the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 29 November 2010

Yesus dalam Islam

Yesus dalam Islam
(Sebuah Refleksi Intereligius tentang Yesus)


1. Pendahuluan
Salah satu pilar atau soko-guru doktrin Islam adalah percaya kepada semua nabi atau rasul yang datang sebelum Nabi Muhammad, serta semua kitab suci yang diterima oleh para nabi terdahulu. Oleh karena itu, kedudukan nabi-nabi sebelum Muhammad sangat penting dalam Islam. Sekurang-kurangnya ada lima nabi yang dianggap istimewa dalam Islam karena perjuangan mereka dalam menegakkan doktrin monoteisme atau tauhid, yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi Muhammad sendiri. Kelima nabi itu disebut sebagai "ulu 'l-azmi", artinya mereka yang memiliki keteguhan dalam membawa pesan profetik dan kerasulan[1].
Di antara empat nabi sebelum Muhammad, kedudukan Nabi Isa atau Yesus sangat menonjol dalam Islam, terutama dalam apa yang disebut sebagai tradisi kesalehan. Pandangan Islam mengenai Yesus tentu pertama-tama dibentuk melalui Qur'an dan tradisi kenabian (hadith). Dalam Qur'an terdapat banyak sekali ayat yang menggambarkan figur Yesus serta keajaiban (mu'jizat) yang Ia lakukan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Yesus, atau Nabi Isa dalam Quran, merupakan "tokoh sejarah" yang kelahiran dan kehidupanNya di dalam panggung sejarah telah menciptakan gelombang gerakan kemanusiaan yang luar biasa, dan pengaruhnya masih berlangsung hingga hari ini. Seorang tokoh teladan kemanusiaan dan sangat penting dalam tradisi Kristiani dan Islam. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa melalui tokoh inilah hubungan saling pengertian antara Kristen dan Islam bisa dibangun. Selain itu pembahasan mengenai Yesus, terlebih dalam perspektif Islam merupakan sebuah dialog yang tak akan pernah usai. Akan selalu ada penerimaan dan penolakan. Namun bukankah hal demikian yang dapat membuat iman itu semakin tumbuh dan kokoh?
Tulisan ini hendak memaparkan sebuah dialog intereligius, Islam dan Kristen, di mana Yesus menjadi tema sentralnya. Dalam alur pembahasannya, penulis akan mengawalinya dengan melihat tokoh Yesus (Isa) dalam Al-Quran. Setelah itu akan dipaparkan beberapa persoalan yang timbul dalam pemahaman tokoh Yesus ini. Berikutnya akan diberi sebuah refleksi mengenai metode pendekatannya berkaitan dengan pemahaman akan Yesus sepanjang jaman. Pada bagian akhir, tulisan ini menawarkan sebuah dialog yang sehat, di mana dalam dialog tersebut akan menunjukkan sikap toleran terhadap pemeluk agama dan iman kepercayaan lain, khususnya antara Islam dan Kristen.

2. Yesus Kristus dalam Al Qur’an
Nama diri Yesus dalam Al Quran ialah Isa. Nama Yesus berasal dari perkataan bahasa Syiria, Yeshu , dan dalam bahasa Arab menjadi Isa[2]. Di dalam Al Quran terdapat tiga surat yang berkaitan dengan Isa, yaitu: surat Al Imran, Al Maidah, dan Maryam. Nama Isa disebut sebanyak 35 kali, dan umumnya turun pada surat-surat Madaniyah. sedangkan sebutan tidak langsung namun berkaitan dengan Isa sebanyak 93 kali di dalam 15 surat[3]. Al Quran memberikan sejumlah gelar kehormatan kepada Isa lebih besar daripada kepada beberapa tokoh masa lampau lainnya. Isa memperoleh setidaknya tiga gelar utama, yaitu: nabi, al-Masih, dan Anak Maryam. Dia seorang nabi karena memiliki kuasa sehingga mampu mengadakan mukjizat sebagai tanda atas kenabiannya.
Di dalam bahasa Ibrani kata mashiah digunakan untuk mengacu pada seorang raja atau juru selamat yang dinanti-nantikan. Kata itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani menjadi Kristos . Jadi, nama Isa al-Masih adalah identik dengan Yesus Kristus. Bisa juga kata al-masih dikaitkan dengan kata masaha dalam bahasa Arab, artinya membasuh atau menyentuh, yang secara simbolis-ritual dalam berwudlu, yaitu membasuh muka untuk mensucikan diri sebelum melakukan shalat[4].
Gelar lain terhadap Isa yang sering disebut di dalam Al-Quran ialah Anak Maryam (Isa Ibn Maryam). Kisah kelahiran Isa Ibn Maryam dijelaskan dua kali secara rinci dalam Al-Quran. Memang para malaikat memberi tahu Maryam akan kedatangan sebuah kalimah (perkataan atau logos) dari Tuhan yang bernama al-Masih. Hal ini dapat dilihat pada Q. 3:45: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)”.
Anak Maryam dan ibuNya dikatakan telah dipilih sebagai tanda karena ia memberikan keterangan dan bukti-bukti tentang Tuhan. (Q. 2: 87, Q. 23:50, Q. 43:63). Anak Maryam digunakan sebagai perumpamaan melawan orang-orang musryik, karena ia datang dengan kebijaksanaan dan menunjukkan kesalehan kepada Tuhan (Q. 43: 57-63). Gelar Anak Maryam sedemikian menakjubkan sehingga para pakar tafsir modern pun banyak mendiskusikannya. Seorang pakar tafsir modern, Muhammad Ali, berpendapat bahwa gelar itu ditambahkan untuk menunjukkan bahwa Isa juga mengalami kematian seperti nabi-nabi Tuhan yang lain[5].

3. Persoalan pemahaman tentang Yesus
3.1. Gelar-gelar Yesus
Dalam Al-Quran, Yesus memiliki berbagai gelar, yaitu: Al-Masih, Kalimat Allah (Sabda Allah), dan Ruhullulah (Roh Allah). Dalam pemahaman umat Islam, gelar-gelar ini diberikan kepada Yesus sebagai ungkapan atas diri Yesus yang memiliki peran penting dalam hubungannya dengan Allah dan juga manusia.
Gelar Al-Masih bagi orang Kristen diyakini sebagai gelar manusia Yesus yang terurapi olah Roh Kudus untuk melaksanakan tugas perutusanNya menyelamatkan dunia. Namun, dalam pandangan serta keyakinan orang Islam, gelar Al-Masih ini hanya sebuah gelar biasa, tanpa memiliki makna teologis. Dalam Al-Quran gelar ini dapat diartikan sebagai “yang diberkati”.
Dalam Q 19, 31 dinyatakan: “dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”. Dari sini dapat dilihat bahwa gelar ini menjadi sebuah ungkapan atas tugas perutusan Isa bagi manusia. Pada umumnya bagi umat Islam, gelar Al-Masih ini hendak menunjukkan bahwa Yesus bukan sekedar manusia biasa, melainkan manusia terhormat dan suci, tetapi bukan Allah.
Dalam kaitannya dengan gelar Kalimat Allah (Sabda Allah), dalam Q 3:45 dikatakan: “(Ingatlah), ketika Malaikat berkata: ‘Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)’. Gelar Kalimat Allah ini bagi keyakinan umat Islam bukan mau menyatakan bahwa Yesus itu juga Allah. Namun, Kalimat Allah di sini mau menyatakan bahwa Yesus itu dijadikan tanpa campur tangan manusia laki-laki, Sabda Allah ini berarti Yesus diutus untuk menyampaikan Sabda Allah secara lengkap dan sempurna. Gelar inilah yang terkadang menimbulkan berbagai kontroversi, di mana sifat keilahian Yesus selalu diperdebatkan.
Gelar lain yang diberikan kepada Yesus adalah Ruhullulah. Gelar ini merupakan gelar yang eksistensial di mana hal ini menunjukkan identitasNya. Gelar ini menurut pandangan Islam merupakan suatu kesaksian bahwa Yesus lahir bukan dari kuasa manusia, tetapi berkat kuasa Ruh Allah ( Q 19:17, “maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna).

3.2. Ketuhanan Yesus
Islam menolak bahwa Yesus adalah sekaligus Tuhan Allah. Hal ini juga terkait dengan problem Trinitas yang kerap kali tak menemui ujungnya bila diperdebatkan dengan saudar-saudari umat muslim. Selain itu problem ketuhanan Yesus ini juga terkait dengan peran Yesus sebagai penyelamat.
Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tak ada seorang pun yang setara dengan Dia (Q 112:3). Menyatukan sesuatu dengan Allah adalah dosa shirk dan tak terampuni. Allah adalah esa dan tak terbagi, maka bila menolak keesaan Allah adalah kafir, mushirk. Oleh karena itu ajaran Islam menolak untuk menyapa Yesus sebagai Tuhan Allah. Dengan demikian misteri Allah Tritunggal tetap tidak mendapat tempat bagi umat Islam.
Yesus ditolak sebagai Tuhan Allah berarti misi Yesus sebagai juru selamat dunia juga turut ditolak. Hal ini terkait dengan ajaran Islam yang menolak ide tentang dosa asal. Meskipun menolak dosa asal, mereka dalam Al-Quran mengakui bahwa semua manusia berasal dari keturunan Adam dan Hawa (Q 2: 30-33). Memang Adam dan Hawa berbuat dosa, tetapi mereka telah mohon ampun. Oleh karena itu dosa asal tidak ada. Maka penolakan atas dosa asal ini juga menolak sifat keselamatan universal yang dibawa oleh Yesus. Yesus bukan Tuhan, dan Yesus tidak berkuasa atas pengampunan dosa manusia.

4. Problem Pendekatan dan Usaha Rekonsiliasi
Geoffrey Parrindar dalam bukunya Yesus Dalam Quran menunjukkan bahwa Yesus merupakan salah satu dari sekian nabi yang mempunyai kedudukan sangat tinggi dan terhormat dalam Islam[6]. Sayangnya, apresiasi umat Islam terhadap tokoh ini relatif kurang.
Barangkali secara psikologis hal ini disebabkan oleh imbas warisan sejarah (salah satunya Perang Salib) antara umat Islam dan Kristiani, sehingga persepsi umat Islam tentang Yesus Kristus terkena polusi politis-historis. Yesus lalu dipersepsikan dan diasosiasikan oleh umat Islam sebagai figur yang ikut berperan secara tidak langsung dalam konflik yang berkepanjangan antara umat Islam dan Kristen yang telah "terbaratkan" itu.
Kita sering lupa bahwa semua nabi adalah bersaudara dan mereka membawa misi tauhid. Apalagi di dalam rukun iman umat Islam diwajibkan untuk beriman kepada kitab suci dan nabi-nabi sebelum Islam. Tentu idealnya ungkapan iman tersebut bukan sekadar ungkapan verbal saja tetapi harus dilakukan dengan mengkaji secara lebih luas kitab-kitab suci sebelum Islam (termasuk Injil). Upaya mengkaji yang lebih luas terhadap kitab-kitab suci merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh.
Memang sulit dielakkan, membicarakan tokoh sejarah, terlebih lagi seorang pembawa ajaran agama seperti halnya Yesus, selalu terikat oleh pandangan subyektif. Seseorang sulit ntuk membebaskan diri dari penafsiran dan pemihakan emosional yang dipengaruhi oleh pikiran metodologis dan keyakinan imannya. Bagi seorang Kristen, figur Yesus atau Isa al-Masih bukanlah sekedar tokoh dan pelaku sejarah, melainkan Ia adalah Putera Allah yang hidup, Ia adalah Allah yang hidup. Kodrat keilahian ada dalam diri manusia Yesus. Namun bagi orang Muslim, Isa al-Masih hanyalah seorang nabi yang memiliki relasi yang intim baik dengan Allah dan juga manusia.
Salah satu problem alam membahas Yesus adalah menyangkut pemilihan sumber yang akan dirujuk. Dalam hal ini terdapat tiga sumber: Al-Quran, Alkitab (Injil), serta buku-buku sejarah yang memiliki kekhasan masing-masing dalam gaya bertuturnya. Dari sini, relasi antara sumber-sumber ini tentu akan melahirkan pluralitas pemahaman atas diri Yesus. Menyadari adannya perbedaan penafsiran dan iman atas Yesus, secara khusus antara umat Islam dan Kristen, selayaknya masing-masing pihak tak perlu tersinggung dan terganggu imannya bila figur Yesus ini dipahami dan diperlakukan secara berbeda. Hal ini bisa terjadi sejauh masing-masing dari iman keyakinan itu tidak memaksakan pendapatnya terhadap pihak lain.
Bagi umat yang ingin memahami Yesus dalam Al-Quran, pengetahuan mengenai Injil adalah esensial. Yesus tidak sekadar figur masa lalu, yang hanya bermakna dalam lingkungan tradisi Yudea-Kristen, tetapi lebih dari itu, sebuah universalitas muncul dalam Injil sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Quran. Al Quran menyebut Yesus sebagai "sebuah tanda bagi alam semesta" (Q. 21:91) dan Dia diutus "untuk Kami jadikan tanda bagi manusia" (Q. 19:21)[7].
Upaya mengkaji yang lebih luas terhadap kitab-kitab suci merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh. Biarlah lebih banyak lagi umat Kristiani yang membaca Al Quran dan lebih banyak lagi kaum Muslim yang mempelajari Injil, sehingga pemahaman dan rekonsiliasi lebih berkembang.

5. Membangun sebuah Dialog yang Sehat
Pemahaman manusia mengenai Tuhan, selain merupakan dorongan naluriah atau karena potentia obidentialis yang ada dalam diri manusia, adalah bentukan sejarah. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud Karen Amstrong dalam bukunya “Sejarah Tuhan”. Menurutnya, pemahaman dan pemikiran manusia tentang Tuhan, sejak jaman dahulu hingga sekarang, telah menimbulkan banyak implikasi sosial. Penelusuran secara historis pemikiran manusia tentang Tuhan ini, jika diapresiasi dengan baik niscaya akan membawa pada sikap hidup terbuka terhadap berbagai pemahaman. Hal ini pada gilirannya akan bermuara pada penerimaan hidup di tengah pluralisme. Oleh karena itu dialog tentang ketuhanan atau keagamaan akan tetap memiliki rujukan atau referensi hostoris.
Sejalan dengan hal itu, pemahaman serta penerimaan manusia tentang kehadiran Yesus di dunia merupakan sebuah pergumulan panjang yang tak akan pernah habis dan terbatas oleh historisitas melulu. Ada unsur adikodrati yang tak dapat dijangkau oleh rasionalitas manusia. terlepas dari perdebatan teologis mengenai Isa Al-Masih atau Yesus Kristus, apakah Dia seorang “tokoh sejarah. “nabi”, ataukah “inkarnasi Tuhan”, yang pasti kehadiran Yesus di dunia telah menciptakan sebuah gelombang kemanusiaan yang luar biasa besar dan getaran atau pengaruhnya masih terasa hingga saat ini.
Hans Kung mengatakan; “No peace among the nations, without peace among religions. No peace among religions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without investigation the fundation of the religions”. Dari sini dapat dikatakan bahwa dialog antar agama yang sehat dapat membawa kita pada sebuah kedamaian. Dalam dialog orang akan menerima dan diterima. Untuk bisa melakukan dialog sevara dewasa dan sehat diperlukan kesabaran, kesetiaan, serta kematangan iman pribadi.Dialog dapat terjadi hanya ketika kita bisa duduk sejajar dalam tataran sebagai manusia. Dialog ini terjadi dari hati ke hati, dan todak memakasakan sesuatu kepada orang lain. Inilah sebuah dialog imani yang sehat.
Yesus merupakan tokoh sejarah sekaligus tokoh iman yang memberikan pengaruh bagi kemanusiaan. kehadiranNya di dunia bagi para pengikutNya merupakan sebuah rahmat Allah tersendiri. Namun terkadang hal ini juga tidak mendapat penerimaan yang serupa, malahan terkadang menimbulkan polemik. Hal ini tidak dapat dipungkiri, bahwa kita sebagai manusia adalah makhluk yang terbatas untuk memahami misteri Allah. Namun ketika dihadapkan pada suatu keyakinan lain, iman kita dituntut untuk setia dan senantiasa berdialog dengan rendah hati. Akhirnya, ketika segalanya dapat dikomunikasikan, maka perbedaan bukanlah suatu yang memecah belah, melainkan menyatukan diri untuk kembali kepada hadiratNya.





Daftar Pustaka

· Arifin, Syamsul danTobroni, 1984, Islam: Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: Sipress.
· Departemen Agama Republik Indonesia, 1990, Al-Quran dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota Surabaya.
· Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed.), 1998, Passing Over, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
· Parrindar, Geoffrey, 2000, Yesus Dalam Quran, Jakarta: Bintang Cemerlang.
· Wahid, Abdurahman,1981, Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional.
· Wakid, Muhammad, 1983, Israiliyah pada Kisah Nabi Isa, Solo: Mutiarasolo.

[1] Tobroni dan Syamsul Arifin, “Islam: Pluralisme Budaya dan Politik”, Yogyakarta: Sipress, 1984, hal. 67.
[2] Geoffrey Parrindar, “Yesus Dalam Quran”, Jakarta: Bintang Cemerlang, 2000,hal. 26.
[3] Ibid. Hal. 27.
[4] Abdurahman Wahid, “Muslim di Tengah Pergumulan”, Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1981, hal. 36.
[5] Bdk. Muhammad Wakid, “ Israiliyah pada Kisah Nabi Isa”, Solo: Mutiarasolo, 1983, hal. 67.
[6] Op. Cit. Geoffrey Parrindar, hal. 114.

[7] Op. Cit. Geoffrey Parrindar, hal. 119.

Tidak ada komentar: