the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 06 Desember 2010

Republik Indonesia Serikat

Membangun Republik Indonesia Serikat
(Sebuah cita-cita Y.B. Mangunwijaya)

Bila kita menilik kembali sejarah perjuangan bangsa ini, kita akan menemukan bentuk-bentuk negara yang pernah terjadi dalam proses pemerintahan Indonesia. Salah satunya adalah bentuk negara federasi atau negara serikat. Negara serikat ini resmi terbentuk pada tahun 1949. Gagasan ini tercetus dari pihak Belanda sebagai hasil KMB (Konferensi Meja Bundar). Pembentukan ini bukanlah sesuatau yang tanpa alasan. Peristiwa ini merupakan taktik Belanda yang tidak menginginkan Indonesia berbentuk kesatuan. Dengan negara RIS bentukannya ini Belanda mengharapkan Indonesia terpecah- pecah, sehingga memudahkan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia khususnya daerah-daerah di tanah air yang masuk dalam kantung wilayah militer Belanda. Akan tetapi, Indonesia tidak termakan begitu saja oleh anjuran yang dipikirkan oleh Belanda. Indonesia menerima hasil KMB yang mengharuskan Indonesia berbentuk RIS. Keputusan ini pun juga bukan keputusan mentah yang diterima Indonesia. Di balik keputusan itu ada sebuah taktik, yaitu untuk mendapatkan kedaulatan dari Belanda dan negara-negara lain. Sehingga setelah tujuan itu tercapai, untuk mendapatkan kedaulatan, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan republik. Atas kesepakatan antara negara-negara bagian lain dengan negara bagian RI yang beribu kota di Yogyakarta, pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan Republik Indonesia.
Bentuk negara kesatuan Republik Indonesia sekarang telah berusia setengah abad lebih, hampir lima puluh delapan tahun. Selama itu rakyat Indonesia seakan terbuai oleh kemapanan bentuk negara kesatuan itu. Dapat dikatakan bahwa Bangsa ini mengalami sebuah kesadaran palsu. Tanpa disadari bahwa sebenarnya dalam rentang waktu lima puluh tujuh itu banyak terjadi krisis dan pengeroposan di berbagai bidang. Kekuasan dan tangan besi pemerintah telah berhasil menutupi berbagai kebusukan yang diperbuatnya. Inilah akibat dari sentralisasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia.
Seorang tokoh nasionalis, budayawan sekaligus rohaniwan, Mangunwijaya, mengajak kita untuk memikirkan kembali orientasi bangsa Indonesia. Ia dengan berani mempertanyakan hal-hal yang dianggap sakral dan tabu oleh beberapa kelompok. Dalam cita-citanya, ia menawarkan pemikiran kepada publik akan kemungkinan berubahnya bentuk negara kesatuan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Dengan pemikirannya ini Mangunwijaya bercita-cita melihat Indonesia berkembang menjadi negara yang semakin maju dan lebih menunjukkan Ke-bineka-tunggal-ika-an Indonesia. Ide ini sebenarnya sudah muncul dari pendahulu bangsa ini, yaitu Bapak Bangsa Negara kita Mohammad Hatta
Wacana ini ia ajukan pada masa krisis dan jatuhnya rezim orde baru, yaitu tahun 1998. Mengapa demikian? Mungkin bagi Mangunwijaya saat itu adalah saat yang tepat dimana semua borok dan kebusukan yang telah tertimbun begitu lama akhirnya terpampang dengan jelas di depan mata rakyat Indonesia. Sehingga sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan dengan lebih matang bagaimana membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik. RIS adalah tawaran revolusioner yang diajukan oleh Mangunwijaya. Memang hal itu tak dapat diwujudkan dalam jangka waktu dekat. Tetapi dapat menjadi bahan pemikiran bangsa Indonesia menatap bentuk negaranya di masa depan. Romo Mangun mengacu kepada tahun 2045, seabad setelah kemerdekaan, sebagai momen yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya tersebut. Maka dari itu menarik bagi kita untuk mencoba melihat dan menggali dengan lebih dalam konsep RIS yang dicita-citakannya.
Dalam membicarakan pemikiran ini, perlulah bagi kita untuk melihat latar belakang munculnya gagasan RIS dari Mangunwijaya. Pertama, Romo Mangun melihat bahwa penduduk Indonesia sangat banyak (sekitar 200-250 juta jiwa). Ia lalu membandingkan Indonesia dengan negara-negara lain yang berpenduduk lebih sedikit. Dalam pandangannya, negara yang paling cepat maju dan bagus penataan dirinya selalu negara yang penduduknya tidak besar: Malaysia (14 juta jiwa), Belanda (14 juta jiwa), swiss (6,5 juta jiwa), dan banyak lagi yang lain. Mengapa demikian? Ia menyimpulkan bahwa format manusia bukanlah format raksasa. Ia mencontohkan negara-negara seperti Amerika Serikat atau Jerman yang berpenduduk besar sebagai negara yang sukses karena menerapkan sistem federal. Kedua, negara kesatuan Indonesia yang berpenduduk besar dengan sentralismenya sangat rawan akan kesewenang-wenangan. Ketiga sistem negara kesatuan model UUD’45 mendorong penyedotan seluruh kekayaan daerah Nusantara secara memusat ke Jakarta. Hal ini mengakibatkan tidak meratanya pembangunan di segala bidang yang juga berdampak pada kesenjangan yang juga akhirnya mengarah kepada kecemburuan sosial yang besar. Keempat, ketidakpuasan daerah-daerah yang kurang mendapatkan perhatian besar dalam pembangunan di segala bidang menimbulkan kerawanan besar akan separatisme seperti yang telah terjadi pada Timor-timur, dan keinginan-keinginan beberapa daerah di tanah air yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan RI.
Konsep RIS yang ditawarkan oleh Romo Mangun ini merupakan jawaban atau solusi yang ia anggap tepat atas berbagai permasalahan dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia Serikat. Dengan demikian berarti keamanan akan menjadi lebih merata karena ditangani oleh daerah masing-masing, pemekaran potensi jutaan manusia di daerah menyebabkan kemakmuran lebih merata dan persaingan yang sehat akan berbuah dalam perlombaan positif, dan dalam bidang budaya federasi akan membawa dampak timbulnya sentrum kultural yang lebih kaya dan merata. Dengan kata lain, dapat dikatakan pula bahwa tiap-tiap daerah akan mendapat otonominya masing-masing, namun tetap ada satu pemimpin untuk mengkoordinasi tiap-tiap daerah tersebut.
Di sini perlu dilihat bahwa RIS impian Mangunwijaya bukan seperti RIS buatan Belanda yang dulu pernah dialami Indonesia, juga bukan RIS sektoral yang berdasar suku tertentu atau agama tertentu yang boleh tinggal di suatu negara bagian tertentu. Ada perkara-perkara penting, vital, dan esensial, serta kode-kode etik, moral, budi-pekerti serta sopan-santun yang harus disepakati bersama oleh semua negara bagian untuk dikerjakan, dan dijamin. Dengan demikian diharapkan tidak akan ada, misalnya Aceh menjadi negara bagian berdasarkan Islam dan setiap warga negara didalamnya baik Kristen, Budha, dsb harus mengikuti hukum Islam. Juga tidak akan terjadi negara bagian Jawa misalnya hanya boleh diperintah oleh orang Jawa dan penduduk non-Jawa yang tinggal di sana menjadi warga kelas dua. Hal-hal tersebut tidak masuk akal, tidak relevan dan frontal melawan cita-cita Romo Mangun sekaligus prinsip tunggal-integralnya Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, Romo Mangun mengusulkan agar itu semua perlu studi pendahulu yang mendalam dan keputusan Majelis Konstituante. Tidak liar seenaknya saja dengan “proklamasi sendiri-sendiri”.
Republik Federal Indonesia, dalam gambaran Romo Mangun, secara psikologis akan menyalakan harga diri, motivasi serta harapan memajukan jutaan rakyat di luar pusat sentralisasi. Maka dengan demikian daerah luar Jawa, khususnya Indonesia bagian Timur akan dapat meraih harapannya.. Mereka akan benar-benar merasa memiliki tanah airnya, tanah tempatnya hidup yang selama ini tidak pernah dirasakan sebagai miliknya sendiri. Contohnya saja rakyat di Papua, Kalimantan, Sulawesi yang memiliki banyak kekayaan alam tanpa pernah menikmati hasil dari kekayaan alamnya karena disedot oleh kerakusan orang-orang yang tak punya malu karena telah hidup enak. Desentralisasi ini diharapkan akan menciptakan keadilan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebuah gerakan awal tentu saja tidak terlepas dari kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan dalam mewujudkannya, demikian halnya dengan ide Mangunwijya. Bahaya yang paling besar yang sedang menunggu adalah primordialisme dan etnosentrisme. Salah satu pencegahannya, kata kunci yang perlu dipegang dalam hal ini adalah komitmen bersama akan kebhinekaan Indonesia. Dengan demikian, pembagian-pembagian daerah yang terjadi dalam RIS nanti tidak akan menimbulkan masalah, melainkan merasa tetap satu dalam kekayaan masing-masing. Harapan Romo Mangun adalah bahwa kita semua duduk bersama dan membicarakan segala hal dalam negara baik tentang hukum, politik, wilayah, pembagian pajak, dan lain-lain dan dari pembicaraan itu muncul suatu komitmen hasil pemikiran bersama dan dilaksanakan bersama. Memang nantinya kita tidak bisa duduk bersama semua rakyat, tetapi masing-masing perwakilan dari tiap negara bagian, beserta perwakilan dari setiap suku, golongan, dan agama dapat menjadi wakil dari suara seluruh rakyat Indonesia. Dengan ini diharapkan ancaman primordialisme dan etnosentrisme dapat kita atasi bersama.
Bentuk negara RIS tentu tak bisa langsung dijalankan besok pagi. Proses perencanaan dan pelaksanaan RIS memerlukan persiapan matang dan diskusi nasional yang intensif. Apalagi kita yang sudah merasa mapan dalam bentuk negara kesatuan RI akan sangat sulit menerima perubahan ini karena mungkin dapat mengancam kemapanannya. Demi semua itulah kita memerlukan suatu majelis konstituante yang bijak, sehingga dapat mewujudkan harapan-harapan kita semua. Dengan visi yang jauh ke depan, Romo Mangunwijaya mengajak kita untuk memikirkan tantangan ke depan, dan bahkan tugas generasi muda untuk tahun 2045, dimana kita akan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-100 Republik Indonesia.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Refleksi lanjut yang sangat menarik atas ide cemerlang Romo Mangun. Terimakasih..dan Salam!