengan kata lain, manusia adalah rekan kerja Allah dalam membangun Kerajaan Allah di dunia ini. Selama masa penciptaan, dalam hari yang ke tujuh Allah beristirahat dan memberkati semua ciptaanNya. Setiap selesai menciptakan sebuah ciptaan, Allah selalu melihat semuanya itu baik (Kej 1:10,12,dll). Dalam konteks permenungan dalam ensiklik ini, bahwa dunia itu baik adalah sejauh tetap terikat pada asalmulanya, dan sesudah dilecehkan akibat dosa, itu dijadikan baik lagi, bila berkat bantuan rahmat, itu kembali pada Yang Maha Esa, yang menciptakannya. Inilah yang dinamakan

Bagian pertama kitab Kejadian, dikisahkan betapa agung karya Allah. Namun di sini kita tidak hanya diajak untuk melihat Allah yang bekerja. Setelah selesai bekerja Allah menyediakan waktu untuk beristirahat dan memberkati ciptaanNya. Istirahat Allah pada hari ketujuh bukan berarti menunjuk pada Allah yang tidak aktif, melainkan menekankan kepenuhan akan segala sesuatu yang telah diselesaikanNya. Dari sini lahirlah Shabbat, yang nantinya akan menjadi ciri khas dalam Perjanjian Lama dan mendapat kepenuhannya dalam Perjanjian Baru. Dengan penggambaran antropomorfosis karya Allah ini, Kitab Suci tidak hanya melihat suatu hubungan yang misterius antara Allah dan ciptaanNya, tetapi juga menyinggung soal tugas dan kewajiban manusia menyangkut kosmos. Dapat dikatakan pula, dalam rencana Sang Pencipta, terdapat sebuah pembedaan maupun ikatan yang erat antara tata ciptaan dan tata penyelamatan.

Dalam konteks merayakan dan merenungkan karya Sang Pencipta, hari sabat merupakan hari yang penting. Hal ini dapat dilihat dalam latar belakang Perjanjian Lama, di mana perturan Sabat disiapkan untuk hari Minggu Perjanjian baru dan kekal, berakar dalam kedalaman rencana Allah. Berbeda dengan peratuaran lain yang tidak hanya menempatkan hari Sabat dalam konteks ibadat melulu. Hal ini hendak menunjukkan bahwa Sabat bukan hanya dilihat dari segi tata tertib jemaat religius, tetapi menjadi sebuah ungkapan yang tetap dan tidak dapat dihapus bagi hubungan kita dengan Allah, yang dimaklumkan dan diuraikan dalam pewahyuan Kitab Suci. Dari sini kita dapat melihat bahwa sangat perlu bagi umat Kristiani untuk menemukan ulang peraturan tersebut pada jaman sekarang. Oleh karena itu dibutuhkan iman yang dalam sehingga memungkinkan kita menggali makna yang lebih mendalam.

Seperti tertulis dalam Kitab Kejadian, Allah pada hari ketujuh beristirahat, memberkati hari itu dan menguduskannya (Kej 2:3). Oleh karena itu pertama-tama hari Minggu ialah hari istirahat, karena hari itu diberkati dan dikduskan oleh Allah. Dikuduskan berarti disendirikan dengan yang lain agar hari ini khusus menjadi hari Tuhan. Paus Yohanes Paulus II dalam permenungannya akan hari Tuhan, yang tertuang dalam ensiklik Dies Domini, menyatakan bahwa pertama-tama Hari Minggu adalah hari Tuhan.

Setiap hidup manusiawi harus menjadi pujian dan syukur terima kasih kepada Sang Pencipta. Selain itu hubungan manusia dengan Allah juga meminta saat-saat doa yang eksplisit. Artinya, harus tercipta sebuah dialog yang intensif dalam suatu waktu yang melibatkan tiap dimensi pribadi. Dengan demikian hari Tuhan menjadi sesuatu yang istimewa. Hal ini dapat diumpamakan sebagai pengalaman kedua mempelai wanita. Allah mewahyukan Diri sebagai mempelai pria menghadapi mempelai wanita. Inilah hari istirahat, hari dimana manusia diajak untuk menerima dan memiliki sikap pembaruan dan lepas bebas. Setelah kita bekerja selama enam hari berturut-turut, maka hari ini menjadi hari selingan dan kita kembalikan semuanya kepada Allah, Sumber segala yang ada.

Dalam sepuluh perintah Allah, terdapat sebuah hukum yang menyatakan untuk menguduskan hari Sabat. Hal ini merupakan sebuah seruan untuk membangkitkankan peringatan akan karya Allah yang agung dan mendasar, yakni penciptaan. Kenangan ini harus diilhami oleh semua ciptaan dalam hidup keagamaannya. Kenangan akan penciptaan ini juga harus menyangkut saat dimana manusia dipanggil untuk beristirahat. Umat beriman dipanggil untuk beristirahat, lebih-lebih beristirahat dalam Allah, yang juga menjadi tujuan seluruh ciptaan. Pokok perumusan perintah Allah di atas bukan semata-mata hanya sebagai selingan kerja, lebih dari itu, hukum ini menyimpan di baliknya perayaan mujijat-mujijat yang telah dilaksanakan Allah.

Hari Sabat menjadi suatu yang penting. Dalam hubungannya dengan misteri kosmis Kristus, hal ini mengandung makna baru bahwa Kristuslah sebagai awal yang baru. Oleh karena itu, jemaat Kristiani berikutnya menjadikan hari pertama sesudah Sabat sebagai hari raya. Inilah pengenangan hari Paskah, yaitu pewahyuan penuh misteri asal mula dunia, puncak sejarah keselamatan dan antisipasi pemenuhan dunia pada zaman terkhir. Semua rangkaian rencana Allah itu mencapai kepenuhannya dalam Wafat serta Kebangkitan Kristus, meskipun secara definitif baru akan terjadi saat parousia. Dengan demikian permenungan kita akan hari Tuhan ini menuju pada Kristus sendiri. Dari hari Sabbat kepada hari pertama sesudah Sabat, dari hari ketujuh kepada hari pertama: Dies Domini, menjadi hari Kristus (Dies Christi).

2. Hari Tuhan: Hari Tuhan yang Bangkit dan Kurnia Roh Kudus

Setelah melihat hari Tuhan dalam hubungannya dengan karya penciptaan, pembahasan kali ini akan menekankan misteri Tuhan yang bangkit dan bagaimana kurnia Roh Kudus itu diterima. Pada awal tulisannya di bab dua ini, Paus Yohanes Paulus II meminjam perkataan Paus Innonsius I: “Kita merayakan hari Minggu karena kebangkitan mulia Tuhan kita Yesus Kristus, dan kita rayakannya tidak hanya pada Hari Raya Paskah, tetapi juga pada setiap kali mulai hari Minggu“. Dari sini dapat kita lihat apa yang dirayakan dalam hari Minggu. Hari Minggu disejajarkan dengan Hari Raya Paskah, yaitu mengenangkan kebangkitan Yesus yang mulia. Pengenangan dan perayaan kebangkitan Kristus tidak hanya dirayakan ketika Hari Raya Paskah, tetapi setiap hari Minggu. Hal ini menunjukkan suatu hubungan yang erat antara Hari Minggu dan hari Kebangkitan Tuhan. Hari Tuhan pada dasarnya berakar pada karya penciptaan, termasuk misteri “istirahat“ Allah. Namun untuk mengerti sepenuhnya Hari Tuhan, Kebangkitan Kristus perlu kita pandang sebagai suatu yang utama. Dengan demikian dapat dilihat peran hari Minggu sebagai penuntun umat beriman dalam merenungkan dan menghayati misteri Paskah, sumber sejati bagi penyelamatan dunia.

Sejak jaman Para Rasul telah terbentuk suatu komunio yang membentuk irama hidup sebagai para murid Kristus. Mereka berkumpul pada hari pertama sesudah sabat, hari pertama minggu, untuk berdoa dan memecah roti. Inilah yang menjadi ciri khas umat Kristiani, sekaligus membedakannya dari dunia di sekitar mereka. Namun pada masa Kristiani awali, umat sukar sekali melaksanakan Hari Tuhan pada hari yang tetap dalam setiap minggu. Hal ini menjelaskan mengapa umat beriman harus berkumpul sebelum matahari terbit, dan hal ini telah menjadi norma yang berlaku, yang didasarkan pada Perjanjian Baru dan terikat pada pewahyuan Perjanjian Lama.

Berbeda dengan hari sabat Yahudi, hari Minggu dalam Kristen memiliki keunggulan. Dalam Sabat umat Yahudi, umat diharuskan berkumpul di sinagoga dan beristirahat menurut hukum yang berlaku. Beberapa umat melaksanakan sabat, sementara merayakan hari Minggu juga. Namun beberapa saat kemudian, dua hari itu telah dibedakan secara jelas. Ada sebuah reaksi, terutama terhadap tetap bertahannya umat Kristiani, yang awalnya adalah Yahudi, mereka cenderung mempertahankan hukum lama. St. Ignasius dari Antiokia menegaskan hal ini, yaitu kita memiliki harapan yang baru, tidak lagi mematuhi hari Sabat, tetapi menguduskan hari Tuhan. Hal ini ditunjukkan dalam diri Yesus beserta wafatNya. Misteri inilah yang kita terima dalam iman kita. St. Agustinus pun mengemukakan hal yang senada. Menurutnya Tuhan telah menaruh materai pada hariNya, hari ketiga sesudah sengsaraNya. Ia juga menambahkan bahwa hari sesudah hari ketujuh adalah hari istirahat, sebagaimana terungkap dalam gagasan Gereja. Hal ini membuat hari Tuhan condong menjadi lebih serupa dengan hari Sabat.

Gagasan Kristiani secara spontan mengaitkan Kebangkitan, yang terdapat dalam hari pertama minggu, dengan hari pertama kisah penciptaan atau minggu kosmis. Dari sini dapat dilihat kaitannya, yaitu bahwa kebangkitan itu sebagai awal penciptaan baru, yaitu dalam Kristus Yesus. Hari Minggu dalam hal ini mengungguli hari-hari lain, dan memanggil umat Kristiani untuk mengenangkan keselamatan yang dianugerahkan kepada mereka dalam baptis, dan memperbaharuinya dalam Krsitus. Liturgy menggarisbawahi dimensi pembaptisan itu pada hari Minggu, baik dalam permohonan baptis maupun pada Sabtu malam Paskah. Dari pembaptisan inilah seluruh hidup Kristiani lahir.

Pandangan Kristosentris ini menyinarkan cahaya atas perlambangan lain, yang telah direnungkan dan dikenakan pada hari Tuhan. Dalam praktek pastoralnya, Gereja diharapkan dapat menjelaskan hari Minggu sebagai hari Sang Surya. Hal ini dilakukan untuk menghindari ritus-ritus penyembahan dewa matahari dan mengarahkan perayaan hanya pada Kristus “Sang Surya” sejati bagi manusia. Tema hari Minggu ini disinari oleh kejayaan Kristus yang bangkit terdapat juga dalam liturgi ibadat harian. Hal ini ditekankan saat malam menjelang esok hari (vigilia), terlebih dalam mempersiapkan hari Minggu.

Berkaitan dengan hari Minggu sebagai hari Cahaya, dapat pula disebut sebagai hari Api, yang mengacu pada Roh Kudus. Terang Kristus berhubungan erat dengan “api“ Roh, dan hal ini menampakkan hari Minggu Kristiani. Untuk melihat dan memahami hal ini, perlu diingat akan penampakan Yesus pada saat Paskah: “Terimalah Roh Kudus“ (Yoh 20:22-23). Pencurahan Roh adalah anugerah agung Tuhan yang bangkit kepada para muridNya saat Minggu Paskah. Dari sini dapat kita lihat bahwa Paskah Mingguan dalam arti tertentu menjadi Pentakosta Mingguan. Hal ini terwujud apabila umat Kristiani menghidupkan perjumpaan para Rasul yang penuh gembira akan Tuhan yang bangkit, serta menerima RohNya yang memberi hidup.

Selain itu, hari Minggu juga nampak sebagai hari iman yang paling luhur. Berkat kekuatan Roh Kudus, penampakan Tuhan yang bangkit diperbaharui dalam “hari ini“. Hari Minggu sebagai hari iman ditekankan oleh kenyataan bahwa liturgi Ekaristi hari Minggu mencakup Syahadat para Rasul. Syahadat ini menyatakan ciri pembaptisan dan Paskah.

Bila melihat uraian hari Tuhan sebagai pengenangan Tuhan yang bangkit dan kurnia Roh Kudus, maka jelaslah bahwa hari ini sungguh diperlukan. Jati diri hari Tuhan ini perlu dilindungi dan terlebih perlu dihayati dalam segala keadaannya. Hari Tuhan telah menstrukturkan sejarah Gereja selama lebih dari dua ribu tahun, yaitu bagaimana relevansi hari ini dapat bergema dalam jaman ini dan akan terus bertahan selamanya? Hal yang perlu diperhatikan sekarang adalah penekanan akan menunaikan kewajiban menguduskan hari Minggu. Berkaitan dengan itu Gereja merasa terpanggil untuk berkomitmen terhadap katekese dan pastoral yang baru, sehingga dalam perjalanan penghayatannya, kita akan selalu merasakan pencurahan rahmat yang begitu kaya dalam perayaan hari Tuhan. Inilah alasan mengapa hari ini merupakan hari yang sungguh diperlukan.

3. Hari Gereja: Jemaat Ekaristi: Jantung Ekaristi

Setelah merenungkan “Dies Domini“, dalam hubungannya dengan hari Tuhan, bab yang ke tiga ini akan menguraikan bagaimana hari ini dipahami sebagai hari Gereja. Dalam pembukaan bab yang ketiga ini, dipaparkan mengenai pengenangan kehadiran Kristus yang bangkit. Janji Kristus yang mengatakan bahwa Ia akan menyertai kita sampai akhir jaman harus terus berkumandang dalam hidup Gereja. Sebagai hari kebangkitan, Hari Minggu tidak hanya sebuah pengenangan akan peristiwa masa lalu yang silam. Hari ini merupakan perayaan kehadiran hidup Tuhan yang bangkit di tengah hidup umat sehari-hari.

Umat Kristiani yang telah menerima rahmat baptis tidak diselamatkan seorang diri saja. Selaku anggota tubuh mistik Kristus, kita disatukan sebagai umat Allah yang satu. Inilah pentingnya Gereja berkumpul untuk mengungkapkan jati diri Gereja secara penuh. Sebagai “ekklesia, umat dipanggil dalam kesatuan dengan kebangkitan Kristus, untuk mengorbankan diri bersamaNya. Umat beriman telahmenjadi satu dalam Kristus berkat karunia Roh. Kesatuan ini nampak ketika seluruh umat berhimpun dari berbagai suku; bangsa; dan bahasa, mengungkapkan iman dan memberi kesaksian kepada dunia bahwa mereka adalah umat yang ditebus. Inilah warisan turun-temurun yang menjadi citra Kristiani pertama sejak jaman Para Rasul.

Selain pengungkapan iman yang khas dan infentif, Ekaristi adalah santapan dan sekaligus membentuk Gereja. Hubungan yang vital ini, dalam sakramen Tubuh dan Darah Kristus, misteri Gereja dinikmati;diwartakan dan dihayati secara penuh dalam Ekaristi. Inilah dimensi intrinsik Gerewi, yang terwujud dalam perayaan Ekaristi: mengenangkan Kebangkitan Kristus dalam sebuah persekutuan. Oleh karena itu perayaan hari Minggu pada hari Tuhan dan Ekaristinya terletak pada jantung hidup Gereja. Pada hari Minggu umat Kristiani menghayati ulang pengalaman para Rasul pada malam Paskah. Dalam arti tertentu Umat Allah di segala jaman hadir dalam komunitas inti para Rasul. Melalui kesaksian mereka, semua orang mendengarkan sabda Yesus dan percaya padaNya.

Di sini juga ditunjukkan bahwa Ekaristi pada hari Minggu tidak berbeda dengan Ekaristi yang dirayakan pada hari-hari lain. Pemahaman ini juga hendakmengatakan bahwa Ekaristi hari Minggu ini tidak terceraikan dari hidup liturgis dan sacramental secara keseluruhan. Pada hakekatnya, Ekaristi adalah penampakan Gereja. Dengan kata lain, Gereja Nampak istimewa ketika seluruh umat ikut serta secara penuh dan aktif dalam perayaan Liturgi yang sama, dalam Ekaristi, bersama imam dan pelayan lainnya. Dari sini dapat dilihat bahwa Ekaristi juga mengandung sifat gerejawi, sehingga tak ada pembedaan antara Ekaristi Minggu dan hari-hari lainnya.

Pemahaman di atas dengan demikian menempatkan hari Tuhan (Dies Domini) sekaligus sebagai hari Gereja (dies Eklesiae). Oleh karena itu perlulah bagi Gereja untuk menekankan sekali lagi tentang aspek jemaat perayaan hari Minggu. Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan hal ini: “Tiada apa pun begitu vital, atau membentuk, seperti perayaan hari Minggu pada hari Tuhan beserta EkaristiNya“. Berkaitan dengan ha ini maka perlu ada koordinasi dengan gereja di paroki guna memupuk citarasa jemaat Gereja dalam perayaan hari Minggu. Jemaat hari Minggu adalah locus bagi sacramentum unitatis (sakramen kesatuan), yang menandai bahwa umat adalah sebuah kesatuan dalam persekutuan Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Dalam hal ini, gereja secara nyata nampak dan menonjol dalam keluarga. Merekalah gereja kecil. Dalam keluarga, orang tua wajib mengajari anak-anak mereka untuk ikut serta dalam perayaan Misa hari Minggu. Selain itu, dewasa ini banyak ditemui kelompok-kelompok atau serikat-serikat religius berada di tengah-tengah Gereja paroki. Sehubungan dengan hal itu maka dalam ensiklik ini ditegaskan bahwa Misa untuk kelompok-kelompok ini tidak diajurkan. Hal ini dimaksudkan agar kesatuan umat Gereja dijamin dan dimajukan sepenuhnya.

Gereja berada dalam dunia, oleh karena itu ia juga bergerak dalam ruang dan waktu dunia. Saat kita mengenangkan kebangkitan Kristus, kita juga teringat akan identitas kita sebagai umat peziarah sekaligus sifat eskatologis umat Allah. Kerinduan akan kedatangan Kristus terletak dalam misteri Gereja sendiri. Hal ini menjadikan hari Minggu hari Gereja yang menampilkan secara lebih jelas jati dirinya sebagai “Mempelai Wanita“, serta menantikan datangnya Yerusalem surgawi. Inilah letak peziarahan Gereja, sambil menantikan kedatanganNya umat merayakan dan mengenangkan misteri penyelamatan ini di dunia. Dengan demikian, hari Minggu tidak saja dimengerti sebagai hari iman, tetapi juga hari Harapan. Oleh karena itu doa umat beriman tidak hanya menanggapi kebutuhan umat sendiri, tetapi juga kebutuhan seluruh umat manusia di dunia ini. Dari sinilah Gereja semakin jelas menampakkan jati dirinya, yaitu sebagai sakramen kesatuan, tanda dan sarana persatuan yang mesra dengan Allah dan seluruh umat manusia.

Di dalam Ekaristi, Tuhan yang bangkit hadir secara nyata dalam Santapan rangkap, yatitu santapan Sabda dan Santapan Roti Hidup. Dalam santapan Sabda kita merenungkan sejarah keselamatan umat manusia, khususnya mengenangkan misteri Paskah Kristus. Tuhan hadir secara nyata dalam santapan Sabda ini. Melalui santapan Roti Hidup, Tubuh dan darah Kristus disambut dengan mengenangkan sengsara dan kebangkitanNya. Konsili Vatikan II menegaskan pula akan pantingnya Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi sebagai satu kesatuan. Dalam hal ini perlu dilihat pula bahwa pengetahua umat akan Kitab Suci semakin berkembang. Untuk melihat hal itu ada dua aspek yang perlu ditinjau, aspek perayaan dan penerapan secara pribadi.

Pertama, dari segi perayaan, Sabda yang diwartakan harus dapat membangkitkan dalam diri umat sebuah tanggung jawab akan sabda dan keikutsertaannya dalam perayaannya. Kedua, dari segi penerapan secara pribadi, hal ini dimaksudkan agar umat mempersiapkan diri masing-masing untuk menerima sabda itu. Persiapan itu sangat perlu bagi semua umat terlebih bagi para tenaga pastoral. Semua aspek itu penting bagi pewartaan Sabda itu sendiri, sehingga pada akhirnya pewartaan Sabda Allah itu menghasilkan buah yang melimpah dalam hidup kita sehari-hari. Sehubungan dengan itu perlu pula sebuah pertobatan terus menerus, baik sebelum maupun sesudah merayakanNya. Oleh karena itu Jemaat hari Minggu mengajak kita semua untuk menyanggupi pembaruan janji-janji baptis, yang secara implisit nampak dalam Syahadat iman.

Santapan Tubuh Kristus dalam Ekaristi dirayakan sebagai peristiwa yang Agung, penuh kegembiraan, dan syukur atas kebangkitanNya. Hal ini dilakukan karena Allah telah turun melalui PuteraNya, dan merendahkan diri sebagai hamba, hingga mati di Salib (Bdk. Flp 2:8). Oleh karena itu, Misa sebenarnya sungguh menghadirkan korban salib. Korban ini telah menyatukan seluruh kurban Gereja. Dari sini kita bisa melihat ciri khas kejemaatan Kristiani, yaitu saat merayakan perjamuan Paskah, dimana Kristus menjadi santapannya. Perayaan ini tidak hanya milik pribadi dan dirayakan perorangan, tatapi dirayakan dalam komunio yang berlandaskan iman dan cintakasih akan Yesus Kristus.

Saat menerima santapan Roti Hidup, umat beriman diharapkan juga memiliki kesiapsediaan untuk mewartakan Sang Roti Hidup ini di dalam hidup sehari-hari. Dengan kata lain, perayaan Ekaristi tidak hanya berhenti di dalam gedung gereja saja, melainkan harus terus diwartakan dalam hidup sehari-hari. Melalui Ekaristi, jemaat juga diajak untuk menyiarkan Injil dan memberi kesaksian di tengah-tengah dunia. Inilah yang dinamakan dari Misa ke Misi, di dalam ekaristi termuat pula misi kita untuk mewartakan InjilNya.

Sehubungan dengan hal ini, Ekaristi dapat dilihat sebagai jantung Gereja. Sejak abad pertama para Gembala Gereja telah menyerukan betapa perlunya umat untuk mengikuti Liturgi Ekaristi ini. Kita juga perlu melihat kisah para martir yang rela mengurbankan diri demi mempertahankan kekudusan hari Tuhan ini. Mereka telah mati demi perayaan suci Perjamuan Tuhan. Oleh karena itu Gereja perlu menyatakan secara jelas kewajiban mengikuti Misa Hari Minggu. Hal senada juga berlaku bagi para imam. Ekaristi harus menjadi bagian dari hidup mereka. Artinya, para imam wajib merayakan ekaristi. Kecuali bila ada halangan atau permintaan lain, dan sudah meminta ijin kepada Uskup, mereka diperbolehkan mengadakan misa lebih dari sekali pada hari Minggu. Para imam berkewajibkan membimbing umatnya untuk ikut serta dalam merayakan Ekaristi pada hari Minggu.

Perlu ada sebuah persiapan dalam merayakan Ekaristi hari Minggu ini. untuk hal ini perlulah memberi perhatian kepada lagu-lagu yang dinyayikan oleh umat. Bernyanyi adalah cara khas untuk mengungkapkan hati yang gembira, sekaligus tetap menjaga sisi perayaan tata Liturgisnya. Selain itu, dalam perayaan ekaristi juga perlu dipersiapkan tata liturgis yang diikuti oleh seluruh umat. Jadi dalam Ekaristi tidak hanya imam yang mempersembahkan Kurban, melainkan semua umat yang hadir dalam persembahan diri mereka. Melalui baptisan yang telah diterima, umat menerima pula imamat umum. Imamat umum ini memampukan jemaat untuk bersatu mempersembahkan diri dan mewartakan Dia dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu, di tempat yang sama, ensiklik ini menekankan sekali lagi akan pentingnya menghayati Ekaristi dalam hidup sehari-hari. Namun yang perlu diingat adalah kewajiban hari Minggu tidak hanya terbatas pada perayaan Ekaristi di gereja. Dalam hidup berkeluarga, dalam relasi sosial kita, hendaknya dapat memancarkan kegembiraan akan Tuhan yang telah Bangkit

Salah satu persoalan yang dihadapi dalam merayakan hari Tuhan ini adalah tidak adanya imam yang melayani. Hal ini bisa terjadi dalam sebuah paroki muda, dimana hanya ada satu imam yang melayani. Gereja juga menyadari bahwa panggilan imamat mengalami penurunan. Tanpa imam, perayaan Ekaristi tidak dapat dirayakan. Melihat persoalan ini, tidak begitu saja dengan mudah meniadakan perayaan ini. mengutip Kitab Hukum Kanonik, dalam ensiklik ini Gereja tetap menganjurkan supaya jemaat pada Hari Minggu berkumpul untuk berdoa tanpa imam untuk menerima rahmat Tuhan.

Sehubungan dengan penjelasan di atas, hal terakhir yang ingin diketengahkan dalam bab ini adalah mengenai peran media Radio dan Televisi dalam perayaan Ekaristi. Hal ini berkaitan dengan umat beriman yang sakit, terlebih yang cacat atau karena alasan serius lainnya, yang terhalangi untuk merayakan Ekaristi. Dalam hal ini Gereja mengijinkan untuk memenuhi kewajiban hari Tuhan melalui bantuan media Radio dan Televisi. Namun yang perlu mendapat perhatian kiranya dengan media ini umat yang tak bisa berkumpul secara langsung bersama jemaat lainnya dapat tetap terjamin persatuannya dengan yang lain. Akan lebih baik, dalam hal ini, mereka yang sakit didampingi oleh pelayan yang juga mengantarkan Komuni Kudus. Maka Misa hari Minggu akan menghasilkan buah melimpah bagi semua umat Kristiani.

4. Hari Manusia: Hari Minggu: Hari Kegembiraan, Istirahat dan Solidaritas

Dalam bab yang keempat ini, Hari Tuhan direnungkan dalam kaitannya dengan hari Manusia. Sehubungan dengan hal itu, Hari Minggu juga dilihat sebagai hari yang penuh kegembiraan, hari untuk istirahat dan hari solidaritas. Umat Kristiani merayakan hari Tuhan yang bangkit dengan penuh kegembiraan. Kegembiraan ini nyata dan penuh di dalam Kristus yang telah bangkit. Kegembiraan ini adalah salah satu buah Roh Kudus.

Kegembiraan hari Minggu ini harus dilihat secara penuh, artinya tidak hanya luapan atau ekspresi gembira saja yang dominan. Namun kegembiraan hari Minggu ini jemaat diharapkan dapat menemukan kembali arti hari Minggu dan aspek hidup iman jemaat. Kegembiraan ini jangan berhenti hanya pada hari itu saja, tetapi harus terus terpancar dalam hidup sehari-hari. Kegembiraan secara penuh juga harus nampak dalam pengalaman hidup kita yang pahit. Pada saat inilah kegembiraan kita disatukan dalam diri Kristus yang sengsara dan akan Bangkit bersamaNya pula. Hari Minggu dalam tradisi Kristiani merupakan salah satu aspek dalam memenuhi Sabat Perjanjian Baru. Pemahaman seperti ini tidak hendak menghilangkan penganangan dan perayaan penciptaan. Perayaan penciptaan tetap dipandang dalam perspektif Kritosentris, dimana hal ini tetap direnungkan sebagai cahaya rencana Allah. Ini semua merupakan perluasan dan pemenuhan pengembangan sejarah keselamatan, yang mencapai puncaknya dalam Kristus.

Hal lain yang ingin disampaikan dalam pembahasan kali ini adalah tentang pemenuhan hari Sabat. Dalam perspektif tersebut, teologi alkitabiah hari Sabat dapat ditemukan ulang, tanpa menyesuaikan ciri Kristiani Hari Minggu. Hal ini mengingatkan kita dan memberi hormat akan kisah awal mula penciptaan. Hari Sabat ini dikenangkan terus menerus dalam kelanjutannya pada Hari Minggu. Sebagai hari ketujuh dan diberkati Tuhan Sabat menutup seluruh karya penciptaan. Hal ini tidak terelepas dari hari keenam diamana Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan citraNya. St. Ambrosius mengatakan behawa Allah beristirahat sepenuhnya sesudah ia menciptakan manusia. Saat itu pula Allah menawarkan kepada manusia tanggung jawab untuk menhormati dan mnguduskan hari yang telah disediakan Tuhan itu. Ia dapat menawarkan pengampunan dosa secara langsung antara hari Allah dan hari Manusia. Perintah ini bukan berarti dibebankan kepada manusia, melainkan memberi bantuan untuk bekerja sama dalam karya Sang Pencipta dan menerima rahmatNya. Memang dalam jemaat Yahudi praktek Sabat ini telah hilang, kewajiban menguduskan Hari Tuhan tetap berlaku sah dalam hidup umat beriman meskipun perlu ditafsirkan ulang dalam terang dan spiritualitas hari Minggu. kewajiban melaksanakan hari Sabat ini erat hubungannya dengan pembebasan yang dilaksanakan oleh Allah bagi umatNya.

Secara baru, tafsiran pembebasan umat Allah ini dipenuhi dalam diri Kristus. Kristus datang untuk melaksanakan exododos yang baru untuk memulihkan kebebasan kepada rakyat yang tertindas. Ia banyak membuat mujijat pada hari Sabat, dan hal ini mendapat banyak kecaman dari para ahli Taurat karena dianggap melanggar perintah Allah. Namun Yesus secara tegas menekankan bahwa Hari Sabat diadakan untuk manusia, bukan Manusia untuk hari Sabat. Dalam hal ini Ia mau menekankan bahwa sikapNya bukanlah melanggar hari Sabat itu, melainkan mewahyukan diri dalam arti sepenuhnya. Hal ini menyatakan bahwa penghayatan hari Sabat dapat dialihkan dalam Kebangkitan. Kenyataannya bahwa Paskah Kristus telah membebaskan manusia dari perbudakan.

Dalam kurun waktu yang cukup lama, umat Kristiani mematuhi hari Minggu semata hanya sebagai hari ibadat, tanpa mengetahui persis maknanya. Terlebih pada awal-awal keKristenan banyak terjadi halangan-halangan untuk merayakan hari ini. Pada jaman ini pun banyak kondisi-kondisi kerja yang tidak memungkinkan para pekerjanya untuk merayakan Hari Tuhan. Namun gereja sadar akan hal ini, dan dalam konsili-konsili yang ada terus mendesak akan pentingnya mengenai istirahat hari Minggu. Pada hari ini umat berhimpun diharapkan berhimpun sebagai jemaat Ekaristi dan melibatkan pengorbanan diri mereka. Kita tidak dapat merenungkan dan menguduskan hari Tuhan bila kita tidak memiliki waktu teluang untuk merayakannya. Dalam hal ini Paus Leo XIII menegaskan dalam ensikliknya Rerum Novarum, bahwa hari Minggu sebagai hak buruh, dan negara harus menjaminnya. Hal ini ditegaskan supaya para pekerja memperoleh martabat manusiawinya sekalaigus kebutuhan rohaninya. Istirahat hari Minggu memberi perspektif baru yang khas dalam Kristianitas, yaitu tersedianya peluang bagi nilai-nilai rohani dalam hidup keseharian kita. Bila kita dipenuhi dengan kegembiraan Hari Minggu ini, kita akan bisa bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan kepada kita. Kita bisa melihat keajaiban-keajaiban dalam hidup kita, dimana hal itu sering kita abaikan karena kesibukan kita.

Selain itu, hari Tuhan juga dapat direnungkan sebagai hari solidaritas. Dalam arti ini hari Minggu membuka peluang bagi kita untuk membaktikan amal-amal cinta kasih kepada sesama kita, terlebih bagi yang miskin dan menderita. Yesus sendiri telah memberikan teladan bagi kita untuk memberi perhatian kepada segi kemanusiaan. Inilah perintah cinta kasih yang disampaikan Yesus untuk kita laksanakan. Ekaristi Minggu tidak melepaskan kita dari tugas-tugas cinta kasih, melainkan memampukan kita untuk menjalankan karya cinta kasih Allah. Dengan demikian terang Kristus akan tetap terpancar dalam hidup manusia. Ekaristi menjadi sebuah peristiwa persaudaraan yang sejati. Dari sumber cinta kasih inilah diharapkan akan tersebar luas dalam seluruh kehidupan umat beriman. Dengan penuh gembira pula kita harus membagikan cinta kasih ini kepada sesama. Di sinilah Ekaristi menjadi sebuah sekolah agung Cinta Kasih, keadilan dan damai. Demikianlah hari Tuhan dimengerti sebagai hari Manusia.

5. Hari di antara Hari-hari: Hari Minggu: Pesta Primordial: Mewahyukan Makna Waktu

Setelah merenungkan hari Tuhan dalam hubungannya dengan hari Gereja dan hari Manusia, dalam bab yang terakhir ini akan dibahas tentang mewahyukan makna waktu. Dalam Kristianitas waktu memiliki relevansi yang mendasar. Pemaknaan waktu ini tetap berdasar pada Kristus sendiri. Kristus adalah alfa dan omega, awal dan akhir. Sejak awal mula penciptaan dimulailah sejarah keselamatan sambil menemukan puncaknya dalam penjelmaan Sang Sabda, yaitu Yesus sendiri, dan dalam tujuan akhirnya saat Putera Allah kembali dalam kemuliaanNya.

Dalam terang Perjanjian Baru, tahun-tahun hidup Kritus di dunia menjadi pusat waktu, dan mencapai puncaknya dalam Kebangkitan. Hal ini terungkap dalam perayaan Malam Paskah, dimana Gereja menyerukan Kristus yang bangkit sebagai yang awal dan yang akhir, alfa dan omega. Ungkapan ini secara jelas menyatakan bahwa Kristus ialah Tuhan waktu, Ia awalnya dan akhirnya, tiap tahu, tiap hari dan tiap saat dirangkum oleh penujelmaan dan kebangkitanNya. Bersumber pada kebangkitan, hari Minggu menjelajahi kurun waktu manusiawi, dan tetap mengarah pada tujuan akhirnya: kedatangan Krsitus yang kedua. Menguduskan hari Minggu ialah kesaksian penting, dan kita dipanggil untuk mengemban tugas ini.

Hari Tuhan terulang setiap minggunya, dan ini telah berakar pada tradisi kuno Gereja yang amat penting. lebih lanjut irama seperti ini telah terangkum dalam lingkaran liturgi harian. Dalam lingakaran waktu itu kita diajak untuk merenungkan sejarah keselamatan umat manusia melaui sabdaNya secara turun temurun. Logika kenangan ini menuntun dalam penataan seluruh tahun liturgi. Konsili Vatikan II juga mengingatkan hal ini, yaitu seluruh misteri Kristus dari penjelmaan, kelahiran hingga kenaikanNya, sampai Pentakosta dan Kedatanga Tuhan yang membahagiakan. Dalam kurun waktu inilah kita diajak untuk mengontemplasikan Sabda Allah yang telah berkenan menggunakan kemanusiaan kita dalam keilahianNya.

Dalam lingkaran tahun liturgi ini, Gereja juga mengajak kita untuk menghormati Santa Maria Bunda Allah dengan cinta kasih istimewa karena hubungannya yang tak dapat dipisahkan dalam karya penyelamatan. Selain itu Gereja juga mengajak kita untuk mengenangkan para martir dan orang kudus lainnya. Gereja mewartakan misteri Paskah melalui Para Kudus yang telah menderita dan dimuliakan bersama Kristus. Oleh karena itu Hari Minggu sangatlah penting dan bernilai bagi seluruh jemaat. Gereja sendiri menekankan relevansi hari Minggu, terutama dalam merayakan Ekaristi, dalam kehidupan umat beriman. Saat ini banyak terdapat perayaan-perayaan di luar hari Minggu. Sehubungan dengan hal itu, penataan kanonis dan liturgis membatasi daftar hari-hari Raya Wajib, dan harus patuh terahadap persetujuan khusus Tahta Apostolik. Dalam kasus seperti itu, misalnya Hari Raya Penampakan Tuhan, Tubuh dan Darah, perlu dialihkan ke hari Minggu agar umat beriman tidak kehilangan kesempatan untuk merenungkan misteri iman di dalamnya.

Menghadapi situasi jaman dan budaya yang ada sekarang, perlu sebuah kebijakan dan perhatian pastoral untuk menyikapi situasi-situasi semacam ini seperti tradisi-tradisi rakyat yang dapat menggangu perayan hari Minggu dan hari Raya liturgis lainnya. Perlu sebuah katekese dalam berpastoral guna menjelaskan persoalan-persoalan semacam ini sambil menyelaraskan dengan ajaran Kristus.

Penutup

Hari Minggu adalah kekayaan rohani yang sungguh agung. Hari ini menjadi sebuah sintesis hidup Kristiani, bila relevansi dan implikasinya dimengerti secara menyeluruh. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan hari Tuhan begitu dekat dengan hati Gereja. Di dalam tata tertib Gereja menegaskan sebuah kewajiban nyata untuk merayakannya. Kewajiban merayakan hari Tuhan sebagai perintah Allah hendaknya tidak dilihat hanya sebagai syarat saja. Pelaksanaan hari Tuhan, terlebih Ekaristi ini harus dipandang sebagai keperluan yang muncul dari kedalaman hati dan hidup Kristiani. Ekaristi adalah realisasi penuh ibadat dan sudah selayaknya menjadi persembahan rohani umat manusia. Rahmat yang mengalir darinya membaharui umat manusia, hidup dan sejarahnya.

Pada jaman ini umat beriman kerap menghadapi tantangan yang mengahalangi mereka untuk merayakan dan menguduskan Hari Minggu. Tantangan tersebut tidak melulu berasal dari luar, melainkan lebih banyak bersumber pada diri umat sendiri. Sebagai manusia kita sering menyalahgunakan waktu luang untuk kepentingan diri kita sendiri. Menyadari hal ini, dalam Ekaristi umat beriman diundang untuk merayakan keselamatan mereka sekaligus keselamatan segenap umat manusia. Dengan demikian hari Minggu dihayati sebagai jiwa hari-hari lainnya. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa masih banyak umat yang mendapat kesulitan untuk bisa menghayai iman dalm hidup sehari-hari. Dalam situasi penuh kesukaran ini, umat diharapkan dapat berkumpul pada hari Minggu dalam ikatan iman yang tunggal, sambil saling bertukar kurnia persaudaraan.

Hari Minggu memiliki nilai tambahan dalam kesaksian dan pewartaan. Sebagai hari doa, persekutuan dan kegembiraan, hari Minggu terpantul dalam masyarakat dan menawarkan sebuah harapan. Hari Mingu adalah tawaran untuk terus menatap ke depan sambil berseru Maranatha!. Gereja terus maju menuju hari Minggu yang tak kenal akhir , yakni Yerusalem surgawi. Dalam mencapai tujuan itu Gereja tetap dinaungi dan disatukan oleh roh Kudus yang memberi kekuatan. Selain itu, Bapa Suci mempercayakan kepengantaraan Bunda Maria agar permenungan Hari Tuhan ini diterima oleh seluruh umat manusia. Maria menjadi penting bagi Gereja, tanpa mengalihkan perhatian sentral pada Kristus. Ia selalu hadir pada hari Minggu.

Di akhir tulisannya dalam ensiklik ini Bapa Suci mengingatkan kita semua akan tahun Yubileum yang akan datang (sekarang telah datang). Hal ini mengundang kita semua umat beriman, terlebih para klerus, ke arah komitmen rohani dan pastoral yang mendalam. Berkaitan dengan hal itu, perlu mengingat bahwa hari Minggu harus menjadi waktu ziarah Gereja yang tak kunjung putus. Diharapkan pula umat beriman semakin mengenal Kristus yang Bangkit, dan semakin layak untuk mewartakan karya keselamatan demi menghadirkan Kerajaan Cinta KasihNya di dunia.

Tidak ada komentar: