the fantastic four

the fantastic four
"cogito ergo sum"

Senin, 29 November 2010

Pendidikan Naturalisme Emilian

Pendidikan Naturalisme Emilian
(Transformasi Pendidikan menurut perspektif J.J. Roussaeu)

“Everything is good as it leaves the hands of the Author of things;everything degenerates in the hands of man” (J.J. Roussaeu)


Pendahuluan
Pendidikan bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan. Dengan menguasai ilmu pengetahuan secara sistematis, rasional dan bersifat ilmiah, manusia dituntut untuk meninggalkan segala sumber pengetahuan manusia di masa lalu seperti mitos dan tradisi yang tidak rasional dan takhayul. Dengan kata lain hakikat dari pendidikan adalah menjadikan manusia kembali kepada kodrat asalinya, dan menjadi lebih manusiawi.
Namun apa yang terjadi saat ini, terlebih di Indonesia? Pendidikan tidak lagi murni menjadikan manusia lebih bahagia, melainkan sebaliknya. Pendidikan yang tadinya bertujuan membawa manusia keluar dari kungkungan kebodohan dan mencapai budi pekerti yang baik, kini mulai berbelok ke arah yang pragmatis sekaligus materialistis. Praktik inilah yang telah lama menyusup ke dalam ruang-ruang kelas, catatan-catatan pelajaran, buku-buku praktikum yang wajib dibaca, hingga menjangkit ke pola pikir anak didik yang memandang fungsi kegiatan pendidikan bukan lagi sebagai tindakan yang edukatif, tetapi terkapitalisasi untuk sekedar mencari uang dan menjadi robot-robot pekerja yang baik.
Hal yang sama sebenarnya telah dilihat oleh pemikir sekaligus pendidik aliran romantisme, Jean Jacques Roussaeu. Pada bagian pembuka bukunya yang berjudul “Emile ou L’Education” dikatakan: “Everything is good as it leaves the hands of the Author of things;everything degenerates in the hands of man”. Ia melihat bahwa manusia pada awal mulanya adalah baik, namun kemudian dibusukkan oleh kebudayaan. Salah satu elemen kebudayaan yang bertanggungjawab atas korupsi moral manusia adalah pendidikan. Oleh karena itu pendidikan harus ditransformasikan[1].
Tulisan ini hendak mengetengahkan pemikiran J.J. Rousseau mengenai filsafat pendidikannya serta relevansinya bagi pendidikan di Indonesia. Di awal akan dipaparkan terlebih dahulu latar belakang kegelisahan Rousseau mengenai kebusukan masyarakat. Keadaan semacam inilah yang akan menghantarnya pada gagasan “state of nature” dan turut serta membentuk konsep filsafat pendidikannya. Pembahasan berikutnya akan masuk pada filsafat pendidikan Rousseau yang menekankan naturalisme, seperti yang termuat dalam buku Emile, ou L’Education. Pada bagian akhir tulisan ini, akan dipaparkan beberapa kritik atau evaluasi dari pemikiran Rousseau ini terkait dengan gagasan pendidikan, serta relevansi singkat bagi pendidikan Indonesia dewasa ini.

Dari “State of Nature” ke ”Back to Nature”
Pemikiran Rousseau harus kita lihat dalam konteks yang terjadi saat itu. Kala itu sekitar abad ke-18, Perancis dikenal sebagai puncak peradaban dunia Barat. Rasionalisme, ilmu pengetahuan dan teknik sangat menguasai kehidupan manusia. Pada masa itu kaum fisiokrat, ensiklopedis, dan rasionalis sangat optimis bahwa masa depan manusia dapat menjadi lebih baik bila diraih dengan kemajuan ilmiah rasional.. Kemajuan ilmu pengetahuan diyakini dapat mengakibatkan kemajuan di bidang moral dan kebudayaan pula[2].
Optimisme semacam ini oleh Rousseau, sebagai salah seorang tokoh gerakan romantisme, ditentang secara tegas. Di balik segala kemajuan tersebut ternyata banyak terjadi ketimpangan dalam masyarakat yang membusukkan manusia itu sendiri. Rousseau menulis dalam bukunya yang berjudul “The Social Contract”: ‘Man is born free, and every where he is in chains. One things himself the master of others, and still remains a greater slave than they’[3]. Menurutnya, manusia terlahir dengan bebas, tetapi dimana-mana ia terbelenggu, yang satu menganggap dirinya tuan bagi yang lain, tetapi ternyata ia juga menjadi budak, bahkan lebih dari yang lain. Keadaan ketidakbebasan manusia ini semakin diperburuk oleh perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang telah diyakini dapat menjadikan manusia lebih baik ternyata malah membusukkan manusia itu sendiri.
Rousseau juga berpendapat bahwa dasar dari manusia adalah tubuh, dan tubuh hanyalah sebagai perhiasan atau pelengkap. Pikiran-pikiran tersebut hanya termanifestasi dalam kebudayaan melalui seni, sastra, dam ilmu. Pikiran-pikiran itu timbul saat manusia merenung atau ‘melamun’ tentang dirinya, dan pada waktu itulah lahir kejahatan-kejahatan yang direncanakan manusia melalui pikiran-pikirannya. Budi Hardiman (2004) dalam bukunya mengatakan bahwa astronomi lahir dari takhyul; geometri dari ketamakan, fisika dari kemalasan; seni debat dari ambisi; dan etika dari kesombongan. Hal ini mau mengetengahkan kritik Rousseau bahwa kemajuan teknis dan ilmu pengetahuan mengakibatkan kemerosotan moral.
Dari sini Rousseau kemudian melihat keadaan awali manusia. Ia beranggapan bahwa keadaan asali itu baik dan membahagiakan. Manusia dalam keadaan awali memenuhi kebutuhannya dengan naluri, kehendak dan bukan dengan rasio. Ia juga mengatakan bahwa dalam keadaan alamiah ini manusia bertindak berdasarkan “cinta diri”[4] dan rasa belas kasih pada sesamanya. Hal ini merupakan naluri-naluri dasar yang tertanam secara alamiah dalam diri manusia. Dengan kata lain “cinta diri” ini bukan sesuatu yang destruktif, berkat bimbingan kehendak dan pengaruh belas kasih, “cinta diri” ini menghasilkan rasa perikemanusiaan dan keutamaan. Namun semuanya itu kini telah hilang akibat munculnya masyarakat serta kebudayaan yang ada di dalamnya.
Alasan Rousseau menggagas uraian mengenai keadaan alamiah (state of nature) manusia ialah karena ia melihat manusia telah kehilangan kebebasan keaslian dirinya. Menurut Rousseau manusia kehilangan keluguannya saat ia membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Masyarakat telah menyebabkan manusia terasing dari dirinya sendiri. Ia tak dapat lagi hidup tanpa kecenderungan-kecenderungan alamiahnya sendiri, melainkan harus hidup menurut hukum dan peraturan yang dibuat oleh penguasa. Dengan kata lain manusia telah menjadi budak oleh dirinya sendiri dan manusia lainnya. Karena begitu percaya bahwa keadaan alamiah manusia itu baik, maka Rousseau mempunyai kesadaran yang terungkap dalam semangat “back to nature”.
Keadaan bebas di sini oleh Rousseau dilihat sebagai kebebasan kodrati manusia. Kebebasan kodrati ini ingin mengatakan bahwa tidak ada otoritas dari luar diri yang mengatur dan mendeterminasi seseorang. Hal ini berarti menunjukkan bahwa tidak ada orang yang memiliki otoritas alamiah terhadap sesamanya. Memang, manusia tidak lagi bisa kembali kepada “state of nature” karena keadaan sudah menjadi buruk. Yang bisa dilakukan adalah menata kembali tatanan masyarakat agar menjadi lebih baik. Maka di sini muncul gagasan Rousseau yang terkenal, Social Contract. Agar dasar dari semua otoritas dalam hidup bersama menjadi sah dan dapat diterima oleh semua, maka otoritas itu diperoleh melalui konvensi atau kontrak di antara individu.

Pendidikan Emilian: Sebuah Transformasi Pendidikan
Seperti telah disinggung di atas bahwa menurut Rousseau kodrat manusia adalah baik, tetapi kemudian dirusak oleh kebudayaan, termasuk pendidikan. Mengapa demikian? Sebab menurut Rousseau, manusia itu pada dasarnya mempunyai sifat ”cinta diri”, dan sifat ini sesuai dengan tatanan alam, maka baik adanya. Dengan asumsi ini, lalu Rousseau menyarankan agar dalam pendidikan, naluri-naluri alamiah dan rasa ”cinta diri” seorang anak sebagai manusia itu harus dibiarkan berkembang bebas dan bukannya dibendung. Dengan demikian, kesimpulan Rousseau, segala disiplin dan bentuk pendidikan yang bersifat otoritatif hanya akan menghambat perkembangan pengaktualisasian anak secara alamiah yang pada kodratnya adalah baik.
Cita-cita pendidikan Rousseau dapat kita jumpai dalam bukunya ”Emile, ou L’Education”. Buku ini memenangkan sayembara karya tulis yang diselenggarakan oleh Akademi Dijon, di mana dalam sayembara tersebut dimunculkan sebuah pertanyaan dasar: Apakah kebudayaan dan ilmu pengetahuan membuat manusia lebih baik? Dan, secara tegas dalam tulisannya itu Rousseau menjawab bahwa kebudayaan dan ilmu pengetahuan tidak membuat manusia menjadi lebih baik, malahan menjadikan manusia menjadi busuk. Hal ini menimbulkan beberapa protes dari pemerintah, hinga ia dikejar-kejar dan bukunya dibakar. Namun, di luar itu semua Rousseau benar-benar membongkar keyakinan abad pencerahan bahwa kebudayan dan ilmu pengetahuan, termasuk pendidikan, membuat masyarakat menjadi hancur. Buku ini sangat bermuatan filsafat pendidikan meskipun berbentuk seperti novel, dan ini menjadi pijakan penting bagi gagasan pendidikan modern berikutnya.
Rousseau melihat bahwa pendidikan pada jamannya sangat bersifat otoritatif. Peserta didik harus tunduk dan patuh terhadap guru. Maka yang didapatkan dari pendidikan formal di sekolah adalah hanya penyeragaman tingkah laku dan informasi[5]. Peserta didik tidak mendapat kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan bakat alaminya. Dari sinilah ia melihat perlunya sebuah asas pendidikan yang utama, yaitu asas kebebasan.
Menurutnya, hanya alamlah yang memerintah dan memimpin. Jadi di sini ia melihat bahwa tugas pendidik hanya terbatas pada menghilangkan pengaruh-pengarauh jahat dari luar yang sekiranya dapat merusak alam anak sendiri. Oleh karenanya Rousseau tidak mengenal adanya alat-alat pendidikan seperti, perintah; larangan; ganjaran dan hukuman[6]. Dalam hal ini yang ada hanyalah hukuman dari alam, artinya yang memberikan hukuman itu sebenarnya adalah akibat perbuatannya sendiri.
Buku ”Emile, ou L’Education” sendiri sebenarnya bercerita sekaligus memberikan uraian mengenai pendidikan. Di dalamnya dikisahkan seoarang anak laki-laki fiktif yang diberi nama Emile. Anak ini adalah seorang yatim piatu dan dididik oleh seorang pendidik yang baik. Buku ini terdiri dari lima buku[7]. Pada tiap-tiap babnya ia mengisahkan pendidikan Emile secara per tahap usia. Pembagian tahap pendidikan inilah yang kemudian menjadi gagasan filsafat pendidikannya. Buku pertama berisi pengantar dan pendidikan Emile sampai berumur 2 tahun; buku ketiga berisi pendidikan Emile dari usia 2 sampai 12 tahun; buku ketiga berisi pendidikan Emile dari 12 sampai 15 tahun; buku keempat menceritakan pendidikan Emile usia 15-20 tahun; dan buku terakhir mengisahkan pendidikan Sophie, calon isteri Emile.
Buku itu diawali sebuah kalimat yang telah disinggung di atas dan juga seperti terdapat dalam awal tulisan ini, “Everything is good as it leaves the hands of the Author of things; everything degenerates in the hands of man”. Titik awal bagi Rousseau adalah pendapatnya yang beranggapan bahwa manusia itu baik sejak lahir. Ia yakin bahwa para pendidik yang utama adalah alam, manusia, dan benda-benda. Semuanya itu harus melindungi manusia agar sifat-sifat awali manusia itu tetap baik. Kodrat yang baik ini harus dilindungi dari pengaruh-pengaruh buruk masyarakat, sehingga pendidikan ini disebut sebagai pendidikan negatif[8].
Faktor utama dalam pendidikan, menurut Rousseau, adalah alam. Yang dimaksud dengan alam oleh Rousseau adalah watak atau pembawaan anak itu sendiri. Selain itu, alam dimaksudkan pula dengan kemungkinan-kemungkinan pendidikan yang ada pada anak. Frederick Mayer (A History of Modern Philosophy, 1951) mengatakan bahwa insting alamiah (natural instincts) seorang anak harus dikembangkan. Orang tua juga harus berani melepas anaknya sendirian agar ia belajar dari pengalamnnya sendiri. Rousseau melihat pentingnya pengalaman personal dari anak didik, yang dalam bukunya itu diwakili oleh Emile. Ia mengatakan: “If the child delicate and sensitive, if by nature he begins to cry for nothing, I let him cry in vain and soon check his tears at their source. So long as he cries, I will not go near him, I come at once when he leaves off crying. He will sonn be quiet when he wants to call me, or rather he will utter a single cry. Children learn the meaning of sign by their effects; they have no other meaning for them. However much a child hurts himself when he is alone, he rarely cries, unless he expects to be heard”[9]. Dari sini dapat dilihat bahwa pengetahuan harus dimiliki melaui jalan pengalaman. Dalam hal ini Rousseau menghendaki pula belajar menahan sakit dan duka cita.
Ia juga mengemukakan mengenai pendidikan agama. Baginya, yang harus dipercayai adalah bukan Tuhan yang diajarkan oleh agama-agama atau kekuasaan Gereja, melainkan segala sesuatu yang diakui kebenaran dan kebaikan oleh akal budi manusia. Sehingga penuntun terbaik bagi kehidupan susila ialah kata hati, yang disebutnya sebagai Insting Ketuhanan[10].
Dalam ”Emile, ou L’Education” ini, dapat dilihat bahwa Rousseau membuat sebuah transformasi pendidikan yang komprehensif dan koheren. Melalui gaya berceritanya, ia mampu menjangkau banyak orang secara lebih mudah. Usaha transformasi pendidikan ini ingin menggambarkan sebuah sistem pendidikan sesuai dengan apa yang dilihatnya sebagai alam (nature). Hal ini menekankan keutuhan dan harmoni, serta kepedulian terhadap anak didik. Ide awalnya dapat kita lihat sebelumnya bahwa ia ingin agar keaslian sifat manusia sejak lahir itu tetap dilestarikan. Pendidikan otoritatif tidak lagi sesuai dengan state of nature. Rousseau menyarankan agar dalam pendidikan, naluri-naluri alamiah dan rasa cinta-diri seorang anak sebagai manusia itu harus dibiarkan berkembang. Dari sini dapat dilihat tujuan pendidikan Rousseau adalah membentuk manusia yang bebas dan merdeka, serta berguna bagi negara. Sifat dari pendidikannya adalah individualistis, artinya anak didik harus dijauhkan dari pengaruh jahat masyarakat. Inilah salah satu jalan untuk dapat kembali ke alam.

Matinya Pendidikan
Pendidikan yang ada sekarang, terlebih di Indonesia, adalah bentuk-bentuk pendidikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga lembaga-lembaga itu sekedar menarik minat masyarakat untuk dijadikan sebagai pilihannya, tanpa mengetahui isinya serta perubahan apa yang terjadi di dalamnya. Sejarah pendidikan Indonesia menampilkan sebuah kebusukan sistem yang paling meresahkan. Di bawah rezim Orde Baru, kita tahu bahwa pencatatan dan penulisan sejarah bangsa harus menurut interpretasi penguasa. Dengan kata lain pendidikan sejarah Indonesia merupakan monopoli pemerintah. Maka sejarah bangsa yang ditulis adalah sejarah yang dipelintir, direkayasa dan dipalsu. Inilah salah satu wajah kebusukan dari sebuah masyarakat, yang juga menjadi kegelisahan Rouseau waktu itu.
Manusia akan rusak bila kebebasannya dipengaruhi oleh otoritas di luar dirinya. Demikian juga pendidikan. Pendidikan akan mati bila kebaikan hanya terpusat dan berasal dari sang penguasa otoriter sebagai pengontrol laku pendidikan dalam keseharian. Hal demikian akan mengakibatkan kemerosotan moral, dan bila individu mencoba menggugatnya maka seakan-akan hal tersebut malah terkesan menjadi kemunduran. Apa yang hendak ditegaskan adalah bahwa individu telah kehilangan akses terhadap apa yang diinginkannya, semua hanya terpaku pada sistem yang ada (sebagi contoh adalah pelaksanaan kurikulum).
Hal semacam ini dapat membuat pendidikan menjadi tumpul. Ketumpulan ini bisa kita lihat dari kecenderungan institusi atau penyelenggara pendidikan di Indonesia saat ini yang beberapa tahun terakhir gencar memproduksi lulusan yang link and match dengan pasar dunia kerja[11]. Akibatnya banyak pelajar lulusan sekolah menengah kini tengah mengimpi-impikan dapat di fakultas favorit, jenjang kuliah yang singkat, dan setelah lulus langsung mudah mendapatkan pekerjaan. Langkah ini sekilas memang terlihat strategis, mengingat Indonesia hari ini masih dibebani dengan persoalan tingginya angka pengangguran dan kemiskinan. Namun apakah hal ini benar membawa anak sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya? Ataukah hal ini malah menunjukkan keterbudakan manusia oleh pendidikan?
Ketumpulan fungsi pendidikan ini kelak akan berujung pada matinya pendidikan, sebab era globalisasi ini membuat kita lupa bahwa sekolah dibangun untuk menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan sekedar untuk mempermudah manusia mendapatkan gelar, pekerjaan, jabatan di perusahaan atau pun bergaji besar, atau malahan membuat manusia menjadi budak dari sistem yang ada. Maka tak heran pula bahwa biaya yang dibutuhkan seseorang untuk mengenyam pendidikan, tak bisa dibilang murah. Inilah kegelisahan yang dapat dirasakan saat ini, yang juga sejalan dengan apa yang dialami oleh Rousseau pada waktu itu.

Rehumanisasi Pendidikan
Gagasan Rousseau mengenai pendidikan di atas memang tidak dapat dilihat secara terpisah dari jaman ia hidup. Oleh karena itu, bila dilihat secara lebih cermat, gagasan Rousseau ini juga menimbulkan beberapa polemik bagi kita saat ini. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa ajarannya mengenai pendidikan keagamaan. Di atas telah disinggung bahwa kita hanya boleh percaya pada kebenaran dan kebaikan yang diperoleh melalui akal budi, dan juga insting Ketuhanan, dengan kata lain tidak percaya kepada wahyu Tuhan. Gagasan ini secara langsung dapat kita lihat sangat berlawanan dengan paham keagamaan terlebih di jaman sekarang. Selain itu, sistem pendidikannya terlampau bersifat individualistis. Hal ini bertentangan dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Sifat individualistis ini juga mengangap bahwa pendidikan keluarga tidak penting.
Hal lain yang dapat dikritisi adalah, bagaimanapun juga gagasan Rousseau ini mengandaikan lingkungan yang ideal. Pengaruh negatif dari orang tua dan guru harus dihapus, karena akan mengakibatkan anak-anak tidak dapat berkembang secara natural. Di satu sisi, anak-anak akan lebih mudah menampakkan pengaruh dari teman-teman bermainnya serta dampak dari kebudayaan di mana ia tinggal. Salah satu bahaya dalam sistem pendidikan Rosseau ini adalah bahwa pendidikan negatif tersebut akan berhasil secara utuh dan guru akan melepaskan fungsinya, dan hanya bertindak seperti seorang wasit. Dari sini hal yang tak dapat dielakkan adalah kekacauan dan nihilisme moral[12].
Namun kiranya, meskipun meninggalkan berbagai pertanyaan dan persoalan, gagasan Rousseau itu juga sangat relevan untuk konteks pendidikan Indonesia saat ini. Hari ini lebih dari dua ratus tahun kemudian setelah Rousseau, dikhawatirkan cara mendidik anak-anak bangsa ini dikembalikan lagi kepada konsep kuno "menjinakkan" anak. Dapat dilihat saat ini berapa banyak waktu anak-anak bermain selama satu hari? Berapa sering mereka mengasah kepekaan atas segala hal, pengetahuan, kebaikan, tanggung jawab belas kasih dan tenggang rasa? Di lain pihak kita sering mendengar anak-anak stres dengan pekerjaan rumah dari sekolah mereka, atau karena orang tua yang berkeinginan memberikan berbagai macam les yang ternyata tidak sesuai dengan minat anak dan ditolak mentah-mentah oleh sang anak. Tak jarang pula ditemui pribadi anak-anak pintar tapi egois, dermawan tapi ingin dipuji, memiliki IQ tinggi tapi tidak mengerti sopan santun, dan masih banyak lagi kasus yang menunjukkan ketimpangan dalam pendidikan.
Pendidikan, meskipun mempunyai multi makna dalam berbagai konteks, secara khas merupakan kegiatan manusiawi. Dengan kata lain, kegiatan mendidik hanyalah berlaku ketika dilakukan oleh manusia. Ini juga yang membedakan manusia dari binatang. Sebagai kegiatan manusiawi, maka pendidikan juga memampukan manusia untuk melihat dan membuka diri terhadap dunia. Hal ini mau mengatakan bahwa pendidikan yang membuat manusia menjadi tidak bebas harus dihapuskan, dan dikembalikan kepada “state of nature”-nya, artinya dikembalikan menjadi lebih manusiawi.
Pendidikan diharapkan dapat mengembalikan dan menjadikan manusia yang semula baik menjadi lebih baik. Hal ini akan mungkin terjadi bila di dalam prosesnya terdapat pengangkatan individu di atas kodrat alam dan dunia materia di atas determinismenya[13]. Dengan kata lain ialah bahwa pendidikan harus benar-benar memunculkan watak dan bakat yang dimiliki oleh seorang manusia, bukan melulu dipaksa atau dijejali berbagai informasi dan pengetahuan. Dari sinilah kebebasan pendidikan berkembang dan menjadikan manusia menjadi lebih baik dan lebih manusiawi.




Daftar Pustaka

· Djumhur, I. dan H. Danasuparta, 1959, Sejarah Pendidikan, Bandung: Penerbit CV Ilmu.
· Hardiman, F. Budi, 2007, Filsafat modern dari Machiavelli sampai Nietze, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
· Mayer, Frederick, 1951, A History of Modern Philosophy, United State of America: American Book Company.
· Rousseau, Jean-Jacques, 1979, Emile, ou L’Education, London: Basic Book.
· Rousseau, Jean-Jacques, 1993, The Social Contract in The Social Contract and Discourse, London: David Campbell Publisher Ltd.
· Sudiarja, A., (Koord.), 2008, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta: PT. Kompas Gramedia Nusantara.
· Tjahjadi, Simon Petrus L., 2004, Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan para Filsuf dari Jaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius.


[1] F. Budi Hardiman ; Filsafat modern dari Machiavelli sampai Nietz; PT. Gramedia pustaka utama; Jakarta; 2007, hlm.120
[2] Ibid. Hal. 113.
[3] Jean-Jacques Rousseau, “The Social Contract” in The Social Contract and Discourse, London: David Campbell Publisher Ltd. 1993, hal. 181.
.
[4] “Cinta diri” di sini bukan dalam pengertian negatif, “cinta diri” ini merupakan perasaan alamiah untuk mempertahankan diri secara spontan.
[5] Frederick Mayer, “A History of Modern Philosophy, United State of America: American Book Company, 1951, hal. 270.
[6] Simon Petrus L. Tjahjadi, “Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan para Filsuf dari Jaman Yunani hingga Zaman Modern”, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 261.
[7] Deskripsi mengenai buku ini dapat dilihat pada: I. Djumhur dan H. Danasuparta, “Sejarah Pendidikan”, Bandung: Penerbit CV Ilmu, 1959, hal. 57-64.
[8] Pendidikan negatif di sini diartikan sebagai pendidikan yang bertujuan melindungi hati dari kebiasaan jahat dan menjaga pikiran dari kesalahan.
[9] Jean Jacques Rousseau, “Emile, ou L’Education”, London: Basic Book, 1979, hal. 60.
[10] Ibid. Hal. 301.
[11] Link dan Match ini dimaksudkan dengan jenjang waktu pendidikan yang singkat, diharapkan para lulusannya bisa memiliki skill praktis dan dengan mudah diserap pasar tenaga kerja.
[12] Frederick Mayer, Op.Cit. Hal. 271.
[13] A. Sudiarja, (Koord.), “Karya Lengkap Driyarkara”, Jakarta: PT. Kompas Gramedia Nusantara, PT. Gramedia Pustaka Utama; Yogyakarta: Penerbit-Percetakan Kanisius, Ordo SJ Indonesia, hal. 276.

Tidak ada komentar: